NASIONAL

Membaca Putusan MK soal Aturan Kampanye Pemilu 2024 di Lembaga Pendidikan

KPU diminta terbuka dan melibatkan masyarakat dalam penyusunan peraturan teknis terkait aktivitas peserta pemilu di tempat pendidikan.

AUTHOR / Heru Haetami, Ardhi Ridwansyah

aturan kampanye, pemilu 2024
Warga melintas di depan alat peraga atribut partai peserta pemilu 2024 di Cibinong, Bogor, Jawa Barat, Jumat (11/8/2023). (Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya)

KBR, Jakarta - "Pasal 280 ayat 1 huruf h undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum. Selengkapnya berbunyi "menggunakan fasilitas pemerintah tempat ibadah dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu." 

Itu tadi amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) saat mengabulkan sebagian permohonan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan Handrey Mantiri, Selasa (15/8/2023).

Aturan itu terkait berkampanye menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan. Dalam putusan itu, MK memberikan pengecualian larangan kampanye peserta pemilu di lembaga pendidikan dan fasilitas pemerintah, selama tidak menggunakan atribut kampanye dan mendapat izin dari penanggung jawab tempat.

Menanggapi putusan MK itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI bakal segera merevisi Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Kampanye Pemilu.

Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI Idham Holik mengatakan KPU akan segera membuat aturan teknis penyelenggaraan pemilu sekaligus berkonsultasi kepada DPR dan pemerintah selaku pembentuk undang-undang.

"Ya penanggung jawab tempat di sana bisa panitia, bisa mengelola fasilitas pemerintah ataupun lembaga pendidikan. Nah yang mengawasi sesuai dengan kewenangan atributif yang diberikan oleh undang-undang pemilu dalam hal ini adalah Bawaslu," kata Idham Holik saat dihubungi KBR, Senin (21/8/2023).

Idham Kholik menjelaskan putusan MK tersebut sebenarnya mempertegas bahwa lembaga pendidikan yang dimaksud adalah yang peserta didiknya berusia 17 tahun ke atas, yang umumnya berupa sekolah menengah tingkat atas atau perguruan tinggi. 

Idham mengatakan dari putusan itu, peserta pemilu yang hadir tidak boleh membawa atribut kampanye pemilu dan mendapatkan izin dari penanggung jawab tempat yang dimaksud.

Baca juga:

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mengatakan perlu sosialisasi yang lebih masif ihwal pengecualian larangan kampanye di fasilitas pendidikan berdasarkan putusan MK tersebut.

Anggota Bawaslu RI, Puadi mengatakan, lembaganya masih menunggu aturan yang akan dibuat KPU terkait kegiatan kampanye tersebut.

"Pengawasan kampanye secara teknis menjadi tanggung jawab pengawas pemilu. Mulai dari Bawaslu RI, Bawaslu Kabupaten/Kota, Bawaslu Provinsi, ataupun pengawas ad hoc, yang berada dalam yurisdiksinya masing-masing. Selain itu, untuk memperluas spektrum pengawasan kampanye, Bawaslu juga mendorong adanya pengawasan partisipatif, masyarakat perlu diberikan edukasi untuk melaporkan adanya dugaan pelanggaran kampanye," ujar Puadi kepada KBR, Senin (21/8/2023).

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, kampanye politik yang dilakukan di sekolah atau lembaga pendidikan lainnya akan menyesuaikan dengan tema pendidikan.

"Memang kalau tidak kampanye di ruang publik, di ruang apa? Kan memang kampanye itu kan harus di ruang publik. Kalau di sekolah dan sebagainya, itu kampanyenya sesuai dengan pendidikan, yang objektif, akademis, dan sebagainya," kata Mahfud dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (22/8/2023).

Baca juga:

Sementara itu, Pengajar Hukum Pemilu dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini meminta KPU terbuka dan melibatkan masyarakat dalam penyusunan peraturan teknis terkait aktivitas peserta pemilu di tempat pendidikan.

Dia juga mengingatkan agar jangan sampai ada salah persepsi dari putusan Mahkamah Konstitusi itu.

"Itu yang oleh KPU harus diterjemahkan di dalam pengaturan lebih lanjut. Tetapi kalau menyatakan kampanye di tempat pendidikan tidak dilarang itu tidak tepat. Karena yang dibolehkan adalah aktivitas bersyarat peserta pemilu di tempat pendidikan yang itu lebih berorientasi bagaimana mendorong adu gagasan program oleh para peserta pemilu dalam hal ini konteksnya adalah panggung akademik," kata Titi saat dihubungi KBR, Senin (21/8/2023).

Titi menambahkan, putusan MK itu mestinya juga diterjemahkan sebagai aktivitas adu gagasan dan program peserta pemilu dalam aktivitas di fasilitas pendidikan.

Menurutnya, peserta pemilu datang ke kampus atau sekolah dituntut tidak hanya untuk 'pencitraan', melainkan membawa ide dan gagasan, adu pemikiran dan siap diuji visi kepemimpinannya.

"Agar tadi ya tidak ada mispersepsi, tidak ada lagi kontroversi terkait dengan pengaturan aktivitas peserta pemilu di tempat pendidikan. Jadi ini harus disebut sebagai aktivitas peserta pemilu di tempat pendidikan yang diatur secara terbatas. Kalau menurut saya bukan dalam artian kampanye secara seperti umumnya yang kita bayangkan soal kampanye. Jadi pengaturannya itu adalah pengaturan soal aktivitas peserta pemilu di tempat pendidikan. Karena syaratnya jelas ya harus ada izin dan tidak boleh ada atribut kampanye peserta pemilu," katanya.

Titi Anggraini mengatakan selain harus mematuhi aturan yang tertuang di amar putusan MK, penyelenggaraan pemilu juga harus mengedepankan prinsip pemilu yang adil. Contohnya memberikan kesempatan yang berimbang kepada setiap peserta pemilu dalam beraktivitas di tempat pendidikan.

Editor: Agus Luqman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!