ragam
Setahun Prabowo-Gibran Tertatih Mengejar 19 juta Lapangan Pekerjaan

Strategi dan kebijakan pemerintah cenderung merusak lingkungan, berpotensi melahirkan pengangguran dan kemiskinan baru

Penulis: Dita Alya Aulia, Valda Kustarini

Editor: Malika

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Prabowo Subianto menyampaikan pidato di podium dengan latar belakang layar besar bertuliskan 'PRESIDEN REPUBLIK' pada acara resmi.
Presiden Prabowo Subianto (Foto: ANTARA/ Hafidz Mubarak)

KBR, Jakarta – Terhitung satu tahun sejak Risky (26) lulus kuliah. Dengan titel sarjana, ia berharap bisa langsung bekerja sesuai kompetensinya di bidang sistem informatika. Transkrip nilai dan curriculum vitae disebar ke berbagai platform pencari kerja seperti Glints dan Jobstreet.

“Kalau ditotal sudah kirim sekitar 500 (lamaran), lebih lah. Tapi belum ada yang nyangkut,” ujar Risky.

Beberapa kali lamaran berbuah panggilan wawancara, namun hasilnya nihil. Kebutuhan hidup mendorong laki-laki asal Jakarta Timur itu menjadi mitra ojek online (ojol). Sudah lima bulan Risky ngaspal antar jemput penumpang.

Meski bekerja sebagai pengemudi ojol Risky masih berharap bisa bekerja di sektor formal yang lebih stabil. Dia bahkan mencoba berbagai macam posisi saat melamar, bukan hanya yang fokus di bidang komputer atau informatika, tapi security, office boy, bahkan supir pribadi.

“Saking susahnya ya, yang penting tujuannya mau kerja. Tapi itupun belum ada hasilnya.” cerita Risky.

Mencoba peruntungan lewat jalur job fair juga sudah dilakoni. Namun, perbandingan antara ketersediaan lapangan pekerjaan dan pelamar yang menaruh curriculum vitae di booth perusahaan membuat Risky pesimistis dapat diterima bekerja.

Kerumunan besar pria dan wanita dewasa duduk di lantai sebuah gedung atau aula, dibatasi pita kuning bertuliskan 'DILARANG MELINTAS' saat menghadiri atau menunggu sebuah acara.
Sejumlah pencari kerja antre saat Bursa Kerja 2025 di Plaza Jambu Dua, Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (15/10/2025). (Foto: ANTARA/Arif Firmansyah)
Advertisement image

Baca Juga:
Masalah Ketenagakerjaan: Pekerja Informal dan Paruh Waktu Naik di Tengah Janji 19 Juta Lapangan Kerja

Kondisi agak berbeda dirasakan Nadia (28). Perempuan asal Jakarta ini mengeluhkan kesempatan menjadi pegawai tetap kian terbatas. Padahal ia sudah mengikuti permintaan perusahaan, namun tawaran menjadi karyawan tetap tak kunjung datang, akhirnya ia memutuskan keluar dan mencari pekerjaan lain.

Mulanya ia percaya diri dengan pengalaman bekerjanya di perusahaan dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dapat mendatangkan kesempatan baru. Tawaran bekerja memang datang namun jumlah gajinya menurut Nadia tidak layak, dan syaratnya berat.

“Pernah ditawari gaji 1,5 juta, lalu ada syarat penahanan ijazah. Aku enggak mau,” kata Nadia.

Upaya mencari kerja masih berlanjut, “sejauh ini sudah mengirimkan 300an lamaran deh kira-kira, ke berbagai perusahaan. Aku juga gabung di banyak grup-grup loker, itu anggotanya ribuan.”

Nadia saat ini kerja serabutan sambil membuka usaha kecil-kecilan di rumah sambil menunggu panggilan pekerjaan yang lebih layak.

Tangkapan layar profil grup Telegram 'Loker JAKARTA #Snatchjobs', menunjukkan informasi lowongan kerja dengan 94.884 anggota dan logo Loker Jakarta.
Tangkapan layar grup lowongan kerja jakarta, anggotanya mencapai ribuan orang. (Foto: Dok pribadi)
Advertisement image

Baca Juga:
Ironi Kesejahteraan Guru: Ketimpangan Gaji dan Realita Lapangan di Setahun Prabowo

Risky dan Nadia adalah potret angkatan kerja yang tidak terserap pasar dan memilih melakukan pekerjaan informal.

Data BPS per Februari 2025 menunjukkan lebih dari setengah penduduk yang bekerja merupakan pekerja informal. Dari 145,77 juta orang yang bekerja, sekitar 86,58 juta orang atau 59,40 persen masuk kategori pekerja informal. Jumlah pekerja informal Indonesia pada awal 2025 bertambah 2,45 juta orang dibanding Februari tahun lalu. Jumlah tersebut mencapai level terbanyak dalam lima tahun terakhir.

Data itu juga memperlihatkan angkatan kerja yang meningkat hingga 153,05 juta orang pada Februari 2025 namun tidak dibarengi penurunan jumlah pengangguran pada periode yang sama.

Jumlah pengangguran bertambah dari 7,20 juta orang di 2024 menjadi 7,28 orang pada 2025 atau naik 83 ribu orang. Jika dirinci menurut tingkat pendidikan, angka pengangguran dari lulusan universitas mencapai 1 juta orang, diploma sebanyak 177 ribu orang, lulusan SMK sebesar 1,6 juta orang, SMA dengan 2 juta orang, serta 2,4 juta orang dari lulusan SMP dan SD.

Klaim Capaian Pemerintah Vs Realita yang Muram

Presiden Prabowo Subianto mengeklaim telah berhasil menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran terbuka,

“...Kita bersyukur juga angka kemiskinan turun ke 8,47%. Ini saya diberitahu di catatan para pakar, ini angka terendah sepanjang sejarah Republik Indonesia. Kita bersyukur dan berterima kasih. Walaupun kita tidak boleh puas, tidak boleh puas. Tingkat pengangguran terbuka juga turun ke angka 4,76%. Ini adalah terendah sejak krisis 1998. Sekali lagi, kita tidak boleh puas karena 4,76% dari 287 juta orang, itu angka yang cukup besar,” ujar Prabowo Subianto dalam sidang kabinet di Istana Negara, Senin (20/10/2025).

Optimisme mencapai target 19 juta penciptaan lapangan kerja juga disampaikan Menteri Ketenagakerjaan Yassierli tepat setahun pemerintahan Prabowo-Gibran. Dia juga bilang, pemerintah telah berhasil menciptakan sekitar 2 juta lapangan kerja dalam setahun terakhir, merujuk laporan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BPKM). Jumlah serapan tenaga kerja itu belum termasuk dari program strategis nasional seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa/Kelurahan (Kopdes) Merah Putih, hingga Kampung Nelayan Merah Putih.

Namun, Direktur Pengembangan Big Data INDEF, Eko Listiyanto menilai janji pembukaan 19 juta lapangan kerja baru terlalu muluk jika tidak dibarengi dengan pertumbuhan ekonomi. Bahkan, menurutnya pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 5% tidak cukup untuk menepati janji tersebut.

“Kecuali kalau ekonomi kita tumbuh 8 persenan terus. Itu mungkin peluangnya lebih besar. Tapi karena ekonomi kita di 5 persenan, yang 19 juta kurang realistis,” ujar Eko.

Jika pemerintah berniat mewujudkan 19 juta lapangan pekerjaan, selain harus membuka rata-rata 3,8 juta lapangan pekerjaan baru, pemerintah juga harus memastikan lapangan kerja itu berkualitas agar dapat mendorong perbaikan ekonomi.

“Ujung dari pekerjaan itu kesejahteraan. Kalau hanya sekedar nambah lapangan pekerjaan tapi rate gajinya rendah ya mereka bekerja tapi bukan bekerja yang layak,” kata Eko.

Apalagi, saat ini kata dia kebanyakan korban PHK masuk ke sektor informal yang memungkinkan mereka mendapat bayaran rendah.

Sejumlah pengemudi ojek online berseragam hijau dan helm menanti pesanan di pinggir jalan kota.
Ojek daring sering kali jadi pilihan pekerjaan informal. (Foto: ANTARA/Yulius Wijaya)
Advertisement image

Baca Juga:
Ekonomi RI Setahun Prabowo-Gibran, Naik atau Menukik?

Riset Center of Economic and Law Studies (CELIOS) tahun 2024 menyebut masih ada 109 juta pekerja yang menerima upah di bawah upah minimum provinsi. Riset tersebut juga menyebut bahwa persentase pekerja yang dibayar di bawah UMP meningkat dari 63 % pada tahun 2021 menjadi 84 % pada tahun 2024.

Kondisi upah minimum provinsi yang belum terpenuhi memungkinkan pekerja tak bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya, apalagi kenaikan harga tetap terjadi setiap tahun.

Senada, Direktur Eksekutif Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi berpendapat penciptaan lapangan kerja baru juga harus dibarengi dengan pemberian upah layak.

“Banyak pekerja bekerja keras tapi tetap miskin. Upah meningkat secara nominal namun peningkatan upah tak sebanding dengan biaya hidup. Yang terjadi pada akhirnya kebanyakan pekerja hanya bisa bertahan hidup namun tidak dapat meningkatkan kesejahteraannya atau tidak dapat hidup secara bermartabat,” jelas Sri.

Realita muram dunia ketenagakerjaan saat ini tak lepas dari babak belurnya sektor industri yang ditandai dengan rentetan badai PHK. Baru-baru ini misalnya, PT Victory Chinglu Indonesia dikabarkan kembali memberhentikan 2800 pekerja. Sebelumnya perusahaan itu telah memberhentikan 2.400 pekerja di bulan Januari 2025 Ini menambah panjang daftar PHK di sektor industri setelah PT Sritex Group mem-PHK 10.965 buruh dan PT Yamaha Music Indonesia menutup dua pabrik, merumahkan 1.100 karyawan.

Situs resmi Satu Data Ketenagakerjaan menyebut angka pemutusan hubungan kerja (PHK) sepanjang tahun 2025 juga terus bertambah. Pusat Data dan Teknologi Informasi Ketenagakerjaan Kemnaker mencatat, jumlah buruh yang kena PHK bulan September mencapai 1.093 orang. Dengan tambahan tersebut maka total PHK periode Januari-September 2025 mencapai 45.426. Tenaga kerja ter-PHK paling banyak terdapat di Provinsi Jawa Barat yaitu sekitar 20,95%.

Dunia kerja Indonesia yang masih tertatih di tengah situasi global yang tak menentu juga tertuang dalam laporan World Economic Outlook yang dirilis Dana Moneter Internasional (IMF) April 2025. Pada laporan itu Indonesia jadi negara dengan tingkat pengangguran tertinggi di Asia Tenggara. Persentase pengangguran Indonesia dalam laporan IMF sebesar 5 persen. IMF memprediksi angka tersebut akan meningkat menjadi 5,1 persen pada tahun depan.

Grafik batang ini mengilustrasikan jumlah PHK tenaga kerja di Indonesia mencapai puncak tertinggi sekitar 18.000 orang pada Februari 2025 dalam periode Oktober 2024 hingga September 2025.
Jumlah tenaga kerja di Indonesia yang mengalami PHK. (Foto: Goodstat)
Advertisement image

Baca Juga:
Berapa Rapor Satu Tahun Pemerintahan Prabowo-Gibran untuk Sektor Pendidikan?

Strategi Kontraproduktif Berpotensi Melahirkan Pengangguran dan Kemiskinan Baru

Di sisi lain Sri Palupi juga menyebut strategi pemerintah untuk membuka lapangan pekerjaan seperti panggang jauh dari api, alih-alih memberikan kesempatan di proyek-proyek padat karya, pemerintah justru lebih banyak terjun di proyek padat modal, misalnya hilirisasi industri berbasis sumber daya alam, ekspansi, serta ekstraksi.

Sri menyebut strategi itu bukan saja berpotensi menambah merusak lingkungan dan meningkatkan intensitas bencana tapi berpotensi melahirkan pengangguran dan kemiskinan baru.

“Pembangunan yang berorientasi kepentingan jangka pendek dan eksploitatif terhadap lingkungan terbukti memperburuk ketimpangan dan memperluas/memasifkan penggusuran terhadap aset ekonomi dan ruang hidup rakyat,” katanya.

Pulau Wawonii di Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara jadi salah satu wilayah hilirisasi yang justru dianggap memiskinkan masyarakatnya.

Juru kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Hema Situmorang mengatakan kehadiran tambang nikel telah meminggirkan sumber penghidupan warga yang kebanyakan adalah petani cengkih dan kacang mete.

“Di lapangan sebenarnya bukan masyarakat mendapatkan pekerjaan yang baru tetapi pekerjaan-pekerjaan lama itu disingkirkan sehingga menambah adanya warga negara itu yang kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan,” kata Hema pada KBR.

Hema menyebut pemerintah pernah menjanjikan masyarakat lokal lapangan pekerjaan baru, namun hal itu tak terjadi. Masyarakat lokal yang tidak memiliki kebisaan menggunakan teknologi hanya menjadi pekerja tambang dengan resiko kerja yang besar dan upah yang minim.

“(Pekerja) sering kali menghadapi longsor uga berhadapan langsung dengan kemungkinan adanya ledakan-ledakan yang seringkali terjadi,” tuturnya.

Bukannya meningkatkan taraf hidup, operasional tambang justru mesusak lingkungan dan memukul ekonomi masyarakat setempat. Lembaga Penelitian dan Advokasi Kebijakan, The Prakarsa, mencatat kerugian ekonomi akibat pertambangan nikel sebab limbah perusahaan yang mencemari air laut dan menyebabkan hasil tangkapan nelayan berkurang drastis.

Tambang terbuka luas dengan tanah berundak merah kecoklatan, alat berat, dan sisa vegetasi, menggambarkan dampak industri pertambangan pada lanskap.
Pemandangan lokasi penambangan nikel Vale di Sorowako, provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia (Reuters/Ajeng Dinar Ulfiana)
Advertisement image

Baca Juga:

Satu Tahun Prabowo-Gibran, Berapa Skor Kinerja Pemberantasan Korupsi?

Hal serupa juga terjadi di Halmahera Timur, Maluku Utara, limbah berwarna merah kecokelatan membanjiri ladang, sawah, tambak ikan, hingga rumah warga Desa Baturaja, Kecamatan Wasile. Di Weda, Halmahera Tengah, sungai-sungai dan laut tercemar, begitu juga dengan sumber air bersih warga. Dulu, mereka bisa konsumsi pakai air sungai yang jernih, kini harus beli air galon.

“Secara kesehatan kandungan logam berat yang ada di air dan ini akan berhubungan juga air yang sering dikonsumsi. Kalau kita melihat ini kita menyebutnya perampasan ruang hidup yang dilakukan secara sengaja, sehingga memisahkan dan bahkan menghilangkan nyawa orang-orang yang berada di atasnya,” kata Hema.

Laporan Forum Studi Halmahera (Foshal), Trend Asia, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyebut hingga 2024 sudah ada 58 izin konsesi nikel dengan luas 262.743 hektare di Maluku Utara. Sedangkan, khusus Pulau Halmahera, telah dibebani 28 izin nikel. Di Kabupaten Halmahera Tengah, izin konsesi tambang bahkan memenuhi hampir setengah (106.039 hektare dari 227.683 hektare) total luas seluruh kabupaten di Provinsi Malut.

Pemerintah mengeklaim hilirisasi nikel bakal mendorong perekonomian Maluku Utara. Memang, jika menengok laporan Bank Indonesia 2023, pertumbuhan ekonomi Malut berada di atas 20 persen dan merupakan yang tertinggi secara nasional. Data itu ditunjang oleh nilai ekspor-impor terkait tambang nikel.

Namun jika menengok data BPS Maluku Utara, angka kemiskinan justru meningkat drastis. JIka pada Maret 2022 ada sebanyak 79,87 ribu penduduk miskin, jumlah itu meningkat sebanyak 83,80 ribu orang pada Maret 2023.

Direktur ECOSOC Sri Palupi bilang, klaim pemerintah menambah lapangan pekerjaan lewat jalur hilirisasi sulit dilakukan sebab faktanya tidak banyak melibatkan masyarakat lokal.

“Selama tak ada program refoma agraria sejati dan tak ada perspektif jangka panjang dalam program, maka bisa dipastikan bahwa program tersebut lebih banyak menguntungkan para elite dan tak ada kepentingan rakyat di dalamnya,” kata Sri.

Pemerintahan Prabowo-Gibran masih akan berlangsung hingga empat tahun mendatang, sejumlah catatan diberikan agar ada perbaikan terutama soal ekonomi dan hubungannya dengan hidup layak bagi masyarakat.

Sri Palupi mengatakan ada beberapa yang harus jadi perhatian pemerintah. Pertama, alokasi anggaran yang lebih pro-rakyat. Efisiensi perlu dilakukan dengan memangkas belanja pegawai, pembayaran utang, serta fasilitas pejabat yang tidak penting, agar porsi anggaran untuk program peningkatan kesejahteraan rakyat lebih besar dan mencerminkan solidaritas terhadap masyarakat. Kedua, melaksanakan reforma agraria sejati untuk mengatasi ketimpangan.

Selain itu, perlu ada upaya meningkatkan daya beli masyarakat dengan insentif ke dunia usaha

“Pemerintah harus memberikan insentif ke dunia usaha terutama yang padat karya, dan melindungi produsen serta konsumen dari serbuan barang impor,” ujar Sri.

Baca Juga:

Pemerintahan Prabowo Gibran
ekonomi
Ketenagakerjaan
hilirisasi
Lapangan Kerja
Pengangguran
Nikel


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...