ICW menilai satu tahun pemerintahan Prabowo memperlihatkan sinyal kegagalan serius dalam pemberantasan korupsi. Penegakan hukum berjalan mundur, pengawasan tumpul, dan prinsip pemerintahan diabaikan.
Penulis: Naomi Lyandra, Resky N
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Upaya pemberantasan korupsi dinilai belum maksimal dalam perjalanan satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran, usai Indonesia Corruption Watch (ICW) memberikan rapor merah.
Koordinator Divisi Advokasi ICW, Egi Primayogha, menyatakan tren pemberantasan korupsi urung membaik setahun belakangan. Alih-alih memperkuat aparat penegak hukum dengan memastikan akuntabilitas dan independensi, pemerintahan ini justru menggunakan penegakan hukum untuk mengkonsolidasikan kekuasaan.
“Kami menyampaikan catatan kritis dan juga rapor untuk 1 tahun pemerintahan Prabowo-Gibran. Dan dari catatan ataupun rapor tersebut, kami beranggapan bahwa selama 1 tahun masa pemerintahan Prabowo-Gibran, pemberantasan korupsi justru mengalami kemunduran,” ujar Egi dalam siaran Ruang Publik KBR, Selasa (21/10/2025).
Egi menyebut pemerintah bukan hanya gagal memperbaiki kerusakan pasca-revisi UU KPK 2019, melainkan memperkuat politik patronase yang justru memperlebar praktik korupsi.
Satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran telah memperlihatkan sinyal kegagalan serius dalam pemberantasan korupsi. Penegakan hukum berjalan mundur, pengawasan tumpul, dan prinsip pemerintahan yang baik secara sengaja diabaikan.
Egi juga menyinggung janji Asta Cita yang semula menempatkan pemberantasan korupsi sebagai prioritas, namun faktanya tidak dijalankan.
“Prabowo pernah mengatakan bahwa akan memaafkan koruptor di awal tahun 2025. Wacana tersebut tidak patut untuk disampaikan. Karena yang dibutuhkan justru adalah memperberat hukum koruptor,” ujarnya.

Asta Cita Belum Ditepati
Dalam janji Asta Cita, Prabowo-Gibran menjadikan pemberantasan korupsi sebagai salah satu agenda utama. Poin tujuh dari Asta Cita berbunyi: “Memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba”. Namun, menurut catatan ICW dalam praktiknya, komitmen itu tidak pernah benar-benar dijalankan.
"Agenda reformasi politik tidak dijalankan secara serius. Alih-alih melakukan perubahan terhadap sistem kepartaian dan kepemiluan, memastikan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan, serta check and balances, Prabowo-Gibran justru melakukan langkah-langkah yang bertentangan," tulis Laporan ICW.
ICW mencatat politik transaksional bagi-bagi jabatan, konsolidasi partai untuk menihilkan ruang oposisi, politik patronase, serta proses legislasi yang tertutup dan terburu-buru menjadi preseden buruk di 1 tahun pemerintahan.
"Dalam hal penegakan hukum, Prabowo-Gibran tidak mengembalikan independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagaimana akibat dari revisi UU KPK tahun 2019. Reformasi kepolisian berjalan tanpa arah yang jelas. Kejaksaan pun tidak dipastikan akuntabilitas dan pengawasannya," tambah ICW.
ICW menilai kondisi tersebut dapat berakibat pada rule by law, yakni hukum dijadikan alat kekuasaan. Sementara yang dibutuhkan adalah prinsip rule of law, agar penegakan hukum kasus korupsi dapat berjalan baik.
Prabowo-Gibran dianggap tidak menjadikan reformasi birokrasi sebagai agenda serius. Padahal, pantauan ICW dari tahun ke tahun selalu menunjukkan birokrasi sebagai pelaku korupsi yang dominan.
"Tidak ada langkah berarti dalam mendorong kultur integritas dan etika publik, penyederhanaan birokrasi, atau bersih-bersih kelompok atau individu dalam birokrasi yang bermasalah," lanjut ICW.

Catatan Soal Pengampunan Koruptor
Dalam Rapor ICW juga disebutkan Prabowo melakukan intervensi penegakan hukum yang diduga kuat adalah bagian konsolidasi kekuasaan. Ia mencatat sejarah baru sebagai Presiden RI pertama yang memberikan abolisi dan amnesti kepada terdakwa tindak pidana korupsi.
“Penerima abolisi adalah Thomas Trikasih Lembong, Mantan Menteri Perdagangan era Jokowi dari tahun 2015 hingga 2016. Sedangkan penerima amnesti adalah Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDIP,” tulis laporan ICW.
Thomas Lembong merupakan terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula pada tahun 2015 hingga 2016. Sementara, Hasto diduga terlibat dalam dugaan kasus suap Komisioner KPU untuk pengurusan Penggantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI Harun Masiku.
ICW beranggapan meskipun secara hukum merupakan hak prerogatif presiden, pemberian abolisi dan amnesti menjadi salah satu catatan kelam dalam sejarah pemberantasan korupsi.

Tata Kelola Ugal-Ugalan
Selain itu, ICW menilai program bantuan pangan dan pemberdayaan seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) sarat patronase karena distribusi sumber daya diarahkan ke kelompok pendukung politik.
“Program MBG didistribusikan diduga kepada orang-orang yang menjadi pendukung Prabowo Subianto atau Gibran setelah menang mereka mendapatkan manfaat dari kebijakan yang dikeluarkan,” ujar Egi.
Selain program MBG, kebijakan prioritas lain yang sarat potensi Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme atau KKN yakni Danantara dan Koperasi Merah Putih. Sebab, ada gelontoran dana besar yang dikelola lewat program andalan pemerintah tersebut.
“Serupa dengan MBG, program lain yaitu Danantara dan Koperasi Merah Putih memboroskan anggaran publik, disusun secara asal-asalan, dan membuka lebar celah korupsi,” tulis laporan ICW.
Sementara itu, ICW mencatat, selama bulan Oktober hingga Desember 2024, terdapat 131 kasus korupsi yang ditangani aparat penegak hukum, namun minim transparansi dalam proses penyidikan, penuntutan, dan penjatuhan hukuman.
“Kondisi tersebut menunjukkan bahwa penegakan hukum masih jauh dari prinsip akuntabilitas dan keterbukaan,” tambah pernyataan ICW.
Menteri Rangkap Jabatan sampai Terjerat Korupsi
Laporan ICW juga menunjukkan pengangkatan anggota kabinet dan jabatan strategis lainnya tidak mempertimbangkan integritas, kompetensi, dan rekam jejak.
Prabowo-Gibran mengawalinya dengan menjadikan Kabinet Merah Putih sebagai kabinet paling gemuk sepanjang sejarah Orde Baru hingga Reformasi.
“Penambahan jumlah kementerian ini mencerminkan praktik bagi-bagi kekuasaan yang sarat akan balas budi politik. Langkah ini bukan hanya mencerminkan politik kartel yang berbasis transaksi kekuasaan, namun juga pemborosan anggaran,” tulis laporan ICW.

Selain itu, ICW mencatat terdapat sejumlah nama yang terhubung dengan kasus korupsi, mulai dari berstatus saksi, disebut-sebut dalam fakta persidangan, hingga menjadi tersangka dalam kasus korupsi.
“Mereka antara lain Wakil Menteri Hukum Edward Omar Sharif Hiariej, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra, dan Menteri Pemuda dan Olahraga Ario Bimo Nandito Ariotedjo,” tulis ICW.
Pengangkatan jabatan strategis secara serampangan ini kemudian terbukti berujung pada kasus korupsi.
“Contohnya adalah kasus yang menimpa Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer. Belum genap satu tahun menjabat, Noel terjaring dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT),” tambah ICW.
KPK Tanggapi Rapor Merah ICW
Menanggapi rapor merah tersebut, Budi Prasetyo, Juru Bicara KPK, menilai penilaian ICW tidak sejalan dengan fakta penindakan dan pencegahan yang sedang berjalan.
“Tidak relevan dengan apa yang memang saat ini sedang dilakukan oleh KPK,” ujar Budi dalam siaran Ruang Publik KBR, Selasa (21/10/2025).
Budi menyatakan KPK tetap aktif menangani kasus-kasus strategis yang berdampak luas bagi publik, seperti perkara di sektor ketenagakerjaan dan pemulihan kerugian negara melalui perampasan aset.
“Selain memberikan efek jera, KPK mengoptimalkan pemulihan keuangan negara termasuk perkara di pembiayaan LPEI dimana hitungan awal kerugian keuangan negaranya mencapai belasan triliun,” ujarnya.
Budi juga menegaskan bahwa proses pencegahan berjalan paralel melalui supervisi tata kelola pembangunan di daerah.
“KPK masuk melalui koordinasi dan supervisi. Kita memberikan saran masukan supaya pembangunan daerah betul-betul mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat," tambah Budi.

Berapa Jumlah Kasus Korupsi Era Prabowo?
Mengutip dari ANTARA, sepanjang setahun terakhir, sebanyak 43 kasus korupsi ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dengan potensi kerugian negara yang ditekan hingga Rp320,4 triliun.
Setidaknya terdapat tiga kasus korupsi besar dengan nilai kerugian negara hingga triliunan rupiah sepanjang kurun waktu pemerintahan Prabowo-Gibran.
- Kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero) serta sub-holdingnya merupakan salah satu kasus korupsi dengan kerugian negara terbesar dalam sejarah Indonesia, yakni Rp285,18 triliun.
- Kasus korupsi fasilitas ekspor CPO diusut, lalu Kejagung mengajukan kasasi. Pada September 2025, Mahkamah Agung (MA) menganulir putusan lepas tersebut, membatalkannya, dan menghukum korporasi untuk membayar uang pengganti kerugian negara yang totalnya mencapai Rp17,7 triliun.
- Kasus korupsi pengadaan laptop Chromebook, Kerugian keuangan negara yang diakibatkan oleh dugaan korupsi ini diperkirakan mencapai Rp1,98 triliun, yang berasal dari dugaan mark-up (penambahan) harga dan ketidaksesuaian spesifikasi.
Komitmen Presiden Prabowo
Presiden Prabowo Subianto menegaskan negara sulit maju dan masih banyak masyarakat miskin karena adanya kebocoran anggaran. Prabowo berupaya agar tidak ada lagi korupsi yang tak tersentuh.
”Kita bertekad tidak ada kasus-kasus korupsi yang tidak bisa diselidiki. Tidak ada. No more untouchable. Enggak ada yang untouchable lagi,” ucap Prabowo dalam pengantar sidang kabinet di Istana Negara, Jakarta, Senin (20/10/2025).

Selain itu, di kesempatan lain, Prabowo turut meminta penegakan hukum di Indonesia jangan tumpul ke atas dan tajam ke bawah, atau yang bermakna hukuman lebih berat bagi masyarakat biasa karena hal tersebut dinilai zalim.
Kepala negara menceritakan keprihatinannya terhadap hukum di Indonesia, setelah seorang anak SD ditangkap karena mencuri ayam.
"Saya ingat benar itu. Ini tidak masuk di akal. Hakim, jaksa ada apa ngejar, iya kan. Anda pasti ingat peristiwa itu. Ada lagi ibu-ibu ditangkap mencuri pohon. Mungkin ingat juga peristiwa itu, ya. Ada apa? Penegak hukum harus punya hati," kata Prabowo usai menyaksikan penyerahan uang pengganti kerugian negara dalam perkara tipikor ekspor minyak kelapa sawit sebesar Rp13,2 triliun di Kejaksaan Agung RI, Jakarta, Senin (20/10/2025).
Prabowo berharap kejadian penegakan hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah tidak terjadi lagi. Apalagi, di tengah perkembangan teknologi, masyarakat dapat mengadukan dan melaporkan berbagai peristiwa ke Presiden.
“Saya harus membela mereka, saudara-saudara harus bantu saya menegakkan kebenaran, membela, membela yang lemah," kata presiden.
Urgensi Penguatan Integritas Penegak Hukum
Wakil Ketua KPK Periode 2015-2019, Saut Situmorang menilai permasalahan utama pemberantasan korupsi berada di ranah kepemimpinan dan integritas institusi penegak hukum.
“Korupsi sering digambarkan sebagai sesuatu yang sulit, memang sulit tapi bagi yang berintegritas itu menjadi lebih gampang,” ujar Saut pada KBR, Senin (20/10/2025).

Saut mengutip pernyataan Prabowo yang berujar bahwa kunci pemberantasan korupsi hanyalah empat hal yaitu akal waras, ketelitian, integritas, dan kesederhanaan. Namun, Eks pimpinan KPK ini mempertanyakan tindak lanjutnya.
“Siapa yang mengejar? 3 institusi ini, kepolisian, kejaksaan, dan KPK. Apakah mereka sudah melaksanakan yang dimaksudkan dengan mengejar kemana saja. Ini yang menjadi pertanyaan,” jelasnya.
Menurutnya, janji pertumbuhan ekonomi 8% mustahil tercapai bila Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tidak meningkat signifikan.
“Kalau bisa periode ini bisa naik naik-naik kemudian kita bisa di atas Malaysia atau 55, ini sesuatu janji yang real”,” lanjut Saut.
Berapa Indeks Persepsi Korupsi RI?
Mengutip laporan dari Transparency International Indonesia (TII), sejak diluncurkan pertama kali pada tahun 1995, Indonesia merupakan salah satu negara yang selalu diukur secara rutin.
Saat pertama kali diluncurkan, Indonesia mendapatkan skor 19 untuk Indeks Persepsi Korupsi Indonesia dengan peringkat 41 dari 41 negara yang disurvei. Dua dekade kemudian, tepatnya di tahun 2024 lalu, Indeks Persepsi Korupsi Indonesia 2023 berada pada skor 34 dengan peringkat 115 dari 180 negara yang disurvei.
Pada CPI 2024, Indonesia berada di skor 37/100 dan berada di peringkat 99 dari 180 negara yang disurvei. Skor 37/100 ini mengalami kenaikan 3 poin dari skor CPI 2023 lalu, yakni 34/100 dan peringkat 115/180.

Rekomendasi Upaya Perbaikan Pemberantasan Korupsi
Dinamika skor dan peringkat Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi ini menunjukkan Indonesia tetap masih membutuhkan usaha yang ekstra keras dalam melakukan perbaikan menuju Indonesia yang bersih dari korupsi di masa mendatang.
Transparency International Indonesia mendorong Pemerintah, Parlemen, Badan Peradilan, lembaga penegak hukum hingga otoritas pengawasan dan seluruh sistem integritas nasional untuk terus menjamin kualitas demokrasi berjalan sesuai harapan warga negara yang berorientasi pada pemberantasan korupsi yang berdampak pada kesejahteraan sosial dan keadilan lingkungan. Seruan ini disampaikan kepada semua pihak agar:
- Pemerintah dan parlemen perlu terus menjaga ruang sipil dan aman dan partisipasi publik yang bermakna di berbagai sektor dengan menjaga kebebasan berekspresi, kebebasan pers, kebebasan akademik dan jaminan yang aman bagi tumbuhnya demokrasi yang adil.
- Melihat upaya penegakan hukum yang selalu menjadi faktor “pemberat” dalam korupsi, maka badan peradilan dan badan pengawasan seperti lembaga antikorupsi dan lembaga pemeriksa/pengawas harus kembali mandiri dan bebas dari intervensi kekuasaan manapun, memiliki sumber daya yang baik, dan diberdayakan untuk mendeteksi dan memberikan hukuman atas pelanggaran.
- Mengawal implementasi sistem integritas bisnis bagi pelaku usaha swasta dan BUMN/D dalam orientasi Proyek Strategis Nasional. Penanganan konflik kepentingan yang komprehensif menjadi salah satu solusi bagi pencapaian tujuan pembangunan nasional yang bersih dari korupsi.
- Serius dalam menangani perubahan iklim. Penelitian Transparency International terkini menunjukkan bagaimana korupsi dapat merusak “transisi yang adil” menuju emisi nol bersih, dengan menyoroti contoh-contoh spesifik di Afrika Selatan (41), Vietnam (40) dan Indonesia (37) di mana perlindungan yang tidak memadai telah menciptakan peluang bagi aktor-aktor yang tidak bermoral.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media
Baca juga:
- Menguji Klaim E10 Ramah Lingkungan dan Dapat Mengurangi Impor BBM
- Setahun Prabowo-Gibran: Klaim Swasembada Pangan Diuji, Kesejahteraan Petani Dinanti