Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sebanyak lebih dari 86 juta (59%) dari total 145,7 juta tenaga kerja per Februari 2025, bergantung pada sektor informal.
Penulis: Naomi Lyandra
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka dimaknai oleh kalangan buruh sebagai suatu refleksi menyeluruh terkait permasalahan ketenagakerjaan di Tanah Air.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menilai salah satu akar persoalan ketenagakerjaan di dalam negeri bukan hanya soal upah murah dan outsourcing, tetapi juga stagnasi industrialisasi serta meningkatnya pekerja informal.
“Formal workers kita banyak kehilangan tenaga kerja. Ini berbahaya karena akan banyak dikedepankan informal workers. Itu pekerja yang tidak punya sistem jaminan sosial," ujar Iqbal dalam siaran Ruang Publik KBR, Jumat (24/10/2025).
Said menyebut situasi ketenagakerjaan saat masih belum sesuai harapkan, bahkan memburuk di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan terkuaknya kasus korupsi di Kementerian Ketenagakerjaan.
KPSI, kata dia, secara khusus memberikan penilaian sangat buruk yang diarahkan kepada Kementerian Ketenagakerjaan.
“Maka kami memberi rapor merah kepada Menaker dan Wamenaker. Nilainya 5 dari 0-10 karena tidak ada terobosan apapun yang dilakukan, bahkan menghalangi kepentingan buruh,” tutur Presiden Partai Buruh tersebut.

Iqbal turut menyoroti keenganan pemerintah dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang merupakan amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2024. Kondisi ini menandakan macetnya proses reformasi ketenagakerjaan di tangan Kementerian Ketenagakerjaan.
Ia menambahkan desakan serikat buruh agar revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan segera disahkan.
“Agar perlindungan pekerja kontrak, gig worker, hingga platform digital diatur jelas,” jelasnya.
Kemnaker, kata dia, gagal total dalam melindungi segenap pekerja di Tanah Air akibat dampak aturan Omnibus Law Cipta Kerja.
Meski begitu, Iqbal lantas mengapresiasi kebijakan dan keberanian Presiden Prabowo Subianto yang memutuskan langsung kenaikan upah minimum 2025.
“Belum pernah terjadi seorang presiden memutuskan upah minimum. Akhirnya mencapai titik temu 6,5%, bahkan kemudian muncul upah minimum sektoral,” terangnya.
BPS: Jutaan Pekerja Informal dan Pekerja Paruh Waktu
Mengutip dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat sebanyak lebih dari 86 juta (59%) dari total 145,7 juta tenaga kerja per Februari 2025, bergantung pada sektor informal. Angka ini meningkat dibanding 2015, ketika jumlah tenaga kerja informal tercatat 70 juta orang atau 57,9%.
Sementara itu, jumlah pekerja formal hanya 59,19 juta orang atau setara 40,60%.
Di sisi lain, data BPS menunjukkan penduduk yang bekerja per Februari 2025 juga mengalami peningkatan sebanyak 3,59 juta menjadi 145,77 juta orang.
Mayoritas penambahan pekerja ini berada pada status pekerja penuh yang mencapai 96,48 juta orang atau bertambah 3,21 juta orang dibandingkan Februari tahun lalu, diikuti pekerja paruh waktu sebanyak 37,62 juta orang atau naik 820 ribu orang.

Berdasarkan definisi BPS, pekerja formal meliputi mereka yang berstatus berusaha dibantu buruh tetap dan dibayar, serta buruh, karyawan, atau pegawai.
Sementara kategori informal mencakup berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/pekerja keluarga/tidak dibayar, pekerja bebas, dan pekerja keluarga/tidak dibayar.
Sementara menurut Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) dan BPS perbedaan utama antara pekerja informal dan pekerja paruh waktu terletak pada status hukum hubungan kerja dan jumlah jam kerjanya.
Pekerja informal mengacu pada jenis pekerjaan, sedangkan paruh waktu mengacu pada durasi jam kerja.
Survei LSI Denny JA: Masyarakat Sulit Dapat Pekerjaan
Mengutip dari hasil survei yang dilakukan oleh lembaga survei LSI Denny JA menunjukkan mayoritas masyarakat menganggap adanya kesulitan dalam hal mendapatkan pekerjaan selama tujuh bulan pemerintahan Prabowo-Gibran. Itu disampaikan dalam dalam konferensi pers, 4 Juni 2025.
“Rapor merah dari Pemerintah Prabowo-Gibran yang kita temukan dalam riset yang baru selesai kita kerjakan adalah pada aspek isu-isu yang menyangkut aspek rumah tangga. Satu adalah terkait dengan lapangan kerja,” kata Peneliti Senior LSI Denny JA Adjie Alfaraby.
Dalam hasil survei dan riset yang berjudul “7 Bulan Prabowo-Gibran”, sebanyak 60,8 persen responden mengaku merasa sulit mendapatkan pekerjaan ketimbang tahun-tahun sebelumnya.
“Hanya 11 persen responden yang merasa semakin mudah mendapatkan pekerjaan, sementara 26,5 persen lainnya merasakan tidak ada perbedaan peluang kerja dengan rezim sebelumnya,” tambahnya.

Presiden Papar Capaian TPT Turun, Singgung Perluasan Lapangan Kerja
Presiden Prabowo Subianto menyampaikan penurunan tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang kini berada di kisaran 4,67 persen, angka terendah sejak krisis ekonomi 1998.
"Kita bersyukur dan terima kasih walaupun kita tidak boleh puas. Tingkat pengangguran terbuka juga turun ke angka 4,67 persen ini adalah terendah sejak krisis 1998," kata Prabowo pada pidato pengantar Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Negara, Jakarta, Senin (20/10/2025) dikutip dari ANTARA.
Meski mencatat hasil positif, Prabowo mengatakan angka tersebut tetap menjadi perhatian karena masih merepresentasikan jutaan warga yang membutuhkan pekerjaan.

Kepala Negara menekankan pemerintah terus bekerja keras untuk memperluas lapangan kerja dan menjaga daya serap tenaga kerja di tengah perubahan dunia yang cepat.
"Kita paham bahwa tingkat pengangguran ini sangat meresahkan bagi mereka yg sangat butuh pekerjaan, kita paham karena itu kita bekerja keras. Tetapi ini masalah dunia apa lagi dengan perkembangan teknologi yang demikian pesat terjadi disrupsi dalam produksi dan industri," ujar Prabowo.
Janji 19 Juta Lapangan Pekerjaan
Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pernah membeberkan langkah-langkah untuk membuka 19 juta lapangan pekerjaan di Indonesia saat menyampaikan visi dan misi dalam debat cawapres KPU RI, pada 22 Desember 2023.
Langkah tersebut adalah melanjutkan hilirisasi di berbagai bidang, seperti pertambangan, pertanian, perikanan, dan digital; melanjutkan pemerataan pembangunan yang tidak Jawa sentris; menggenjot ekonomi kreatif; dan menggenjot UMKM.
"Jika empat langkah tadi bisa kita penuhi, Insya Allah akan terbuka 19 juta lapangan pekerjaan," kata dia di JCC, Senayan, Jakarta.

Optimistis 19 Juta Lapangan Kerja Tercapai
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli mengaku optimistis target pemerintah untuk membuka 19 juta lapangan kerja dapat tercapai dalam empat tahun ke depan.
“Ya ini kan proses ya, yang saya pahami, kita masih dalam tahun ini, kan kita lihat ada berapa (lapangan kerja dan penyerapan tenaga kerja). Jadi kalau 19 juta (lapangan) itu dibagi berapa, 5 tahun? Nanti kita lihat dan saya optimis,” kata Menaker Yassierli saat ditemui di Jakarta, Senin (20/10/2025) dikutip dari ANTARA.
Menurut dia, dalam satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, pemerintah sudah memberikan sejumlah insentif dan inisiatif untuk mendorong ekosistem ketenagakerjaan nasional yang lebih baik.
“Ini, kan, baru 1 tahun dan terlihat ada sebuah tren berbagai inisiatif-inisiatif yang luar biasa, dan saya yakin itu akan menciptakan lapangan kerja,” ujar dia.
Apa Masukan dan Solusi Masalah Ketenagakerjaan?
Dosen Hukum Ketenagakerjaan FH UGM, Nabiyla Risfa Izzati menekankan kebijakan pemerintah yang menyentuh akar persoalan seperti penciptaan lapangan kerja layak dan formal masih minim dalam setahun belakangan.
Ia menegaskan bahwa penciptaan lapangan kerja tidak boleh hanya kuantitas, tetapi kualitas.
“Yang dibutuhkan bukan hanya sekedar lapangan pekerjaan, tapi lapangan pekerjaan yang layak,” ujar Nabiyla dalam siaran Ruang Publik KBR, Jumat (24/10/2025).
Ia menyoroti dominasi pekerja informal yang tidak dilindungi upah layak, jaminan sosial, dan keamanan kerja. Itu sebab, dia mendorong pemerintah agar bersungguh-sungguh memberikan landasan hukum yang ideal bagi pekerja.
"Mereka bekerja tapi kemudian mereka tidak mendapatkan decent work (pekerjaan layak, red) karena sektor informal itu tidak terlindungi oleh perlindungan ketenagakerjaan,” terangnya.

Nabiyla juga menilai pemerintah belum menunjukkan terobosan untuk menjawab bonus demografi dan pasar kerja yang jenuh. Menurutnya, diperlukan kebijakan lain di luar program magang kerja yang lebih menjangkau seluruh lapisan pekerja.
“Saya sendiri belum melihat adanya terobosan. PR besarnya penciptaan lapangan kerja, bukan hanya program magang,” lanjutnya.
Nabiyla menegaskan revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan pascaputusan MK menjadi batu uji komitmen pemerintah.
“Revisi undang-undang ketenagakerjaan perlu, tapi isinya yang penting. Jangan cuma jadi prosedur formal tanpa meaningful participation (partisipasi bermakna, red),” pungkasnya.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media
Baca juga:
- Ekonomi RI Setahun Prabowo-Gibran, Naik atau Menukik?
- Di Balik Rencana BBM Campur Etanol 10 Persen





