Sejarawan Senior menilai buku penulisan ulang sejarah RI memerlukan revisi dan perbaikan sebelum naik cetak dan disebarluaskan, mengapa?
Penulis: Naomi Lyandra
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Kementerian Kebudayaan resmi menyelenggarakan soft launching Buku “Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global” pada 14 Desember 2025.
Penulisan ulang buku sejarah RI ini dimulai Januari 2025, dan sedianya ditargetkan rampung 17 Agustus 2025 atau ketika memperingati 80 tahun kemerdekaan. Namun, akhirnya batal dan mundur hingga penghujung tahun.
Meski begitu, menurut Sejarawan Asvi Warman Adam, peluncuran buku terkesan dilakukan terburu-buru. Padahal dalam perjalanannya, penyusunan buku memantik kontroversi yang terus mengemuka di ruang-ruang diskusi publik. Itu sebab, ia mendesak agar buku tersebut tidak langsung dicetak dan digunakan.
“Saya menuntut terus. Ada revisi, ada perbaikan, dan bahkan menurut pendapat saya, direvisi dulu, baru dicetak,” ujar Asvi dalam siaran Ruang Publik KBR, Selasa (17/12/2025).
Profesor Purna Bakti Riset Bidang Sejarah Sosial Politik pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini mengingatkan bahwa sejarah nasional memiliki dampak besar, terutama jika Buku Sejarah baru nantinya dijadikan bahan ajar.
“Jadi bukunya harus dibaca lagi, apakah betul, apa namanya itu, cocok untuk dijadikan bahan pengajaran atau tidak otomatis jadi bahan pengajaran di sejarah, di sekolah itu,” terangnya.
Asvi bahkan menyinggung soal kepatutan revisi penulisan sejarah yang dikhawatirkan mengandung campur tangan pemerintah.
“Contoh yang sangat-sangat jelas di dalam intervensi pemerintah ini di dalam misalnya penetapan pahlawan nasional dan dalam hubungannya dengan buku sejarah ini,” ungkapnya.

Fadli Zon Belum Baca dan Bantah Campur Tangan Pemerintah
Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengaku belum membaca buku penulisan ulang sejarah Indonesia yang digarap Kementerian Kebudayaan.
"Buku ini satu lembar pun belum pernah saya lihat. Jadi saya tidak bohong,” ujar Fadli saat memberikan sambutan dalam acara peluncuran buku sejarah Indonesia di YouTube Kementerian Kebudayaan, Minggu (14/12/2025).
Fadli Zon mengklaim penulisan ulang sejarah itu tanpa campur tangan pemerintah. Politikus Partai Gerindra ini turut menegaskan buku sejarah disusun oleh para ahli dan bukan ditulis oleh pemerintah.
Ia mengatakan proses penulisan buku itu melibatkan 123 sejarawan dari 34 perguruan tinggi di Indonesia yang difasilitasi oleh Kementerian Kebudayaan melalui Direktorat Sejarah.
“Ini ditulis oleh para ahlinya, sejarawan Indonesia. Kalau sejarawan tidak menulis sejarah, lalu bagaimana kita merawat memori kolektif bangsa kita?” kata Mantan Wakil Ketua DPR RI ini.
Fadli Zon menjelaskan, buku "Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global" disusun dalam 10 jilid dengan 7.958 halaman yang memetakan perjalanan panjang bangsa Indonesia, mulai dari akar peradaban Nusantara, interaksi global dengan India, Tiongkok, Persia, Timur Tengah, hingga Barat.
Dilanjutkan dengan perjalanan sejarah masa kolonial, pergerakan kebangsaan, perjuangan mempertahankan kemerdekaan, konsolidasi negara, era Orde Baru, hingga reformasi dan konsolidasi demokrasi sampai 2024.

Penerbitan Buku Penulisan Ulang Sejarah RI Masih Terbatas
Direktur Sejarah dan Permuseuman Kementerian Kebudayaan, Agus Mulyana mengatakan selama proses peluncuran dilakukan secara terbatas karena kendala teknis dan skala buku yang sangat besar.
“Ini masalah teknis saja, jadi masalah teknis atau waktu, karena kami memang masih menerbitkan dalam jumlah yang masih terbatas,” ujar Agus dalam siaran Ruang Publik KBR, Selasa (17/12/2025).
Ia memastikan bahwa buku tersebut telah disusun secara sistematis sebagaimana karya sejarah akademik pada umumnya.
“Jadi dari segi substansi isi, ini sudah ditulis. Sistematika, pokoknya kita sudah menulis sebagaimana lazimnya sebuah buku, sebuah karya buku sejarah,” terangnya.
Lebih lanjut, Agus membantah tudingan bahwa pelanggaran HAM di era Orde Baru dihilangkan dari penulisan ulang buku sejarah ulang RI.
“Kasus Tanjung Priok, kasus Marsinah, itu ada. Beberapa kasus Lampung itu ada kami tulis di periode itu. Makanya nanti kami tidak akan sembunyikan, kalau nanti sudah siap kami publish secara masif, akan kami sampaikan,” katanya.

Penulisan Ulang Sejarah RI Mesti Tetap Tampung Kritik dan Saran
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Lalu Hadrian Irfani mengingatkan bahwa kritik dan saran terhadap buku “Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global” merupakan bagian dari penyempurnaan.
Sejalan dengan itu, menurut Lalu di Jakarta, Senin, publik berhak untuk membaca secara cermat dan menelaah isi buku tersebut, kemudian memberikan kritik dan saran
"Silakan masyarakat membaca dan menelaah Buku Sejarah Indonesia yang baru. Jika ada kritik, masukan, atau catatan, itu justru penting sebagai bagian dari proses penyempurnaan,” kata dia dikutip dari ANTARA.
Lalu Hadrian menilai kehadiran buku sejarah baru merupakan bagian penting dari upaya memperkaya literasi dan pemahaman masyarakat terhadap perjalanan bangsa Indonesia.
“Mempersilakan publik, akademisi, sejarawan, maupun pemerhati pendidikan untuk memberikan kritik dan saran secara terbuka,” ujarnya.

Jangan Malu dan Ragu Melakukan Revisi
Lalu Hadrian meminta agar dalam buku tersebut ditemukan kesalahan data, kekeliruan penulisan, atau penafsiran sejarah yang kurang tepat, maka pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kebudayaan, wajib melakukan revisi.
“Kesalahan dalam penulisan buku adalah hal yang wajar. Tidak ada karya yang sepenuhnya sempurna. Karena itu, pemerintah tidak perlu malu untuk melakukan revisi jika memang ditemukan kekeliruan,” ujar dia.
Lebih lanjut, ia menilai sikap terbuka terhadap kritik merupakan cerminan tata kelola kebudayaan dan pendidikan yang sehat.
“Yang terpenting adalah keberanian untuk memperbaiki. Buku sejarah harus menjadi rujukan yang mendidik, bukan sekadar dokumen yang dipertahankan meski terdapat kesalahan,” terangnya.

Pakar Menduga Peluncuran Buku karena Kepentingan Politik
Asvi Warman Adam menduga peluncuran buku sejarah baru ini terus didorong karena kepentingan administratif dan politik.
“Saya melihat akhirnya buku ini diluncurkan, tampaknya untuk memenuhi ketentuan bahwa anggarannya sudah habis tahun ini, dan bukunya harus selesai,” ucapnya.
Asvi menyoroti koordinasi antar editor dan penulis yang lemah. Di samping itu, penulisan sejarah nasional ini berpotensi mengulang praktik rekayasa sejarah seperti pada masa Orde Baru.
“Tidak ada hubungan antara satu jilid dengan jilid yang lain, kecuali yang tahu itu hanya tiga editor umum saja,” lanjut Asvi.
Menurut pandangan Asvi, persoalan politis justru muncul pada jilid-jilid akhir dalam penulisan ulang buku sejarah RI.
“Permasalahan yang politis itu, pemberian legitimasi itu justru pada jilid-jilid yang terakhir, delapan, sembilan, dan sepulu,” terangnya
Asvi turut mengingatkan potensi pengaburan pelanggaran kasus HAM dan glorifikasi rezim tertentu.
“Itu yang harus diantisipasi supaya akhirnya nanti yang terlihat itu adalah upaya untuk memberikan legitimasi kepada rezim yang berkuasa sekarang,” pungkasnya.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik Edisi Khusus KBR Media
Baca juga:
- Polemik Perpol 10/2025: Mengapa Penempatan Polri di 17 K/L Menuai Pro Kontra?
- Menekankan Peran Krusial Perempuan Mengikis Korupsi





