ragam
Setahun Rezim Prabowo-Gibran, Gejala Kembali ke Orde Baru Menguat

Amnesty International Indonesia mencatat, setahun terakhir, 5.538 orang jadi korban penggunaan kekuatan eksesif dan kekerasan aparat.

Penulis: Wahyu Setiawan, Resky Novianto. Heru Haetami

Editor: Sindu

Audio ini dihasilkan oleh AI
Google News
Presiden terpilih Prabowo Subianto dan Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka memimpin rapat Kabinet Merah Putih.
Presiden Prabowo dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming. Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Aksi demonstrasi akhir Agustus 2025 terjadi beruntun selama beberapa hari hingga September awal. Situasi itu mendorong L, perempuan yang bekerja sebagai staf di salah satu organisasi internasional, membuat kritik berupa satire. Kritik disampaikan L melalui media sosialnya.

Tak disangka, perbuatannya itu dituding mengandung provokasi. L dijemput paksa, ditangkap, tanpa diketahui siapa pelapornya.

“Secara material, secara substansi, sebetulnya itu bukan perbuatan pidana atau tindak pidana. Karena, ya, tadi itu, yang dimaksudkan, itu kan kegelisahan dia, dan kemudian ekspresi dia terhadap situasi politik hari ini, pada waktu itulaj,” ucap Markus Lettang, pendamping hukum L, Rabu, (22/10/2025).

Markus yang juga pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) mengatakan, ada sejumlah kejanggalan dalam proses hukum yang dialami L.

“Ketika teridentifikasi ini bukan tindak pidana, yang tadi itu ternyata ini adalah majas, bagian ekspresi dia, tetapi sebagai orang yang dalam tanda kutip cerdas, menyampaikan dalam bentuk majas. Dan itu kan dibuka, terbuka di-BAP gitu. Nah, karena terbuka di BAP, sebetulnya enggak ada unsur pidana, karena enggak ada unsur pidana, harusnya di-SP3,” kata Markus.

“Ternyata bisa kepolisian tetap melimpahkan ke tahap dua. Dan anehnya, JPU juga kok menerima, padahal dia kan sejak awal, setelah adanya perintah penyelidikan itu, ia melakukan interferensi atau kontrollah mereka dengan proses penanganan penyelidikan kalau memang ada persoalan,” imbuhnya.

L, dijerat Pasal 48 ayat 1 juncto Pasal 32 ayat 1 dan Pasal 45a ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 UU Nomor 1 Tahun 2024 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE.

Pasal tersebut mengatur penghilangan informasi dan larangan penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian terkait SARA.

Selain pasal di UU ITE, L juga dijerat Pasal 160 dan 161 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang penghasutan melakukan kekerasan terhadap penguasa.

Markus menduga, pasal yang digunakan pada kasus L, cenderung dipaksakan. Sebab, perbuatan L bukanlah tindak pidana.

“Kalau bukan menghasut, bukan tindak pidana. kan itu sebetulnya poinnya. Nah, di BAP jelas bahwa itu maksudnya bukan untuk menghasut, berarti bukan tindak pidana dong. Tetapi faktanya sampai hari ini, sejak kemarin itu sudah dilimpahkan ke kejaksaan,” ujarnya.

Bentrokan polisi antihuru-hara dengan massa demonstran di jalanan basah, seorang individu terlihat terjatuh di tengah kericuhan.
Aksi kekerasan polisi saat menghadapi demonstran. Foto: ICJR.or.id
Advertisement image


Ribuan Orang Ditangkap

L adalah satu dari ribuan orang yang tercatat mendapat tindakan represif dan kekerasan dalam setahun pemerintahan Prabowo-Gibran. Amnesty International Indonesia mencatat, setahun terakhir, 5.538 orang jadi korban penggunaan kekuatan eksesif dan kekerasan aparat.

Tindakan itu diawali saat memprotes pengesahan UU TNI pada Maret 2025, menuntut kesejahteraan buruh pada Mei 2025, dan menolak kenaikan tunjangan DPR RI pada Agustus 2025.

Amnesty memerinci, 4.453 korban ditangkap, 744 korban kekerasan fisik, dan 341 korban penggunaan meriam air (water canon) dan gas air mata.

Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid menyebut, ini erosi demokrasi terparah sepanjang reformasi.

“Mungkin kalau mau pakai istilah yang lebih keras: dekadensi (kemerosotan). Kita mengalami semacam dekadensi politik. Ada perusakan yang luar biasa di dalam sendi-sendi kehidupan demokratis. Apa salahnya anak-anak itu? Enggak ada,” ujar Usman kepada KBR, Selasa, (21/10/2025).

Kebebasan Bereskpresi

Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyatakan “semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan”.

Salah satu universalitas kebebasan ekspresi diatur dalam Pasal 19 DUHAM, yang menyatakan:
“Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.”

Konstitusi menegaskan kebebasan berekspresi dalam Pasal 28, dan kini dipertegas dalam Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945), yang menyatakan: “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.

Reformasi Berakhir?

Pascademo Agustus 2025, 12 aktivis masih ditahan sebagai tersangka penghasutan dan dua orang dilaporkan masih hilang. Menurut Usman, ini upaya negara menciptakan iklim ketakutan.

“Sehingga tidak ada lagi yang turun ke jalan. Karena negara sedang menghadapi krisis fiskal. Krisis fiskal itu kalau bertemu ketidakpuasan sosial bahaya. Terjadi pemberontakan, pergolakan, penggulingan pemerintahan. Itu sudah hukum sejarah. Hukum besi sejarah,” ujarnya.

“Setiap kali ada krisis fiskal berdampingan dengan pergolakan sosial, banyak pemerintahan-pemerintahan takut dengan situasi itu,” imbuhnya.

Usman menyebut, maraknya penangkapan aktivis, pelibatan masif militer di ranah sipil, dan pembatasan hak bersuara, menunjukan situasi gejala Orde Baru.

“Enggak semua orang bisa membaca, enggak semua orang bisa merasakan. Bahkan sebenarnya saya sudah sampai pada kesimpulan, reformasi itu sudah berakhir, kita masuk ke fase baru yang saya sebut sebagai fase fasisme,” katanya.

“Fasisme itu ditandai oleh ketiadaan fitur demokrasi, munculnya militerisme, munculnya sentralisme, tidak ada otonomi daerah, munculnya korporatisme, semua urusan negara dikelola seperti perusahaan untuk keuntungan pemiliknya. Dan pemiliknya bukan rakyat, melainkan segelintir elit.”

Anggota TNI dan pejabat sipil membagikan makan siang gratis kepada anak-anak sekolah di dalam kelas.
TNI dilibatkan dalam proyek MBG. Foto: tni.mil
Advertisement image


Gejala Orde Baru

Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) mengamini, bahwa meningkatnya keterlibatan militer di ranah sipil di rezim Prabowo-Gibran, adalah indikator menguatnya gejala kembali ke Orde Baru.

Saat itu, ABRI –kini TNI– kerap dilibatkan dalam pekerjaan-pekerjaan yang bersentuhan dengan ranah sipil. Militer tak hanya simbol kekuatan pertahanan, namun juga masuk ke posisi-posisi strategis di pemerintahan.

Sekjen PBHI Gina Sabrina mengatakan, apa yang terjadi di Orde Baru, kini makin terlihat nyata di pemerintahan Prabowo.

“Kami di PBHI melihat ada penyelewengan terhadap tugas pertahanan, setidaknya dalam satu tahun terakhir. Itu terjadi di zaman Jokowi, tetapi itu tidak diperbaiki. Di masa kepemimpinan Prabowo, setidaknya sampai 365 hari kemarin, misalnya ada kecenderungan juga pemerintah melegitimasi penggunaan atau penyelewengan kewenangan TNI,” kata Gina dalam diskusi di Jakarta, Minggu, (19/10/2025).

Dia menekankan, Reformasi memandatkan adanya pemisahan antara militer dan sipil. Seharusnya, amanat itu dijaga.

“Pemisahan ABRI di mana TNI itu fokus pada tugas pertahanan. Sementara Polri fokus keamanan dalam negeri. Dan tugas berikutnya adalah tunduk pada keadilan umum. Tetapi, sayangnya dua poin ini belum berhasil dilaksanakan penuh oleh pemerintah hari ini,” tutur Gina.

Dan ketika sistem demokrasi hari ini itu baik, maka dia akan menjamin penegakan atau prinsip hak asasi manusia juga terimplementasikan dengan optimal

Gina mencontohkan, banyak program-program pemerintah yang kini melibatkan TNI.

“Mereka dilibatkan dalam berbagai tugas yang itu erat, kaitannya dengan sipil. Mereka terlibat misalnya dari program Makan Bergizi Gratis, dari hulu sampai hilir. Dari pelatihan SPPG, ikut masak di dapur, distribusi sampai monitoring dan evaluasi,” ujar Gina.

Tak hanya di MBG, TNI juga terlibat langsung Koperasi Desa Merah Putih, proyek Food Estate, hingga penertiban kawasan hutan. Bagi Gina, semestinya militer tak boleh terlalu jauh terlibat program pemerintah.

“Tentu dia (TNI, red) boleh terlibat, tetapi dalam konteks OMSP (operasi militer selain perang). Meskipun kita bisa perdebatkan OMSP. Jadi, memang kalau kita ngomong, dan kita harus persempit, tugasnya dia boleh di mana, sejauh OMSP. Dan tidak boleh diperluas,” tegas Gina.

Keterlibatan militer dalam OMSP juga dipertanyakan Direktur Kebijakan Publik Raksha Initiatives Wahyudi Djafar.

“Saya mungkin ingin mempertanyakan justru ketika kemudian MBG itu dibungkus dengan operasi militer selain perang. Kalau kita baca ketentuan Pasal 7 Ayat 2 Undang-Undang TNI, kalau dia misalnya akan dikualifikasikan sebagai operasi militer selain perang, itu operasi militer selain perang yang mana?” kata Wahyudi.

“Ada satu mungkin yang bisa dikaitkan, membantu tugas pemerintahan di daerah. Cuma pertanyaannya, kan, apakah kemudian program MBG ini desentralisasi? Tidak kan. Semuanya itu kan terpusat, tersentral dari Badan Gizi Nasional,” imbuhnya.

Eks direktur eksekutif ELSAM itu menilai, TNI dipandang sebagai lembaga yang punya jangkauan luas.

“Di mana kemudian militer merasa dia sebagai ahli dari semua hal. Bahwa semua masalah, semua masalah, itu hanya akan bisa ditangani militer. Karena apa? Karena militer itu merasa mereka punya struktur paling lengkap, manajemen paling bagus, dan kekuatan paling besar,” ujarnya.

Anggota TNI dan petani bahu membahu mengolah lahan pertanian untuk mendukung ketahanan pangan di daerah pedesaan.
TNI dilibatkan dalam program food estate. Foto: tni.mil
Advertisement image


Diperkuat Revisi UU

Keterlibatan militer ke ranah-ranah sipil justru makin diperkuat usai disahkannya revisi Undang-Undang TNI, Maret 2025. Produk hukum itu kini tengah diuji berbagai pihak di Mahkamah Konstitusi (MK).

Sebelum direvisi, TNI aktif boleh menduduki 10 jabatan sipil. Setelah revisi, jumlah itu ditambah menjadi 14 kementerian/lembaga.

Tak sampai di situ, TNI juga diberi tugas lain untuk operasi militer selain perang (OMSP). Dalam UU TNI, ada 16 poin tugas yang masuk kategori OMSP. Seperti mengatasi terorisme, membantu tugas pemerintah daerah, membantu penanggulangan dampak bencana, hingga menanggulangi ancaman siber.

Lingkup tugas-tugas OMSP itu diatur dalam peraturan pemerintah atau peraturan presiden. Tetapi, beleid itu hingga kini tak kunjung dibuat.

“Implikasi daripada revisi Undang-Undang TNI itu cukup berdampak sangat signifikan terhadap kontrol sipil yang demokratik. Kalau dulu OMSP, di Pasal 7 ayat 3, ayat 4, itu disebutkan, OMSP itu harus dilakukan dengan keputusan politik negara, yang kita baca di penjelasannya, artinya dia harus disetujui DPR, ini kan sekarang dihapus,” kata Gina.

“Jadi, hanya berdasarkan peraturan pemerintah, yang sampai sekarang peraturan turunan daripada undang-undang TNI, mengatur soal OMSP itu tidak dilakukan. Jadi, ada celah, dan sengaja kayaknya dibiarkan aja. Jadi, juga tidak ada kontrolnya,” sambungnya.

Celah aturan itu makin membuka peluang militer masuk ke ranah sipil.

Menurut Gina, gejala itu sudah tampak ketika militer dikerahkan untuk mengamankan demonstrasi akhir Agustus lalu.

Laporan Majalah Tempo mengungkap, dugaan keterlibatan TNI dalam kerusuhan demonstrasi. TNI membantah tuduhan tersebut.

Meski dibantah, Gina menilai keterlibatan TNI –apalagi jika benar terlibat kerusuhan– berbahaya terhadap demokrasi.

“Bahaya kenapa? Karena ini pola yang dilakukan di masa lalu di 98 soal yang bahkan menjadi metode dari pelanggaran HAM berat masa lalu di tahun 98. Itu yang berbahaya,” kata Gina.

“Jadi, kita tuh mau demo tuh juga jadi takut. Aduh nanti dituduh provokator dan lain-lain. Sementara demonstrasi itu kan seharusnya negara tidak boleh ikut campur dan harus sejauh mungkin gitu ya untuk menjamin kebebasannya. Jadi, ini bahaya menurut saya.”

Potensi gesekan dengan rakyat sipil makin besar ketika wewenang dan tugas TNI makin diperluas.

“Kenapa ini kaitannya erat dengan asasi manusia? Karena supremasi sipil itu menjamin kekuasaan tunduk pada sipil. Harus ada garis demokrasi yang jelas, yang ketat terhadap antara sipil dan militer. Karena apa? Karena militer itu adalah kekuasaan yang sah dalam menggunakan kekerasan. Dia punya alat, dia punya prajurit, dia punya semuanya,” tegasnya.

“Oleh karenanya harus ada kontrol sipil demokratis yang jelas. Karena kalau tidak, akan ada potensi abuse, akan ada potensi pelanggaran hak asasi manusia. Bahkan pelanggaran hak asasi manusia yang berat.”

Semestinya, TNI fokus saja mengurus pertahanan negara.

“Karena satu, dia itu memang kan hakikatnya dia dilatih untuk perang, maka pilihannya cuma dua, dia mau bunuh atau siap dibunuh,” ujarnya.

Infografis daftar 14 jabatan sipil yang bisa ditempati militer aktif berdasarkan revisi UU TNI, termasuk Kemenko Polhukam dan BIN.
Infografis diolah dari berbagai sumber dan dikreasikan dengan kecerdasan buatan.
Advertisement image


HAM Terkikis

Akibatnya, selama setahun pemerintahan Prabowo-Gibran berjalan, situasi hak asasi manusia (HAM) terus mengalami erosi atau pengikisan. Itu ditandai dengan tingginya jumlah pengaduan kasus pelanggaran HAM.

Komnas HAM mencatat aduan yang masuk ke lembaga Per September 2025, hampir menyamai jumlah laporan pada 2024.

“Per September, sudah menerima aduan lebih dari 2.250 kasus, atau tepatnya 2.254 kasus adugan pelanggaran hak asasi manusia. Kalau kita bandingkan dengan 2024 yang diterima Komnas HAM itu 2.625 kasus, berarti bisa melampaui rekor tahun lalu,” ungkap Komisioner Komnas HAM, Saurlin P. Siagian dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (20/10/2025).

Menurutnya, pemerintah sejatinya sudah menggelorakan semangat penegakan HAM lewat pencanangan Asta Cita Prabowo-Gibran. Namun, faktanya itu belum tercermin pada kondisi faktual di lapangan.

“Poin nomor satu (Asta Cita), itu disebutkan hak asasi manusia. Jadi, dalam konteks itu ada setitik harapan bahwa hak asasi manusia akan menjadi arus utama dalam pemerintahan baru dan kemudian ditandai dengan lahirnya Kementerian Hak Asasi Manusia (HAM),” ujar Saurlin.

Saurlin menyebut, pengaduan paling banyak terkait hak atas kesejahteraan masyarakat yang terjadi di sejumlah daerah.

“Seperti konflik agraria, penggusuran, dan PHK, disusul pelanggaran hak sipil dan rasa aman,” tuturnya.

Program Prioritas Justru Berisiko Langgar HAM

Komnas HAM menilai program Makanan Bergizi Gratis (MBG) dan Sekolah Rakyat (SR) secara normatif dilabeli sebagai upaya pemenuhan hak atas pendidikan dan pangan. Namun, Saurlin menyebut pelaksanaannya di lapangan justru mengandung risiko pelanggaran HAM.

“Keracunan karena tata kelolanya yang buruk. Risiko terjadinya pelanggaran HAM akibat dari implementasi makanan bergizi gratis,” ujarnya.

Sementara itu, upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM Berat masa lalu, dianggap masih mengalami kebuntuan atau stagnasi dari kepemimpian terdahulu.

“Setidaknya kalau bicara pelanggaran HAM yang berat, masih sama atau masih melanjutkan apa yang dilakukan pemerintah sebelumnya, namun belum ada terobosan baru,” lanjutnya. 

Bendera hitam bertuliskan 'LAWAN! PEMUTIHAN DOSA ORBA' diangkat seorang peserta di tengah aksi massa menuntut pertanggungjawaban kejahatan Orde Baru.
Aksi Kamisan menolak dan melawan pemutihan dosa Orba. Foto: KontraS.org
Advertisement image


Kemunduran Demokrasi dan HAM Era Prabowo

Dalam pandangan Wakil Ketua bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Arif Maulana ada gejala regresi demokrasi dan HAM di tahun pertama rezim Prabowo-Gibran.

“Saya pikir satu tahun pemerintahan Pak Prabowo dan Gibran sebagai presiden-wakil presiden, itu memberikan catatan yang saya kira buruk, dalam konteks masa depan hukum dan hak asasi manusia bahwa tagar #Indonesiagelap, itu kemudian dimunculkan,” ujar Arif dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin, (20/10/2025).

YLBHI turut menyoroti proses legislasi yang semakin antidemokrasi, seperti pembahasan RUU TNI dan RKUHAP yang dikebut tanpa partisipasi bermakna.

“Satu tahun terakhir ini kita melihat bahwa proses penyusunannya begitu tidak demokratis. Prosesnya lagi-lagi itu dikebut,” tutur Arif.

Selain itu, Arif mengatakan, kriminalisasi terhadap aktivis meningkat signifikan dalam beberapa bulan belakangan. Teranyar, demo akhir Agustus lalu sekitar 5 ribuan lebih masyarakat ditangkap aparat.

“Hampir 5.444 orang ditangkap dan 950-an jadi tersangka. Jadi, semacam kriminalisasi terhadap aktivis,” lanjutnya.

Dari ribuan orang yang ditangkap, ada kasus Delpedro dan tiga aktivis lain ditangkap Polda Metro Jaya atas dugaan provokasi tindakan perusakan dalam demo Agustus lalu. Delpedro disangka melakukan tindak provokasi pada demonstrasi akhir Agustus di Jakarta.

Delpedro cs dikenakan Pasal 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan/atau Pasal 45A ayat 3 juncto Pasal 28 ayat 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan/atau Pasal 76H jo. Pasal 15 jo. Pasal 87 UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Upaya membatalkan status tersangka sejumlah aktivis, termasuk Delpedro juga gagal. Dalam sidang pekan ini, hakim memutuskan penersangkaan Delpedro oleh polisi, sah. Sebab, hakim PN Jakarta Selatan menyatakan, penersangkaan itu sah.

Akar Persoalan Demokrasi dan HAM

YLBHI menyatakan, kemandekan pemerintah dalam upaya memperbaiki penerimaan masukan serta kritik tidak berjalan. Itu sebabnya, ruang demokrasi dan HAM terhambat di setahun pemerintahan Prabowo.

“Bisa dibilang jalan di tempat dan setahun terakhir ini tidak ada diskursus apa pun soal penyelesaian kejahatan HAM yang berat,” ujar Arif.

Ia menilai, minimnya penyelesaian persoalan HAM diperburuk pelemahan ruang sipil dan absennya keberpihakan pemerintah pada kebebasan berpendapat.

“Pemerintah hari ini agaknya abai, kriminalisasi masih terus ada. Lalu tidak ada dorongan dari presiden untuk membentukkan tim pencari fakta,” lanjutnya.

Alarm Pemerintah dan Upaya Komnas HAM

Karena itu, Komisioner Komnas HAM, Saurlin P. Siagian mengingatkan, tingginya pengaduan soal kekerasan HAM merupakan peringatan keras bagi pemerintah yang perlu disikapi dan ditindaklanjuti secara bijaksana.

“Pengaduan pelanggaran HAM itu masih tinggi terus-menerus di Komnas HAM, sehingga ada upaya yang serius dari pemerintah di waktu yang akan datang. Jangan kita terus-menerus akan dibebani pengaduan-pengaduan pelanggaran HAM yang eksponensial,” ujarnya.

Sementara itu, Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro menyebut, demonstrasi masyarakat sipil Indonesia kerap menghadapi intimidasi dan tindakanrepresif. Padahal, dalam hak asasi manusia negara harus menjamin demonstrasi yang aman dan damai.

“Demonstrasi merupakan bagian dari hak asasi manusia, terutama terkait dua hak dalam diskursus HAM, yaitu hak atas kebebasan berekspresi dan hak berkumpul secara damai,” tegas Atnike dikutip dari laman resmi komnasham.go.id.

Atnike menjelaskan, Komnas HAM memiliki prosedur dalam menangani kasus pelanggaran hak atas kebebasan berkumpul secara damai.

“Prosedur tersebut meliputi pemantauan kasus, pemberian pandangan HAM (amicus curiae) di pengadilan, penetapan status pembela HAM bagi aktivis yang dipidana karena aktivitas pemajuan HAM, hingga penyusunan kajian untuk rekomendasi kebijakan maupun bagi institusi terkait,” terangnya.

Komnas HAM juga telah menyusun Standar Norma dan Pengaturan (SNP) mengenai kebebasan berpendapat dan berekspresi, serta SNP tentang kebebasan berkumpul dan berorganisasi.

Potret seorang wanita paruh baya memegang payung dengan tulisan 'USUT KASUS TRISAKTI, SEMANGGI I & II' sebagai bentuk tuntutan keadilan kasus pelanggaran HAM.
Aksi Kamisan menuntut proses hukum kasus-kasus pelanggaran HAM Berat masa lalu. Foto-Toto Santiko Budi. Foto: shutterstock/Amnesty.id
Advertisement image


Pemerintah Klaim Nihil Pelanggaran HAM

Mengutip ANTARA, Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai mengklaim tidak ada pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia dalam satu tahun terakhir.

Kendati demikian, Menham mengakui, masih ada ketidakadilan yang berpotensi mengarah pada pelanggaran HAM.

Ia menjelaskan, sejak dibentuk pada Oktober 2024, Kementerian HAM berupaya memperkuat instrumen hak asasi manusia melalui pembuatan regulasi yang bertujuan menutup keran ketidakadilan.

"Kami menghadirkan kurang lebih 15 peraturan menteri, kami menyusun (revisi) Undang-Undang HAM yang sedang kita ajukan di prolegnas. Kami juga memfasilitasi RUU tentang masyarakat adat; pekerja rumah tangga; yang di kementerian/lembaga lain tidak sempat fasilitasi," kata Pigai di Kantor Kementerian HAM, Jakarta, Selasa (21/10/2025).

Salah satu bentuk regulasi yang dikeluarkan Kementerian HAM, yaitu peraturan kepatuhan HAM bagi aparat penegak hukum. Aturan tersebut mendorong pengarusutamaan prinsip-prinsip HAM dalam penegakan hukum.

"Jadi, dalam kasus penanganan demonstrasi, dalam proses hukum, dia harus mengikuti guidance (panduan) peraturan menteri yang dikeluarkan oleh kita. Kalau berpedoman pada itu maka kemungkinan minimal kita bisa mengurangi munculnya ketidakadilan dalam proses pelayanan hukum di institusi kepolisian, misalnya," katanya.

Pigai menekankan, Kementerian HAM adalah artikulator kepentingan rakyat dalam bidang hak asasi.

Selain penguatan instrumen HAM, Pigai menyebut Kementerian HAM turut menggaungkan pembangunan peradaban yang selaras HAM. Dalam hal ini, Kementerian HAM ingin mengarusutamakan prinsip-prinsip HAM dalam kehidupan bermasyarakat.

Di samping itu, Pigai juga menyoroti upaya pemerintahan Presiden Prabowo, melalui kolaborasi kementerian/lembaga, mewujudkan program-program yang berorientasi pada pemenuhan HAM, seperti proyek Makan Bergizi Gratis, kampung nelayan, hingga Sekolah Rakyat.

Peristiwa Pelanggaran Kebebasan Sipil

Mengutip laman Kontras.org, sepanjang Januari – Juni 2025, sebanyak 76 peristiwa pelanggaran kebebasan sipil dilakukan oleh aktor negara dan non-negara.

Dari 76 peristiwa pelanggaran kebebasan sipil tersebut, sekurang-kurangnya terdapat 503 orang yang menjadi korban di antaranya terdapat 440 Mahasiswa, 39 sipil non-job, dan 10 Aktivis.

KontraS juga mencatat, bentuk pelanggaran yang dialami korban itu beragam dan dapat terjadi dua atau lebih bentuk pelanggaran terhadap korban dalam bentuk ditangkap (401 orang) dan luka-luka (137 orang).

KontraS melaporkan, institusi Polri menjadi lembaga negara yang menempati urutan pertama aktor pelanggar kebebasan sipil dengan catatan menyumbang 52 Peristiwa, diikuti dengan Orang Tidak Dikenal (OTK) sebanyak 14 peristiwa, Pemerintah 6 peristiwa, TNI 4 peristiwa, Swasta 4 peristiwa, dan Organisasi Masyarakat (Ormas) 1 peristiwa.

Berdasarkan kategorisasi isu yang melandasi ekspresi yang direpresi tersebut tampak, isu-isu strategis tertentu menjadi titik tekan bagi warga negara untuk mengekspresikan pendapatnya di ruang publik.

Namun, alih-alih mendapatkan ruang partisipasi yang dijamin secara konstitusional, ekspresi masyarakat justru direspons tindakan represif yang mencerminkan degradasi demokrasi dan pelanggaran hak asasi manusia sistematis.

Baca juga:

Setahun Prabowo-Gibran


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...