Pembukaan sawit dalam skala besar berpotensi memindahkan kekacauan atau penderitaan rakyat di Sumatra ke Papua.
Penulis: Resky Novianto
Editor: Wahyu Setiawan

KBR, Jakarta- Rencana Presiden Prabowo Subianto yang ingin memperluas perkebunan sawit di Papua memicu kritik. Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional WALHI Uli Arta Siagian mengatakan rencana itu bakal menyisihkan peran petani yang sangat bergantung pada hasil pangan lokal dari hutan Papua.
“Mereka itu sangat bergantung pada hutan mereka, hutan itu seperti supermarket gitu. Kalau misalnya hutan itu diubah menjadi sesuatu aktivitas perkebunan monokultur, maka justru sesungguhnya pangan lokal mereka itu juga hilang dari wilayah tersebut gitu,” ujar Uli Artha dalam Dialog Ruang Publik, bertema “Papua Ditanami Sawit demi Energi, Swasembada atau Bencana Ekologi?”, Jumat (19/12/2025).
Prabowo awalnya menyebut niat menambah sawit di Papua guna mewujudkan swasembada energi di setiap daerah. Dukungan terhadap ekspansi sawit diutarakan Presiden dalam arahan kepada kepala daerah se-Papua dan KEPP OKP di Istana Negara, Jakarta, 16 Desember 2025.
Pernyataan Prabowo seolah memperkuat penilaian mantan Danjen Kopassus itu pada 30 Desember 2024 silam, soal penanaman kelapa sawit yang dianggap tidak membahayakan dan menyebabkan deforestasi.
Menurut Uli, dalih perluasan sawit untuk swasembada energi mesti diletakkan dalam konteks hak. Tetapi, yang terjadi justru pemerintah meletakkannya dalam konteks komoditas atau bisnis.
“Yang dikejar itu adalah pembesaran produksi energinya gitu ya, tanpa melihat bagaimana masyarakat itu bisa mendapatkan akses yang baik terhadap energi,” kritik Uli.

Sawit Picu Bencana di Papua
Uli mengatakan rencana pembukaan lahan sawit besar-besaran di Papua bakal memicu terjadinya bencana alam yang makin intens. Dari penuturan warga Papua, tiru Uli, banjir kerap terjadi dalam dua tahun belakangan ketika proyek sawit dan penanaman tanaman pangan lain dilakukan.
“Jadi, kita udah tidak bisa lagi hanya memikirkan bagaimana pembukaan sawit dalam skala yang besar, kebun monokultur dalam skala yang besar, di tengah situasi krisis iklim hari ini yang semakin parah,” terangnya.
Uli mendorong pemerintah lebih memastikan perlindungan ekosistem dan keselamatan rakyat di Papua.
“Kapan saja bencana ekologis itu atau banjir besar datang, kita semua akan bisa jadi korban. Bencana iklim itu akan semakin sering terjadi, bencana ekologis itu juga akan semakin sering terjadi,” jelasnya.

Deforestasi Papua dan Berkaca dari Bencana Sumatra
Uli turut menyayangkan pernyataan Presiden Prabowo yang bakal memperluas ekspansi sawit Papua di tengah keprihatinan bencana Sumatra.
“Ini kan semacam tidak punya empati atau tidak punya sense of crisis sebagai seorang Presiden, gitu,” katanya.
Ia menyebut Papua sebagai pulau ketiga terbesar ancaman deforestasinya. Data WALHI mencatat sejak 2000 hingga 2024 terdapat 1,1 juta hektare deforestasi yang terjadi di Bumi Cendrawasih.
“Ada 1,1 juta hektare deforestasi di tanah Papua. Dan itu sinergis dengan ekspansi izin yang sekarang mengarah ke sana. Baik sawit, terus kemudian kebun kayu bioetanol, cetak sawah baru, dan lain sebagainya,” terangnya.
Uli khawatir deforestasi dari pembukaan sawit dan bioetanol dalam skala besar layaknya memindahkan kekacauan atau penderitaan yang terjadi di Sumatera ke Papua.
“Sekarang saja, kalau misalnya kita ngecek ya pemberitaan, hampir setiap tahun Papua itu banjir. Papua Selatan, Merauke itu banjir,” tegasnya.

Bencana Ekologis Bukan Hal Baru di Papua
Bernard Koten, warga Papua yang juga Anggota Justice, Peace, and Integrity of Creation Ordo Fratrum Minorum (JPIC OFM), mengungkapkan bencana ekologis seperti banjir sudah menjadi langganan di Papua.
“Itu (banjir) sudah terjadi juga sudah beberapa tahun yang lalu, sudah lama. Itu juga sudah disuarakan terus-menerus. Entah itu ke perusahaan, entah itu ke pemerintah sendiri,” ujar Bernard dalam Dialog Ruang Publik, bertema “Papua Ditanami Sawit demi Energi, Swasembada atau Bencana Ekologi?”, Jumat (19/12/2025).
Bernard mengatakan upaya mengekspansi perluasan sawit di Papua sama saja dengan merusak paru-paru dunia. Padahal, menurutnya warga asli Papua kini terus berupaya menjaga hutan dengan tetap memperhatikan kelestarian alam.
“Mereka (orang asli Papua) membuka kebun, lahan juga semampu mereka, tidak mungkin mereka buka berhektare-hektare dan itu untuk kebutuhan mereka, kebutuhan hidup,” tuturnya.
Bernard menyoroti pelibatan militer dalam setiap proyek-proyek pengembangan swasembada pangan maupun energi di Papua. Kata dia, masyarakat Papua akhirnya menjadi korban ketika berhadapan dengan aparat.
“Baik itu pihak perusahaan maupun dari pemerintah. Ketika masyarakat menyampaikan hak mereka untuk ini, langsung dibenturkan dengan militer,” ujarnya.
Dia meyakini masyarakat akan memilih menjaga keberlangsungan hutan ketimbang membuka lahan untuk proyek sawit.
“Karena hutan ini bukan untuk orang Papua, tetapi untuk dunia,” tegasnya

Perluasan Sawit di Papua Berisiko Merusak Lingkungan
Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan Rokhmin Dahuri menilai rencana pemerintah mengembangkan proyek sawit di Papua mesti ditinjau ulang. Ia melihat adanya potensi risiko bencana ekologis yang besar di Bumi Cendrawasih.
Rokhmin mengusulkan agar pemerintah fokus memaksimalkan produksi sawit yang ada ketimbang membuka lahan baru di Papua.
“Daripada membuka lahan sawit lain yang risiko lingkungannya sangat tinggi, seperti yang sekarang terjadi di Sumatra. Kami menyarankan agar meningkatkan produktivitas dari lahan sawit yang ada saja,” ucap Rokhmin dalam Dialog Ruang Publik, bertema “Papua Ditanami Sawit demi Energi, Swasembada atau Bencana Ekologi?”, Jumat (19/12/2025).
“Faktanya kita (punya lahan sawit, red) terluas, tapi produktivitasnya kita jauh lebih rendah daripada Malaysia,” imbuhnya.
Alih-alih memperluas pengembangan sawit, Rokhmin juga mengingatkan pemerintah agar memprioritaskan dan menggenjot hilirisasi. Sebab, kata dia, ekspor sawit mentah Indonesia masih berada di kisaran 75 persen.
“Bagaimana meningkatkan hilirisasi, yaitu mengolah CPO itu menjadi berbagai macam produk hilir yang punya nilai tambah, yang bisa menciptakan pekerjaan,” kata Eks Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut.
Rokhmin meminta pemerintah untuk menggandeng pengusaha untuk bisa berdaya guna menciptakan multi-player effect. Tujuannya meningkatkan produktivitas, meningkatkan hilirisasi, dan mengakselerasi industrialisasi dari produk hilir sawit.
“Kalau begitu Insya Allah kita in better shape. Artinya kita tidak akan rusak lingkungan dan (terjadi) bencana ekologi terus-menerus,” tutur Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) tersebut.

Presiden Canangkan Perluasan Sawit Papua Demi Swasembada
Prabowo Presiden Prabowo Subianto mengatakan pemerintah berkomitmen mewujudkan swasembada energi nasional guna mengurangi ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM). Kepala negara mengklaim langkah itu berpotensi menghemat ratusan triliun rupiah setiap tahun dari anggaran subsidi.
Menurutnya, apabila ketergantungan impor bisa dikurangi setengahnya, negara berpotensi menghemat Rp250 triliun.
"Kalau kita bisa tanam kelapa sawit, tanam singkong, tanam tebu, pakai tenaga surya dan tenaga air, bayangkan berapa ratus triliun kita bisa hemat tiap tahun," kata Prabowo dalam arahan dia kepada kepala daerah se-Papua dan KEPP OKP di Istana Negara, Jakarta, Selasa (16/12/2025)
Ia menyebut pemerintah telah menyiapkan kebijakan agar daerah penghasil energi dapat menikmati langsung manfaatnya. Pengembangan energi baru terbarukan (EBT) disebut menjadi kunci utama, terutama pada tenaga surya dan tenaga air.
Selain EBT, Presiden juga mendorong pemanfaatan energi berbasis bioenergi melalui pengembangan kelapa sawit, tebu, dan singkong sebagai bahan baku biodiesel dan bioetanol.
Menurutnya, langkah ini dapat mengurangi kebutuhan impor BBM sekaligus memperkuat kemandirian energi daerah.
"Nanti kita berharap di daerah Papua pun harus ditanam kelapa sawit supaya bisa menghasilkan juga BBM dari kelapa sawit, juga tebu menghasilkan etanol," imbuhnya.

Bahlil Sebut Papua Salah Satu Produsen Bioetanol
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menekankan pemerintah mendorong swasembada energi dengan mengoptimalkan potensi yang ada di daerah masing-masing, baik fosil maupun nabati.
"Swasembada energi yang dimaksud Presiden adalah kita harus memaksimalkan, mengoptimalkan seluruh potensi-potensi yang ada di negara kita. Ada fosil, ada nabati," kata Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (16/12/2025) dikutip dari ANTARA.
Energi bioetanol salah satunya didapatkan dari singkong, jagung, dan tebu. Pemerintah, kata Bahlil, mendorong agar daerah-daerah yang memiliki potensi untuk memproduksi etanol dapat mempersiapkan diri.
"Saya pikir Papua salah satu wilayah yang bisa dijadikan sebagai bagian dari produksi bahan baku etanol," ujarnya.
Sebelumnya, Pemerintah memandatori atau mewajibkan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) dengan kandungan etanol sebesar 10 persen atau bioetanol 10 persen (E10) pada 2027. Mandatori E10 diharapkan menekan angka impor bensin, sebagaimana penerapan Biodiesel 40 (B40) yang diklaim berhasil memangkas impor solar Indonesia.

Pemerintah Diminta Perhatikan Keselamatan Rakyat
Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional WALHI Uli Arta Siagian mengingatkan keselamatan rakyat tidak akan bisa terwujud jika hutan yang menjadi benteng alami lingkungan rusak akibat ekspansi.
“Proses-proses untuk mengubah, membuka hutan, mengubah lahan dalam skala yang besar untuk menanami monokultur karena itu akan mengancam lingkungan dan keselamatan rakyat,” terangnya.
Ia mendesak seluruh perizinan yang menyangkut alih fungsi lahan dengan tujuan deforestasi dihentikan agar kerusakan ekologis tidak makin masif.
“Ketika dia mendapatkan izin ada dampak-dampak besar yang akan terjadi dan itu nggak bisa dihilangkan dan sangat sulit sekali terminimalisir melihat cara kerja pengurus negara kita hari ini,” ungkapnya.
Uli Arta mendorong pemerintah mendengarkan suara dan kehadiran masyarakat adat Papua dengan tidak membuka perluasan sawit. Ia menekankan pentingnya pemerintah menghormati dan melindungi masyarakat papua sebagai warga negara yang memiliki hak.
“Di tanah Papua itu, tidak ada sejengkal pun tanah di Papua itu yang bukan wilayah adat. Kalau kemudian proyek ini dijalankan tanpa adanya persetujuan dan pelibatan bermakna masyarakat adat, maka dia akan menjadi titik konflik yang terus-menerus akan tinggi eskalasinya,” pungkasnya.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik Edisi Khusus KBR Media
Baca juga:
- Grasah-grusuh Penulisan Ulang Sejarah RI
- Evaluasi 1 Tahun MBG Ungkap Sederet Polemik dan Kritik






