Kebijakan pendidikan pada tahun pertama pemerintahan Prabowo–Gibran telah ...
Penulis: Wydia Angga, Putri Khalisa, Sindu
Editor: Sindu

KBR, Jakarta- Satu tahun kinerja pemerintahan Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming di bidang pendidikan menuai kritik sejumlah pihak dan mendapat nilai enam dari skala 0-10.
Per Senin, 20 Oktober pekan ini, Prabowo-Gibran genap setahun memimpin republik. Tak lama usai dilantik pada 20 Oktober 2024, keduanya mengusung visi Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045. Visi tersebut akan direalisaskan dengan delapan misi atau yang jamak disebut Asta Cita.
Sektor pendidikan termasuk bagian dari Asta Cita. Tertuang dalam poin keempat, isinya: "Memperkuat pembangunan sumber daya manusia (SDM), sains, teknologi, pendidikan, kesehatan, prestasi olahraga, kesetaraan gender, serta penguatan peran perempuan, pemuda, dan penyandang disabilitas."
Lalu, bagaimana kinerja rezim Prabowo-Gibran untuk sektor pendidikan selama setahun ini?
Setidaknya, ada delapan delapan terobosan Prabowo untuk sektor pendidikan demi terciptanya Indonesia Emas, yakni:
1. Makan Bergizi Gratis (MBG)
Proyek MBG untuk memastikan tidak ada anak kelaparan dan kekurangan gizi, bahkan sejak di kandungan. Pemerintah menyediakan proyek ini untuk semua anak di Indonesia. Keputusan ini bertujuan agar setiap anak dapat tumbuh sehat dan kuat, dengan asupan gizi cukup.
2. Cek Kesehatan Gratis (CKG)
Pemerintah menyediakan layanan Cek Kesehatan Gratis bagi seluruh anak Indonesia, guna memastikan mereka tumbuh optimal baik fisik maupun psikis. Sebab, setiap anak berhak tumbuh sehat. Begitu pun para orang tua harus dipastikan dalam keadaan sehat.
3. Sekolah Rakyat Berasrama SD hingga SMA
Pemerintah mendirikan Sekolah Rakyat dari jenjang SD hingga SMA. Di Sekolah Rakyat, makan dan minum, bahkan asrama anak-anak ditanggung pemerintah. Program ini diharapkan dapat memberikan Pendidikan layak bagi anak keluarga miskin dan memutus rantai kemiskinan.
4. SMA Unggulan Berasrama untuk Anak Berbakat
Pemerintah menciptakan ekosistem SMA Unggulan bagi anak-anak yang memiliki kecerdasan dan bakat istimewa, sesuai UU Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 5 Ayat 4. Program ini bertujuan mengasah potensi terbaik anak-anak berbakat agar dapat menjadi pemimpin masa depan Indonesia. Dalam 5 tahun, pemerintah menargetkan pembangunan SMA unggulan di setiap kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
5. PP Tunas untuk Perlindungan Anak dari Bahaya Online
Presiden Prabowo mengesahkan PP Tunas, Jumat (28/3/2025), untuk melindungi anak-anak dari ancaman dunia maya, seperti perundungan dan eksploitasi. PP Tunas atau Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak mengatur usia minimal penggunaan media online, kewajiban persetujuan dan pengawasan orang tua sesuai tingkat risiko platform, serta kewajiban setiap platform untuk memberikan edukasi digital kepada anak dan orang tua agar aman dan bijak menggunakan internet.
6. Transfer Langsung Tunjangan Guru dan Peningkatan Gaji Guru
Kepala negara telah meningkatkan gaji guru dan menerapkan transfer langsung tunjangan guru sebagai apresiasi kepada mereka yang telah bekerja keras mencerdaskan anak-anak bangsa.
7. Renovasi Sekolah
Penyelenggara negara mengalokasikan anggaran terbesar dalam sejarah Indonesia untuk Renovasi Sekolah. Sepuluh ribu sekolah akan direnovasi dengan bujet Rp17,1 triliun. Salah satu tujuannya, untuk memastikan setiap anak mendapatkan fasilitas aman dan nyaman ketika mengenyam pendidikan.
8. Smart Board di Setiap Ruang Kelas
Pemerintah menyediakan Smart Board di setiap ruang kelas di seluruh Indonesia, termasuk daerah terpencil. Smart Board akan memberikan anak-anak akses kepada alat peraga digital dan konten belajar yang dinamis sehingga proses belajar mengajar lebih interaktif dan menarik. Ini juga strategi pemerintah memajukan pendidikan di era digital.
Dari delapan terobosan tersebut, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai, kebijakan pendidikan di era Prabowo–Gibran belum berpihak pada rakyat kecil dan belum menyentuh akar permasalahan utama sektor pendidikan.
Alih-alih memperkuat pemerataan dan akses pendidikan bagi semua warga negara, sejumlah kebijakan justru dianggap keluar dari prinsip keadilan sosial. JPPI bilang, arah kebijakan pendidikan nasional dinilai masih jauh dari semangat konstitusi.

Infrastruktur Sekolah Terabaikan
Dari segi infrastruktur sekolah secara nasional misalnya, Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji mengungkapkan, kondisinya saat ini masih memprihatinkan. Ia menilai pemerintah belum mampu memperbaiki sarana dan prasarana sekolah dasar yang rusak di berbagai daerah.
“Sekitar 60 persen sekolah di jenjang SD kondisinya rusak, baik rusak ringan, sedang, maupun berat,” ujarnya kepada KBR, Selasa, (21/10/2025).
Kerusakan tersebut, belum termasuk sekolah menengah pertama dan atas, serta lembaga pendidikan berbasis agama seperti madrasah dan pesantren. Kondisi ini menunjukkan alokasi anggaran yang tersedia belum memadai.
“Artinya, alokasi yang sekarang masih sangat kurang. Bahkan untuk sekolah saja belum ter-cover, apalagi madrasah dan pesantren,” katanya.
Ubaid menegaskan, kebijakan pendidikan seharusnya didasarkan pada data yang rinci dan presisi agar mampu menjawab kebutuhan nyata di lapangan.
“Enggak bisa ngomong pendidikan hanya sekolah. Sebagian anak-anak Indonesia sekolah di madrasah dan pesantren, dan itu semua harus dihitung,” tuturnya.
Ia menilai, tanpa perencanaan berbasis data menyeluruh, kebijakan pendidikan akan terus timpang antara wilayah perkotaan dan pedesaan.
Kondisi infrastruktur pendidikan yang rusak juga disadari pemerintah. Mengutip laman resmi Puslapdik Kemendikdasmen, Presiden Prabowo Subianto menyebut pada APBN 2025 telah dialokasikan sekitar Rp17 triliun untuk memperbaiki sarana dan prasarana pendidikan di seluruh Indonesia.
Anggaran tersebut, cukup untuk memperbaiki sekitar 11 ribu sekolah.
“Kita harus memperbaiki sebanyak-banyak sekolah di seluruh Indonesia dalam waktu secepat-cepatnya,” ujar Presiden dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional di SD Negeri Cimahpar 5, Kota Bogor, Jawa Barat.
Presiden menambahkan, jumlah sekolah yang diperbaiki akan terus ditingkatkan seiring dengan upaya penghematan anggaran dan peningkatan pendapatan negara. Ia memastikan setiap dana pendidikan akan dikelola dengan sungguh-sungguh untuk kepentingan rakyat.
“Saya berpikir kita bisa mempercepat perbaikan sendi-sendi kehidupan bangsa, antara lain memperbaiki semua sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Ini sasaran kita,” tegasnya.

Sekolah Rakyat dan Stigma Sosial
Sekolah Rakyat, adalah salah satu infrastruktur terpadu pendidikan yang digagas kepala negara. Wakil Menteri Sosial, Agus Jabo Priyono menyebut, 165 Sekolah Rakyat rintisan telah beroperasi menggunakan gedung hasil revitalisasi.
Pemerintah menargetkan pembangunan gedung permanen dimulai Oktober 2025 di 108 titik, dengan anggaran rata-rata mencapai Rp200 miliar per sekolah.
Namun, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) menilai, Sekolah Rakyat belum tepat sasaran. Program yang digagas untuk memperluas akses pendidikan bagi keluarga miskin itu dinilai berpotensi menimbulkan stigma sosial dan tidak sesuai kebutuhan di lapangan.
“Mestinya Sekolah Rakyat hadir di daerah yang enggak ada sekolah, madrasah, atau pesantren. Jangan malah di Jakarta atau Tangerang Selatan yang sekolahnya sudah banyak,” ujar Ubaid.
Ubaid juga khawatir program ini menimbulkan tumpang tindih dengan sekolah negeri, madrasah, maupun pesantren yang sudah ada.
“Kalau sama saja dengan sekolah negeri atau madrasah negeri, buat apa? Malah jadi rival,” katanya.
Lebih lanjut, ia menilai program tersebut bertentangan dengan prinsip keadilan dan inklusivitas pendidikan.
“Sekolah Rakyat meng-kotak-kan anak-anak dari keluarga miskin. Stereotip itu kejam, karena mereka dilabeli anak miskin, anak lemah, dan sulit keluar dari kemiskinan,” tegasnya.
Menurut Ubaid, negara seharusnya menjamin pendidikan gratis bagi semua anak tanpa memisahkan latar belakang ekonomi, sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan pendidikan tanpa pungutan biaya.
Ia menilai, pemerintah tidak perlu membangun sekolah baru atau merekrut guru tambahan jika sistem yang sudah ada dijalankan sesuai amanat konstitusi.
Pelanggaran Konstitusi dan Penurunan Anggaran
JPPI menilai kebijakan pendidikan pada tahun pertama pemerintahan Prabowo–Gibran telah melanggar konstitusi, terutama terkait pemenuhan anggaran minimal 20 persen dari APBN untuk sektor pendidikan. Berdasarkan catatan lembaga tersebut, anggaran pendidikan dalam APBN 2026 hanya mencapai sekitar 14 persen.
“Anggaran pendidikan yang seharusnya sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN malah dikurangi untuk program MBG (Makan Bergizi Gratis),” kata Ubaid.
Proyek ini berpotensi merusak fondasi sistem pendidikan nasional karena mengalihkan dana dari sektor strategis seperti peningkatan mutu guru dan perbaikan fasilitas sekolah.
“Kalau anggaran pendidikan cuma 14 persen, bagaimana nasib infrastruktur sekolah, madrasah, pesantren? Bagaimana dengan guru yang sampai hari ini masih digaji Rp200–300 ribu?” katanya.
JPPI berencana mengajukan judicial review terhadap UU APBN 2026 karena dianggap melanggar Pasal 31 Ayat 4 UUD 1945.
“Ini jelas inkonstitusional,” tegasnya.
Selain itu, JPPI menilai proyek Makan Bergizi Gratis (MBG) belum menunjukkan hasil yang signifikan. Ubaid menyebut, dari total Rp170 triliun anggaran tahun ini, hanya Rp100 triliun yang terserap.
“Sisanya Rp70 triliun dikembalikan ke kas negara,” ujarnya.
Ironisnya, pada 2026 alokasi anggaran MBG justru melonjak menjadi Rp335 triliun.
“Ini peluang korupsi yang mencurigakan. Sudah terbukti gagal, malah ditambah tiga kali lipat,” ucapnya.
Empat Juta Anak Putus Sekolah
Masalah klasik putus sekolah juga belum terselesaikan. Berdasarkan data JPPI, lebih dari empat juta anak Indonesia masih tidak bersekolah.
“Mayoritas karena faktor ekonomi dan ketiadaan sekolah di daerah mereka,” ujar Ubaid.
Ia menjelaskan, ketidakseimbangan antara daya tampung sekolah dasar dan menengah menyebabkan banyak siswa tidak dapat melanjutkan pendidikan.
“Kalau daya tampung SD besar tapi SMP dan SMA kecil, otomatis banyak anak tidak bisa lanjut sekolah,” katanya.
Menurut Ubaid, pemerintah seharusnya mengarahkan kebijakan pada perluasan akses pendidikan dan peningkatan kualitas tenaga pendidik.
“Daripada anggaran untuk makan-makan, lebih baik digunakan untuk meringankan biaya pendidikan di perguruan tinggi,” katanya.
Ia menilai, biaya kuliah yang terus meningkat akibat komersialisasi membuat pendidikan tinggi semakin tidak terjangkau oleh masyarakat menengah ke bawah.

Catatan Setahun Pemerintahan Prabowo–Gibran
Dalam catatan JPPI, terdapat tiga persoalan besar yang mewarnai satu tahun pertama pemerintahan Prabowo–Gibran di bidang pendidikan. Pertama, pengelolaan anggaran pendidikan yang dinilai inkonstitusional karena dialihkan untuk program non-pendidikan seperti MBG.
Kedua, pengabaian putusan Mahkamah Konstitusi yang menjamin pendidikan gratis di seluruh jenis sekolah. Ketiga, kebijakan diskriminatif melalui program Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan yang dinilai memperkuat segregasi sosial.
“Kebijakan pendidikan selama setahun ini jauh dari prinsip inklusif dan keadilan,” ujar Ubaid.
Ia menilai, arah kebijakan pemerintah justru memperlebar jurang antara anak-anak kaya dan miskin.
“Yang kaya masuk sekolah unggulan, yang miskin masuk sekolah rakyat. Mau ke mana arah pendidikan kita kalau seperti ini?” ujarnya.
JPPI mendesak pemerintah segera mengoreksi arah kebijakan pendidikan agar kembali pada amanat konstitusi dan berpihak kepada kepentingan rakyat banyak.
“Negara tidak boleh abai. Pendidikan harus jadi alat pemerdekaan, bukan pemisah antar kelas sosial,” tegas Ubaid.
Catatan untuk Proyek Makan Bergizi Gratis (MBG)
Untuk terobosan sektor makan-makan ini, Lembaga Riset Transparency International Indonesia (TII) mempunyai sejumlah catatan selama setahun rezim Prabowo-Gibran. Pertama, TII mendesak anggaran proyek MBG dialihkan kembali untuk mendukung sektor pendidikan yang masih menghadapi berbagai tantangan.
Pasalnya, Peneliti TII Agus Sarwono menilai, program makan-makan yang selama ini berjalan justru dinikmati kelompok-kelompok kepentingan.
Yaitu, kelompok-kelompok yang sekarang mengelola dapur atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Ia mengaku, penerima manfaat MBG juga sangat besar sekali, karena itu perlu dievaluasi.
“Jadi, banyak kelompok-kelompok kepentingan yang sebetulnya juga ikut bermain dalam penyediaan Makan Bergizi Gratis. Yang sesungguhnya siapa yang diuntungkan? Ya mereka-mereka, mereka-mereka punya kelompok kepentingan,” kata Agus kepada KBR, Senin (20/10/2025).
Untuk membiayai MBG, hampir 30 persen dananya diambil dari Anggaran Pendidikan 2026.
“Banyak sekolah di daerah yang masih punya masalah infrastruktur, alat peraga, sampai akses transportasi siswa ke sekolah. Lebih baik anggaran itu dikembalikan ke program pendidikan,” ujar Agus.
“Kenapa enggak dialihkan untuk itu? Daripada digunakan untuk makan bergizi gratis yang sebenarnya minim sekali manfaatnya. Pada akhirnya hanya sebatas menghamburkan anggaran dan hanya dinikmati oleh kelompok-kelompok kepentingan,” tambahnya.
Potensi Korupsi Tinggi
Agus juga menyebut proyek tersebut memiliki risiko korupsi tinggi seperti laporan terbaru yang dirilis TII bertajuk “Risiko Korupsi di Balik Hidangan Makan Bergizi Gratis” yang menyoroti tingginya kerentanan korupsi dalam pelaksanaan MBG melalui pendekatan Corruption Risk Assessment (CRA).
Dalam laporan itu disebut, lemahnya pengawasan membuka celah bagi praktik penggelembungan harga, dengan penggunaan bahan pangan berkualitas rendah atau tidak layak konsumsi. Salah satu preseden implementasi MBG adalah siswa keracunan makan siang. Belum lagi, terkait pengawasan terhadap pengadaan barang dan jasa.
“Risiko korupsi dalam program Makan Bergizi Gratis, kami melihat tiga hal. Pertama dari aspek regulasi—regulasinya enggak ada. Kedua, kelembagaannya banyak didominasi mereka-mereka yang sebetulnya tidak punya keahlian soal gizi. Yang ketiga adalah dari aspek operasionalnya sendiri. Kita lihat betul banyak peristiwa keracunan. Enggak cuma sekali atau dua kali, cukup sering,” ungkapnya.
Terkait keracunan, data per 4 Oktober 2025 mencatat, lebih dari 10 ribu penerima manfaat keracunan sejak proyek ini digulirkan.
Pemotongan
Selain itu, TII menemukan ada praktik pemotongan fee oleh yayasan kepada mitra Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Praktik ini turut meningkatkan risiko kerugian keuangan negara (potential loss), yang diperkirakan dapat mencapai sekitar Rp1,8 miliar per tahun di setiap SPPG.
“Itu angkanya dari mana? Ada pemotongan itu tadi, kami menghitung rata-rata. Itu sekitar 2.500 dari 15.000, bisa dikalikan. Satu SPPG itu melayang 3.000 sampai dengan 5.000 paket MBG per hari, selama 5 hari, kali sebulan, kali setahun. Itu ketemu angkanya 1,8 miliar per tahun per SPPG. Sehingga kami lihat bahwa program ini pada akhirnya hanya ngebuang anggaran,” papar Agus.
Laporan juga menemukan sebagian besar komponen anggaran program MBG yang tercantum dalam fungsi pendidikan tidak secara langsung berkaitan dengan pendidikan. Anggaran itu juga diperuntukkan membangun SPPG, pengadaan alat ukur pertumbuhan dan berat badan anak, pelaksanaan koordinasi program MBG, pelatihan petugas penjamah makan, perumusan sistem tata Kelola pemenuhan gizi nasional, dan lain sebagainya.
Padahal, belanja fungsi pendidikan umumnya ditujukan untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang langsung menunjang proses pendidikan (proses belajar mengajar, penggajian guru, pengadaan sarana/prasarana belajar, pelatihan, dll).
Memasukkan anggaran program MBG pada fungsi pendidikan di mana komponennya tidak berkaitan langsung kegiatan pendidikan berpotensi mengaburkan penilaian efektivitas belanja sektor pendidikan. Situasi ini mempersulit evaluasi capaian fungsi pendidikan secara objektif.

Makan atau Kuliah
Kritik soal MBG yang menyedot biaya besar juga datang dari netizen.
Akun Instagram @logoslogis menulis, “Menggratiskan pendidikan di Institut Teknologi Bandung (ITB) selama 40 tahun, dengan hasil lebih dari 212 ribu lulusan sarjana, hanya memerlukan Rp21,2 triliun. Jumlah ini kontras dengan pengeluaran untuk program Makan Bergizi (MBG) yang mencapai Rp24 triliun setiap bulan.”
Kritik tersebut kemudian membuka perbincangan yang membandingkan antara kebutuhan makan gratis dan kuliah gratis jika pembiayaannya menggunakan anggaran pendidikan.
Lantas, bagaimana jika yang menjadi target pembiayaan kuliah gratis adalah seluruh mahasiswa se-Indonesia? Berapa biaya yang dibutuhkan?
Mengacu data terbaru dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), hampir 10 juta mahasiswa berstatus aktif sedang kuliah.
Sementara, rentang Uang Kuliah Tunggal (UKT) di ITB sekitar Rp500.000 hingga Rp12.500.000 per semester atau 25 juta per tahun.
Artinya, jika seluruh mahasiswa di Indonesia diberikan beasiswa kuliah gratis, maka dibutuhkan biaya sekitar Rp 250T setahun.
Bandingkan dengan total dukungan dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk mendukung pelaksanaan MBG yang mencapai Rp335 triliun untuk tahun 2026.
Padahal, Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 mencatat sebanyak 20,31 persen anak muda di Indonesia pada kelompok usia 15-24 tahun termasuk dalam kategori not in education, employment, or training (NEET) atau tidak sekolah, tidak bekerja, dan tidak mengikuti pelatihan.
Artinya, pada usia yang seharusnya menjadi masa transisi ke perguruan tinggi, banyak pemuda tidak melanjutkan pendidikan, di antaranya karena terbebani biaya.
Kesejahteraan Guru dan Rapor Prabowo-Gibran
Setahun rezim Prabowo-Gibran memimpin, Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) memberi nilai 6 dari skala 0-10 untuk sektor pendidikan, khususnya kesejahteraan tenaga pendidik.
Ada sejumlah variabel yang digunakan P2G untuk memberi penilaian itu. Pertama, karena ada sekitar 10 ribuan guru yang belum memiliki ijazah Strata Satu (S-1) kini dikuliahkan dan dibiayai penyelenggara negara. Koordinator P2G, Satriwan Salim menilai, dalam konteks membiayai guru kuliah, mereka mengapresiasi.
"230.000 (guru) ada yang masih SMA. Guru-guru zaman dulu, ya, ada D1, D2, D3. Nah, itu semuanya dibiayai oleh pemerintah yang kedua adalah akselerasi proses pendidikan profesi guru dalam jabatan," katanya kepada KBR Media, Selasa, 21 Oktober 2025.
Variabel berikutnya adalah pendidikan profesi guru (PPG). Menurut Satriwan, dari 2005-2024 ada lebih dari satu juta guru belum disertifikasi pemerintah. Secara akumulasi, angka tertinggi pernah menembus 1,6 juta guru belum disertifikasi pada 2022-2023.
Namun, pada tahun ini atau setahun terakhir, Kemendikdamen mempermudah proses pendidikan profesi guru secara administrasi. Kini, pendidik atau tenaga kependidikan (PTK) tak perlu memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) untuk mengikuti proses pendidikan profesi.
“Dulu yang menjadi sandungannya adalah NUPTK itu. Nah, di era sekarang itu kemudian dihapuskan sehingga guru-guru muda mengajar 2 tahun 3 tahun gitu ya mereka baru ya kategorinya masih guru muda, bahkan guru pertama langsung mengikuti pendidikan profesi guru,” ujar Satriwan.
PPG bagi guru adalah bentuk nyata pengakuan kompetensi dan dedikasi seorang pendidik. Dengan memiliki sertifikat PPG, guru berpeluang besar meningkatkan karier, kesejahteraan, dan kualitas pengajaran.
Pada tahun-tahun sebelumnya, ada sekitar 100 ribuan guru mengikuti pendidikan profesi. Di era Prabowo, sudah ada sekitar 800 ribu guru mengikuti PPG. Targetnya 1 juta guru selesai disertifikasi pada 2025 dan paling lambat 2026. Percepatan PPG ini diapresiasi P2G.
Pelanggaran Konstitusi
Faktor lain yang membuat P2G tak memberikan nilai sempurna dalam konteks kesejahteraan guru adalah soal kesejahteraan tenaga pendidik, terutama honorer. Hingga kini, dalam catatan P2G, ada guru yang masih digaji di bawah upah minimum provinsi (UMP), yakni 250-300 ribu per bulan.
Nilai ini bahkan jauh di bawah upah buruh di setiap kabupaten/kota. Semisal, Jakarta yang angkanya di atas 5 juta per bulan.
Padahal, merujuk Undang-Undang 2005 tentang Guru dan Dosen, Pasal 14 ayat 1 huruf a dikatakan, guru berhak untuk mendapatkan penghasilan di atas kebutuhan minimum.
“Realita guru-guru gaji Rp300.000, Pendidikan Anak Usia Dini itu masih diberikan upah 250.000 itu sampai sekarang, bukan masih ada masih banyak ya itu masih banyak,” imbuhnya.
Kata dia, pemerintahan Prabowo-Gibran memang memberikan skema bantuan subsidi upah dan bantuan insentif bagi guru-guru non-honorer dan PAUD, yakni 300 ribu per bulan dan dirapel selama tujuh bulan.
Skema ini disampaikan Prabowo saat peringatan HUT ke-80 Guru tahun ini. Prabowo menyebutnya sebagai “hadiah atau kado” bagi guru. Namun, pilihan diksi ini disesalkan P2G.
“Tentu kami berterima kasih, ya, kepada pemberian atau bentuk tanda kutip hadiah ini. Tetapi, justru mestinya yang dipenuhi itu bukan hadiah tetapi upah minimum. Makanya kami tidak setuju dengan diksi hadiah. Kalau diksi hadiah, kan, sesuatu yang didapatkan di luar pendapatan pokok di luar sesuatu yang wajib dipenuhi negara.”
Satriwan menegaskan, menyejaterahkan guru adalah kewajiban negara, caranya dengan memberikan standar upah sesuai UU, bukan memberikan hadiah, yang notabene juga dari pajak rakyat atau uang mereka sendiri.
Menurutnya, jika standar upah minimum itu dipenuhi pemerintah, dampaknya akan lebih terasa bagi guru-guru honorer.

Tak Ada Kemauan Politik
Satriwan ragu jika pemerintah tak mempunyai anggaran untuk memberikan upah guru sesuai standar. Pasalnya, dana pendidikan cukup besar, yakni 20 persen dari APBN. Pada 2026, anggaran pendidikan mencapai 769 triliunan.
Tetapi, sekitar 30-an persennya atau 223 triliun akan digunakan untuk proyek makan bergizi, sedangkan tunjangan guru non-pns 19,2 triliun dan tunjangan profesi guru ASN-Daerah 69 triliun. Lalu, untuk gabungan tunjangan guru/dosen PNS serta tenaga pendidikan anggarannya 120-an triliun.
P2G kata Satriwan, tak sepenuhnya menolak sejumlah program yang menyedot anggaran pendidikan dalam jumlah besar. Mereka ingin evaluasi dan menentukan kembali berdasarkan skala prioritas. Dana MBG misalnya, mereka meminta dikoreksi ulang, karena tak semua siswa atau penerima manfaat berhak menerima, seperti siswa-siswa di sekolah elite.
Menurutnya, jika ada evaluasi ulang dari belanja anggaran pendidikan saat ini, ia yakin kesejahteraan guru bisa dipenuhi negara.
Artinya kata dia, anggaran untuk kesejahteran guru itu ada. Namun, kemauan politik yang masih belum ada. Sejak adanya UU Guru dan Dosen 2005, sejak itu pula penyelenggara negara tak menjalankan perintah yang ada di beleid tersebut, yakni memberikan hak pendapatan di atas kebutuhan minimum bagi guru. Mulai dari rezim SBY, Jokowi, hingga Prabowo yang saat ini masih berkuasa.
“Memang fakta, ya, enggak bisa kita tutupi dan tidak hanya di era Prabowo. Berarti sudah tiga kali presiden berganti kan,” jelasnya.
Dibandingkan sejumlah negara di ASEAN, gaji guru di Indonesia terbilang terendah. Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) Mei 2024 mencatat, 74 persen guru honorer digaji di bawah UMK atau kurang dari Rp 2 juta per bulan.
Survei itu melibatkan 403 responden dari 25 provinsi. Pemerintah memang memberi insentif tahunan bagi guru non-aparatur sipil negara, tapi nilainya hanya Rp2,1 juta per tahun untuk guru formal dan Rp2,4 juta untuk guru PAUD non-formal.
Di Singapura, tepatnya di wilayah Serangoon guru menerima sekitar 46 juta per bulan.
PPPK Bukan Solusi
Sementara ini, pemerintah tak lagi merekrut guru PNS melainkan guru dengan status Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K). Dalam laporan RAPBN 2026, guru ASN di daerah mencapai 1,6 juta, sedangkan non-ASN 754 ribuan jiwa.
Satriwan bilang, PPPK dilaksanakan sejak era Jokowi. Menurutnya, ini jalan keluar darurat, karena di satu sisi rekrutmen guru PNS ditutup, tetapi ada kondisi kekurangan guru di banyak daerah. Lalu, muncullah PPPK.
Dalam praktiknya, tak mudah bagi guru untuk bisa menjadi PPPK. Jalannya berliku dan banyak masalah dalam pelaksanaannya berdasarkan temuan P2G.
“Terakhir kan 2019 rekrutmen guru PNS. Nah, akhirnya 2020 hingga sekarang hanya rekrutmen P3K, dan guru-guru dalam tanda petik berkonflik dengan guru honorer yang lain ya kan untuk memperebutkan menjadi guru P3K.”
Belum lagi, masih ada guru yang sudah lolos masih belum dilantik menjadi P3K. P2G tak sepakat dengan sistem P3K. Bagi mereka, P3K ibarat sistem kasta dalam profesi guru. Pembeda antara guru PNS dan P3K, padahal kewajiban mereka sama mencerdaskan anak bangsa. P3K pun masih dibagi menjadi dua, yakni penuh waktu dan paruh waktu. P2G menyebut P3K adalah diskriminasi.
“Mestinya P3K ini jangan dijadikan sebagai alternatif atau jangan dijadikan sebagai solusi utama. Ini sebenarnya kan alternatif terakhir saja, kenapa sih enggak membuka rekrutmen guru PNS?”
Data Badan Kepegawaian Negara (BKN) soal PPPK per 31 Desember 2024 adalah, jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) di instansi pusat dan instansi daerah yang terdiri dari PNS dan PPPK adalah 4.734.041. Rinciannya, jumlah PNS 3.566.141 atau 75% dan jumlah PPPK sebanyak 1.167.900 (25%).
Kini, P2G memantau perkembangan revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di parlemen. Mereka ingin, standar upah minimum bagi guru atau tenaga pendidik dijelaskan detail dalam revisi beleid itu nanti.
“Kalau skema gaji atau upah ini kemudian dibunyikan termasuk dari segi nominal termasuk dari segi politik anggaran di dalam, saya pikir ini makin kuat. Misalnya gitu, ya, di pasal anggaran pendidikan misalnya di RUU sidiknas dimasukkan klausul bahwa anggaran 20% APBN tersebut untuk pendidikan sebagai apa namanya mandatory.”
P2G berharap, mewujudkan Asta Cita, yang didalamnya memuat soal kesejahteraan guru, mengganti P3K dengan membuka perekrutan guru PNS, dan memperbaiki infrastruktur pendidikan. Sebab kata Satriwan, kesejahteraan guru bukan hadiah, melainkan tanggung jawab negara.
“Kami sangat berharap terhadap realisasi janji Pak Prabowo waktu itu adalah penetapan standar upah minimum itu bagi guru-guru. Kami pikir angka 10 pun akan kurang gitu nilainya kalau itu terpenuhi.”
Klaim Pemerintah
Kemarin, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti menyampaikan beberapa capaian pemerintahan Prabowo di di sektor pendidikan selama setahun.
Antara lain, revitalisasi satuann pendidikan, digitalisasi pembelajaran, hingga peningkatan kesejahteraan guru.
Dari sisi sarana dan prasarana, Kemendikdasmen mengklaim, telah menjalankan program revitalisasi 16 ribuan satuan pendidikan mulai PAUD hingga SMA/SMK, termasuk SLB dengan anggaran total Rp16,97 triliun.
Dari aspek kesejahteraan guru, ada sekitar 1,4 juta guru berstatus ASN mendapat tunjangan profesi guru (TPG) dengan nilai 34,70 triliun sepanjang 2025.
TPG juga diberikan kepada 395.967 guru non-ASN dengan anggaran Rp6,56 triliun.
"Capaian ini adalah awal untuk melangkah lebih baik lagi pada sisa masa bakti sampai 2029. Kami tentu banyak yang sudah kami capai, tetapi kami sadar banyak hal yang belum," kata mendikdasmen di Taklimat Media Setahun Kemendikdasmen di Jakarta, Rabu, 22 Oktober 2025, dikutip dari ANTARA.
Baca juga: