NASIONAL
Klarifikasi Wahyu Setiawan Terkait Peran Hasto dan Sumber Suap, Pengakuan Berubah?
Uang suap yang ia terima diduga berasal dari Hasto Kristiyanto. Wahyu mengakui kebenaran BAP tersebut. Tetapi...

KBR, Jakarta- Bekas Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan mengakui Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terkait pernyataannya mengenai dugaan sumber uang suap yang berasal dari Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto. Hal itu ia sampaikan saat menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan suap pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI dengan terdakwa Hasto Kristiyanto.
Dalam persidangan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membacakan BAP nomor 8 milik Wahyu Setiawan yang menyebutkan sumber uang suap yang ia terima diduga berasal dari Hasto Kristiyanto. Wahyu mengakui kebenaran BAP tersebut.
Baca juga:
- Eks Jubir KPK Febri Diansyah jadi Pengacara Hasto di Kasus Harun Masiku
- KPK Tahan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto Terkait Kasus Harun Masiku
Kendati demikian, Wahyu memberikan klarifikasi BAP tersebut. Ia menyatakan, meskipun Hasto sebagai Sekjen PDIP memang meminta dan memohon pergantian antarwaktu Harun Masiku menggantikan Riezky Aprilia, ia mengaku tidak mengetahui secara pasti sumber uang suap yang ia terima.
“Saya tidak mengetahui dengan pasti sumber uang suap yang saya terima itu dari mana. Saya tidak bisa mengatakan mengetahui padahal saya tidak mengetahui. Karena saya menerima dari Bu Tio (kader PDIP Agustiani Tio Fridelina),” ucap Wahyu di PN Tipikor Jakarta Pusat, Kamis, (17/4/2025).
Wahyu menjelaskan dalam BAP, ia memang menyatakan tidak mungkin Donny Tri Istiqomah, Saeful Bahri, dan Agustiani Tio Fridelina memberikan uang pribadi untuk kepentingan tersebut. Namun, ia menegaskan tidak bisa memastikan uang itu berasal dari Hasto karena tidak memiliki pengetahuan langsung. Menurut Wahyu, ketiga kader PDIP tersebut memiliki otoritas untuk menjelaskan sumber dana suap.
BAP Wahyu Soal Peran Hasto
Merespons bantahan Wahyu, Jaksa kembali membacakan secara lengkap BAP nomor 8. Dalam BAP tersebut, Wahyu menjelaskan peran Hasto dalam upaya menjadikan Harun Masiku sebagai caleg terpilih. Wahyu menyatakan Hasto sebagai Sekjen PDIP bersurat kepada KPU terkait pergantian caleg terpilih.
Lebih lanjut, dalam BAP, Wahyu menyebut Hasto mengutus Saeful Bahri, Donny Tri Istiqomah, dan Agustiani Tio Fridelina untuk menyampaikan permintaan agar KPU tetap mengganti Riezky Aprilia dengan Harun Masiku.
"Atas penyampaian tersebut saya berpendapat bahwa, penyampaian tersebut secara tidak langsung merupakan penyampaian saudara Hasto Kristiyanto," demikian isi BAP yang dibacakan Jaksa KPK, Wawan.
Baca juga:
Poin krusial dalam BAP adalah keyakinan Wahyu mengenai sumber dana suap.
"Di samping itu, pemberian uang yang saya terima atas perkara suap yang sudah saya jalani sebelumnya, saya yakini juga dari saudara Hasto Kristiyanto yang diberikan melalui ketiga orang suruhannya, saudara Saeful Bahri, Saudara Donny Tri Istiqomah, dan Saudari Agustiani Tio," bunyi BAP Wahyu.
Meskipun demikian, Wahyu mengakui dalam BAP bahwa keyakinannya tersebut tidak didukung bukti langsung.
Kubu Hasto: Keterangan Wahyu 'Kabar Burung'
Menanggapi pernyataan Wahyu Setiawan, kuasa hukum Hasto Kristiyanto, Febri Diansyah, meragukan validitas keterangan yang menyebut kliennya sebagai sumber aliran dana suap. Febri menyebut keterangan Wahyu sebagai "testimonium de auditu" atau kabar burung yang tidak memiliki kekuatan bukti dalam hukum acara pidana.
"Di hukum itu dikenal dengan testimonium de auditu atau dalam bahasa sehari-harinya kabar burung," ucap Febri di PN Tipikor Jakarta Pusat, Kamis, (17/4/2025).
Menurutnya, keterangan Wahyu tidak dapat dipegang karena saksi tidak melihat langsung aliran dana yang diduga berasal dari Hasto.
Febri meminta majelis hakim untuk mengabaikan keterangan Wahyu terkait dugaan aliran dana dari Hasto, lantaran keterangan tersebut hanya didasarkan pada informasi yang didengar dari orang lain.

Lebih lanjut Febri Diansyah menyampaikan empat poin penting terkait pembelaan pihaknya. Pertama, ia menekankan pengiriman surat PDIP kepada KPU terkait alokasi suara caleg yang meninggal adalah hak konstitusional partai berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 57. Menurutnya, KPU justru mengabaikan putusan tersebut, dan surat PDIP bertujuan menegakkan hukum, bukan mengangkat Harun Masiku.
Kedua, Febri menyatakan pengiriman surat adalah hak sah partai politik dan tidak ada pelanggaran hukum di dalamnya. Ketiga, ia menepis dugaan dana suap berasal dari Hasto, merujuk pada keterangan Wahyu yang mengaku tidak tahu dan tidak pernah diberitahu mengenai sumber dana dari terdakwa. Keempat, Febri mengkritik adanya pencampuradukkan fakta dengan opini dalam proses hukum yang menyeret kliennya.
Nama Johan Budi Terseret, Disebut Ada Banyak 'Makelar'
Dalam kesaksian Wahyu, nama bekas anggota Komisi II DPR dari Fraksi PDIP sekaligus eks-Juru Bicara KPK, Johan Budi, juga sempat muncul. Wahyu mengaku pernah menyampaikan pesan kepada Ketua KPU saat itu, Arief Budiman, agar menyampaikan kepada Johan Budi bahwa permintaan PDIP untuk meloloskan Harun Masiku tidak dapat dikabulkan karena banyaknya "makelar" yang mencoba memengaruhi proses tersebut.
Istilah "makelar" digunakan Wahyu untuk menggambarkan banyaknya pihak yang mendatanginya seolah bisa memengaruhi PAW Harun Masiku, padahal secara aturan hal itu tidak mungkin.
"Banyak makelar maksudnya apa?" tanya jaksa.
"Ya itu bahasa saya yang bisa ditafsirkan. Karena banyak pihak yang menemui saya, sementara sebenarnya tidak bisa. Kan kasihan," jawab Wahyu.
Dakwaan Berlapis Menanti Hasto
Hasto Kristiyanto didakwa menyuap Wahyu Setiawan bersama sejumlah pihak agar Harun Masiku mendapatkan kursi DPR melalui jalur PAW.

Selain itu, Hasto juga didakwa melakukan perintangan penyidikan kasus Harun Masiku, termasuk memerintahkan perusakan ponsel.
Sidang akan terus berlanjut dengan agenda pemeriksaan saksi-saksi lainnya.
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!