NASIONAL

Meningkat, Kekerasan terhadap Perempuan dalam Politik

Meski ada kuota 30 persen perempuan di legislatif tapi kekerasan terhadap perempuan baik secara fisik, online maupun intimidasi tetap saja terjadi.

AUTHOR / Fadli Gaper

EDITOR / Agus Luqman

Kekerasan terhadap Perempuan dalam Politik
Direktur Eksekutif Women Research Institute (WRI), Sita Aripurnami (19/9/2024). (Foto: Youtube Rumah Pemilu)

KBR, Jakarta - Kekerasan terhadap perempuan dalam politik di tanah air mengancam partisipasi dan kepemimpinan politik perempuan.

Menurut Direktur Eksekutif Women Research Institute (WRI), Sita Aripurnami, meski ada kuota 30 persen perempuan di legislatif tapi kekerasan terhadap perempuan baik secara fisik, online maupun intimidasi tetap saja terjadi.

Sita pun mengajukan sejumlah rekomendasi yang ditujukan ke beberapa pihak, termasuk Partai Politik, Pemerintah, DPR, DPRD, KPU dan Bawaslu.

"Untuk Pemerintah, langkah aksinya atau rekomendasinya adalah rancang UU khusus kekerasan terhadap perempuan dalam politik. Karena bentuknya agak berbeda dalam kekerasan terhadap perempuan yang bukan dalam politik. Bentuk gugus tugas lintas kementerian. Alokasikan dana untuk pencegahan kekerasan terhadap perempuan dalam politik," ujar Direktur Eksekutif Women Research Institute, Sita Aripurnami saat acara dialog "Kekerasan Terhadap Caleg Perempuan di Pemilu 2024" melalui akun Youtube Rumah Pemilu, Kamis (19/9/2024).

Direktur Eksekutif Women Research Institute, Sita Aripurnami menambahkan, saat ini banyak politisi perempuan enggan melaporkan kekerasan yang mereka alami.

Bentuk kekerasan itu misalnya, caleg perempuan ditempatkan di Dapil yang bukan basis suaranya, nomor urut caleg perempuan ditempatkan di urutan bawah, dan pemaksaan partai politik supaya mereka dijadikan caleg perempuan.

Menurut Sita, keengganan politikus perempuan melaporkan kekerasan dalam politik itu dikarenakan berbagai alasan. Antara lain, tidak akan ada tindaklanjut penyelesaian; insidennya dianggap tidak cukup serius; perasaan malu; dan tidak nyaman untuk melapor.

Diingatkan Sita, politikus perempuan yang melaporkan kekerasan dalam politik terhadap dirinya sangat membantu mengurangi dampaknya.

"Ada tiga dampak kekerasan terhadap perempuan dalam politik. Pertama, menghambat partisipasi dan representasi perempuan dalam politik, memperkuat diskriminasi gender. Kedua, dampak seriusnya adalah politikus perempuan mengalami apatisme, penurunan minat berpolitik, dan mimikri gaya politik laki-laki. Ketiga, kekecewaan terhadap sistem politik dan pemilu mengurangi motivasi untuk tetap berpolitik," tuturnya.

Sita menjelaskan, paparan yang ia sampaikan merupakan temuan sementara hasil penelitian WRI dan Westminster Foundation for Democracy (WFD) yang didata sejak Agustus 2024.

Penelitian dilakukan dengan pendekatan metode campuran yakni survei, FGD dan tinjauan pustaka. Survei dilakukan kepada 100 perempuan aktif politik dan kuesioner offline.

Baca juga:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!