Hasil studi Celios menunjukkan mayoritas orang tua justru lebih memilih bantuan tunai ketimbang MBG.
Penulis: Astri Yuanasari
Editor: Wahyu Setiawan

KBR, Jakarta - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menuai beragam kritik setelah hampir setahun berjalan. Center of Economic and Law Studies (Celios) menilai berbagai persoalan proyek MBG muncul secara sporadis, mulai dari kasus keracunan, kegagalan distribusi, hingga respons pemerintah yang tidak konsisten dan tidak transparan.
Program andalan Presiden Prabowo Subianto itu dimulai serentak di 26 provinsi pada Senin (6/1/2025). Menurut Peneliti Celios Isnawati Hidayah, program itu sudah bermasalah sejak awal perencanaan.
“Dan juga respons pemerintah yang membingungkan atau lebih ke asal bunyi, asbun, dan juga transparansi yang sangat minim, tidak ada data dan studi yang memadai. Selain itu juga banyak klaim tanpa bukti terhadap pencapaiannya,” kata Isnawati dalam diseminasi ‘Evaluasi 1 Tahun Program Makan [Tak] Bergizi [Tak] Gratis 2025’ secara daring, Senin (15/12/2025).
Dua hal lain yang disorot adalah anggaran yang jumbo dan landasan hukum yang lemah. Bahkan, Peraturan presiden yang menjadi dasar pelaksanaan baru dibuat setelah program berjalan beberapa bulan. Peraturan Presiden Nomor 115/2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Program MBG diteken Prabowo pada 17 November 2025.
Sederet catatan dan sorotan ini merupakan hasil evaluasi dari Celios terhadap satu tahun pelaksanaan MBG. Isnawati menuturkan evaluasi ini lahir dari kegelisahan mendalam sebagai peneliti sekaligus ibu. Ia menyoroti proyek MBG yang bernilai triliunan rupiah, namun menjadikan anak sebagai objek kebijakan tanpa fondasi data yang kuat.
“Dan pertanyaan muncul ini sebenarnya, kan kita dari tadi sudah membahas tentang hal sangat teknis ya, seberapa besar anggaran MBG hingga kebijakannya itu melaju tanpa data, tanpa uji, dan tanpa mendengar suara warga,” kata Isnawati.

Celios menggunakan pendekatan campuran (mixed methods) dalam mengevaluasi program MBG. Studi ini mencakup wawancara mendalam di berbagai daerah seperti Fakfak, Sorong, Padang, dan Waingapu. Selain itu juga menganalisis rapat dengar pendapat, kajian menu MBG bersama ahli gizi, serta studi literatur dan kebijakan.
Lebih dari 1.800 responden dewasa Indonesia dimintai pendapat, dilengkapi uji reliabilitas, validitas, dan pembobotan. Survei juga melibatkan 691 ahli gizi dari 27 provinsi yang bekerja di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Analisis data dilakukan dengan metode deskriptif, regresi multinomial logit, hingga perhitungan cost of illness untuk mengukur kerugian akibat kasus keracunan.
Anggaran Jumbo, Prioritas Dipertanyakan
Isnawati menyoroti besarnya anggaran MBG tahun depan yang menembus Rp335 triliun. Anggaran itu 125 kali lebih besar dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan 680 kali lebih besar dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Alokasi itu juga kontras dengan pemenuhan kebutuhan penanganan bencana di Sumatra, yang justru kekurangan dukungan anggaran.
“Dan ini hal yang sangat membuat geregetan ya, karena apa? Karena sebegitu besarnya anggaran yang kami percaya itu tidak tepat sasaran. Tetapi di lain sisi ada kebutuhan kemanusiaan lainnya yang tidak dapat ter-cover oleh pemerintah. Pertanyaannya apakah hal itu kontradiktif ketika pemerintah push, oke kita harus ada MBG karena ini untuk warga yang membutuhkan. Tetapi di lain sisi mereka tidak memberikan perhatian terhadap saudara-saudara kita yang mendapatkan bencana. Apakah negara hadir? Tidak,” tukasnya.
Isnawati meyakini anggaran MBG sebenarnya bisa dialihkan untuk kebijakan yang lebih tepat sasaran, seperti memperluas Program Keluarga Harapan (PKH), menggratiskan BPJS Kesehatan, subsidi pupuk bagi petani, hingga peningkatan kesejahteraan guru honorer.
Baca juga: Dana Rp335 T untuk MBG, Rezim Prabowo Tak Paham Prioritas Sektor Pendidikan
“Dan apa sih bahayanya memaksakan anggaran MBG? Di sini kalkulasi yang dilakukan oleh tim peneliti untuk anggaran tahun 2026 jika kita distribusikan ke kebijakan-kebijakan yang sangat penting untuk masyarakat ternyata bisa sebanyak ini," kata dia.
Dari studi Celios, mayoritas responden justru lebih memilih bantuan tunai ketimbang MBG. Menurut Celios, rendahnya proporsi responden yang memilih MBG menunjukkan uang tunai memberikan fleksibilitas lebih besar untuk mengatur kebutuhan gizi anak mereka.

Isnawati menganggap pemerintah lebih mengejar target jumlah penerima manfaat dan SPPG, ketimbang tujuan kebijakan dari program ini. Pemerintah mengklaim MBG memiliki lima tujuan utama, yakni memperbaiki gizi anak, meningkatkan perilaku belajar, mengurangi beban keluarga, memberdayakan ekonomi lokal, dan membuka lapangan pekerjaan. Namun, studi Celios menunjukkan temuan sebaliknya.
Baca juga: Tetap Miskin walau Hidup di Lumbung Migas
Pertama, perbaikan gizi anak. Sebanyak 26 persen responden berpendidikan tinggi menilai MBG tidak mampu menurunkan stunting.
“Karena sebenarnya banyak studi dari jurnal-jurnal yang bereputasi tinggi sudah menyatakan bahwa pemberian makanan di sekolah tidak secara langsung berdampak terhadap penurunan stunting. Ketika kita ingin menyasar stunting, yang paling penting adalah pada seribu hari kehidupan pertama dari anak. Dan ketika kita melihat di lapangan banyak kasus keracunan yang menimpa kelompok rentan, baik itu ibu hamil menyusui 3B (bumil,busui, dan balita), dan itu malah mengancam keselamatan mereka,” kata Isnawati.
Celios justru menemukan inclusion error atau salah sasaran hingga 34,2 persen dengan potensi pemborosan Rp8,4 triliun. Kerugian manfaat investasi akibat kesalahan sasaran itu diperkirakan mencapai Rp404,6 triliun.
“Dan ketika ada pertanyaan, apakah orang tua melihat ada perubahan berat badan pada anak setelah menerima MBG, ternyata jawabannya adalah tidak, lebih dari 50 persen, bahkan mencapai 60 persen untuk perempuan,” kata Isnawati.

Kedua, perubahan perilaku belajar. Sebanyak 51 persen orang tua menyebut anak tidak menjadi lebih aktif dan fokus, sementara 54 persen menilai tingkat kerajinan anak tidak berubah.
“Mungkin secara analisis deskriptif masih bisa diperdebatkan. Tetapi kami mencoba untuk analisis yang lain. Di sini kami mencoba untuk melakukan beberapa model dan jawabannya adalah konsisten, yaitu pengaruh penerimaan MBG terhadap persepsi orang tua bahwa anak lebih rajin, aktif, dan fokus di sekolah tidak signifikan secara statistik dan didukung oleh bukti empiris yang lemah,” Isnawati.
Ketiga, pengurangan beban keluarga. Lebih dari 30 persen orang tua merasa pengeluaran keluarga tidak berkurang. Bahkan, 64 persen responden mengaku tetap harus membeli makanan karena anak menolak MBG. Kondisi itu terjadi pada keluarga berpendapatan rendah dan pekerja sektor informal.

Keempat, pemberdayaan ekonomi lokal. Kata Isnawati, hampir separuh responden tidak mengetahui siapa pemasok bahan pangan MBG. Menurutnya, hal itu mencerminkan rendahnya transparansi dari program ini.
“Ternyata masyarakat beranggapan 33 persen lebih ada indikasi mark up di lapangan dalam pengadaan bahan pangan. Dan jika kita lihat apakah ada konflik kepentingan, dari responden dengan berbagai background pendidikan, mereka menyatakan iya, ada indikasi konflik kepentingan di sini,” kata dia.
Baca juga: Ketika Presiden Prabowo Disomasi Soal Status Bencana Sumatra
Kelima, penciptaan lapangan kerja. Studi Celios memperkirakan sekitar 1,94 juta pekerja sektor pangan lokal berpotensi kehilangan pekerjaan akibat MBG. Sedangkan keterlibatan masyarakat lokal dalam program dinilai sangat terbatas.
“Dan ternyata di sini, di Indonesia, ada 6,4 juta orang yang menggantungkan hidupnya di sektor makanan lokal. Ada warung, kantin, ada makanan rumah, dan lain sebagainya. Dan itu ternyata ada potensi 1,94 juta pekerja kehilangan pekerjaannya karena adanya MBG. Dan ternyata tidak menciptakan lapangan pekerjaan, meskipun pemerintah mengklaim, oh kita ada nih sekian puluh ribu SPPG, setiap SPPG-nya ada sekian puluh orang yang dipekerjakan,” kata Isnawati.

Melenceng dari Ilmu Gizi
Dokter gizi masyarakat Tan Shot Yen juga melontarkan kritik keras terhadap pelaksanaan MBG. Dia menilai program tersebut melenceng dari prinsip dasar ilmu gizi. Menurutnya, MBG justru lebih menyerupai program bagi-bagi makanan ultra-proses ketimbang intervensi gizi yang berorientasi pada kesehatan dan tumbuh kembang anak.
Dia menyayangkan masih ada pemahaman yang keliru dalam perencanaan menu MBG, salah satunya menjadikan kalori sebagai indikator utama.
"Anda bisa lihat di gambar yang sebelah kiri, itu sama-sama 300 kalori. Tapi kalau Anda mulai makan chocolate fudge, tart, maka insulin Anda akan meledak. Nah, sama-sama 300 kalori. Kalau Anda makan apel pakai kacang mete, maka yang terjadi adalah insulin Anda itu menjadi stabil," kata Tan dalam kesempatan yang sama.
Baca juga: Ancaman Bahaya Lemak Trans di Makan Bergizi Gratis
Tan menekankan kalori kosong dari makanan manis dan olahan tidak dapat disamakan dengan makanan utuh yang kaya serat, vitamin, dan mineral.
Banyaknya temuan menu MBG yang didominasi produk makanan ultra-proses (ultra processed food/UPF) juga menuai sorotan. Tan menyebut beberapa menu MBG ada yang menyajikan roti manis, biskuit, minuman manis berperisa, sosis, nuget, hingga mi instan. Menu-menu tersebut mengandung bahan tambahan seperti emulsifier dan stabilizer yang berpotensi merusak kesehatan usus anak, termasuk mikrobiota yang berperan penting dalam menjaga imunitas dan fungsi metabolik.
“Dikasih kacang goreng. Rotinya isinya selai. Bukan selai buah, itu tuh selai manis. Buahnya enggak ada. Itu bukan susu, tetapi cairan bergula rasa cokelat. Nah yang lebih konyolnya lagi anak SMP dikasih MBK cuanki instan. Tega enggak sih? Bayangin,” kata Tan geram.

Kritik paling tajam disampaikan Tan terhadap menu MBG untuk bayi dan balita. Ia mengungkap temuan pemberian susu formula, snack kemasan, dan bubur instan untuk bayi usia di bawah satu tahun.Temuan itu dia nilai sebagai bukti kegagalan MBG dalam menjalankan fungsi edukasi gizi, bahkan berbalik arah dengan menormalisasi konsumsi makanan rendah mutu.
“Ini kan betul-betul kayak ngelawan ya. Ngelawan panduan PMBA-nya (Pemberian Makanan Bayi dan Anak) dari pemerintah ya. Jadi jangan sampai antar instansi pemerintah nih akhirnya jadi berantem sendiri. Kementerian Kesehatan itu justru mendorong anak mendapatkan asi sampai usia 2 tahun. Nah ini anak full asi dapetnya susu formula. Keterlaluan enggak sih,” kata Tan.
Baca juga: Ragam Masalah Muncul di Hari Pertama Makan Bergizi
Menurut Tan, MBG juga gagal memanfaatkan kekayaan pangan lokal Indonesia. Ia menyesalkan dominasi gandum, roti, dan produk olahan berbasis impor. Padahal Indonesia punya sumber karbohidrat dan protein lokal yang melimpah. Menurutnya menu lokal tidak hanya lebih sehat dan segar, tetapi juga memperkuat ekonomi masyarakat setempat.
“Ubi, singkong, kentang, jagung, talas, ganyong, kimpul, garut. Aduh, nasionalis sedikit lah,” kata dia.
Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Hasil evaluasi dari Celios, terjadi kenaikan harga pangan lokal akibat lonjakan permintaan (demand-pull inflation) dan ancaman hilangnya 747 jenis pangan lokal akibat penyeragaman menu.
Tan menyimpulkan, masalah utama MBG bukan semata pada jenis makanan, namun juga tata kelola dan filosofi program. Ia mendorong evaluasi menyeluruh MBG agar kembali pada tujuan awal yakni memperbaiki gizi anak, bukan sekadar menyalurkan makanan dalam jumlah besar.

Janji Perbaiki
Badan Gizi Nasional (BGN) mengakui banyak tantangan dalam setahun pelaksanaan MBG. Juru Bicara BGN Redy Hendra Gunawan mengklaim program tersebut tetap dibutuhkan masyarakat. Dia berjanji BGN bakal terus memperbaiki tata kelola, meningkatkan keamanan pangan, hingga memperluas cakupan wilayah.
“Jadi banyak sekali memang SPPG-SPPG yang sekarang masih banyak kekurangan. Dan itu menjadi bahan evaluasi. Kami tidak serta-merta untuk menegur. Bahkan tegurannya sangat keras. Bisa juga dilakukan pemberhentian atau pemutusan mitra kalau memang dirasa perbaikan tidak dilakukan oleh mitra,” kata Redy.
Redy mengatakan sejak awal MBG dirancang sebagai program inklusif, sesuai amanat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 tentang BGN. Artinya seluruh siswa berhak menerima manfaat tanpa dibedakan berdasarkan kategori miskin atau tidak mampu.
“Jadi semua siswa dari semua kalangan itu berhak menerima program ini. Dari sisi implementasi memang kami memilih, setelah diskusi tentu dengan pertimbangan dan sebagainya, kami memilih untuk mendahulukan yang padat penduduk. Kenapa seperti itu? Dari sisi aspek kemudahan implementasi," kata Redy.
Baca juga: Karut-marut "Dapur" Pengelolaan Anggaran MBG
Dia membantah jika disebut mengabaikan wilayah terpencil. Redy berdalih, BGN telah menetapkan sekitar 8.000 wilayah terpencil yang akan mendapatkan perlakuan khusus dalam pelaksanaan MBG. Wilayah tersebut mencakup daerah dengan akses sulit, jarak distribusi jauh, serta kondisi geografis menantang.
“Kapan itu bisa dijalankan? Akhir tahun ini sudah mulai di 8 ribuan lokasi itu, sudah mulai penyiapan fasilitas dan mudah-mudahan tahun depan maksimal mungkin di Februari-Maret itu sudah bisa beroperasi untuk di sekitar 8 ribuan wilayah terpencil yang ada di seluruh Indonesia,” kata dia.

Redy menegaskan BGN berkomitmen menjalankan prinsip continuous improvement atau perbaikan berkelanjutan dalam pelaksanaan MBG, terutama setelah terbitnya regulasi baru yang mengatur tata kelola program.
“Memang Perpres baru di tanda tangani bulan yang lalu, pembahasannya memang cukup panjang, 4 bulanan. Dan mudah-mudahan dengan adanya Perpres tersebut, tata kelola program makan bergizi gratis ini bisa jauh lebih baik,” ujarnya.






