NASIONAL

Ketika Reforma Agraria Terus Dibelit Konflik Lahan

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, ada lebih dari 470 letusan konflik agraria akibat pembangunan infrastruktur.

AUTHOR / Ardhi Ridwansyah

konflik lahan, konflik agraria
Warga Air Bangis Pasaman Barat demo menolak rencana PSN dan menuntut penyelesaian konflik agraria di Padang, Selasa (1/8/2023). (Foto: ANTARA/Iggoy el Fitra)

KBR, Jakarta - Sejak 2014, Presiden Joko Widodo menjadikan reforma agraria sebagai salah satu program prioritas nasional dalam agenda Nawacita. Tujuannya untuk mengatasi sengketa dan konflik agraria hingga mengurangi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah.

Selama ini konflik agraria dan sengketa tanah menjadi salah satu pemicu gesekan di masyarakat, baik antarwarga, antara warga dengan perusahaan atau antara warga dengan negara.

Pembagian sertifikat tanah menjadi salah satu upaya pemerintah untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum atas kepemilikan lahan.

Menteri Agraria dan Tata Ruang Hadi Tjahjanto mengatakan pemerintah menargetkan bisa mensertifikasi 126 juta bidang tanah hingga akhir masa periode kedua pemerintahan Joko Widodo. Saat ini yang sudah tersertifikasi sebanyak 86,6 juta bidang tanah.

“Kalau harapan kita semua, karena apa yang menjadi tujuan Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA) Summit 2023 ini adalah memberikan kepastian hukum hak katas tanah, pembangunan yang berkelanjutan, dan peningkatan ekonomi masyarakat,” kata Hadi.

Meski begitu, program reforma agraria tak cukup ampuh menghentikan konflik lahan. Hingga kini konflik lahan masih terjadi bahkan memicu ketegangan di masyarakat. 

Kasus terbaru adalah konflik di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Lebih dari 7 ribu orang bakal direlokasi dari Pulau Rempang, karena kawasan itu akan dijadikan kawasan industri, jasa dan pariwisata yang masuk dalam salah satu proyek strategis nasional.

Baca juga:

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo, ada lebih dari 470 letusan konflik agraria akibat pembangunan infrastruktur. Sebagian besar adalah pembangunan proyek strategis nasional.

Kepala Departemen Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria Benni Wijaya mengatakan konflik agraria yang muncul akibat proyek strategis nasional seperti fenomena gunung es. Artinya, banyak yang tidak kelihatan di permukaan.

“Ini fenomena gunung es ya dari proyek strategis nasional yang memang selama ini sudah banyak bermasalah. (Pulau) Komodo juga seperti itu, Mandalika begitu juga, Air Bangis kemarin termasuk Kertajati, Wadas. Saya rasa hampir sebagian besar proyek strategis nasional itu menimbulkan konflik,” ucap Benni kepada KBR, Selasa (12/9/2023).

Konsorsium Pembaruan Agraria menyebut proyek strategis nasional kerap menimbulkan konflik lahan lantaran proses pembangunan dilakukan sepihak dan tergesa-gesa, tanpa melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna.

Selain itu, situasi di lapangan juga kerap terjadi ketegangan karena tempat yang hendak dibangun justru berada di tanah masyarakat.

Benni Wijaya mengatakan penolakan oleh masyarakat kerap ditangani pemerintah dengan pengerahan aparat. Akibatnya, kerap muncul bentrok, kericuhan dan jatuh korban.

Benni Wijaya mengingatkan ketentuan yang ada dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk Pembangunan bagi Kepentingan Umum. Dalam konteks pengadaan tanah bagi kepentingan umum, pemerintah terlebih dahulu harus melakukan sosialisasi kepada masyarakat terdampak.

“Di Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 itu ada alur yang harus dijalani pemerintah dulu seperti melakukan musyawarah dengan masyarakat terdampak oleh pembangunan. Nah di aturan itu masyarakat berhak menolak rencana pembangunan jika mereka menganggap ini tidak memberikan nilai positif bagi kehidupan masyarakat lokal di sana,” kata Benni.

Bagi masyarakat yang setuju adanya rencana pembangunan, maka ada beberapa opsi ganti kerugian. Yaitu ganti rugi dalam bentuk uang, tanah pengganti, permukiman kembali, kepemilikan saham atau bentuk lain yang disetujui oleh kedua belah pihak.

Baca juga:



Konflik lahan juga termasuk pengaduan yang paling banyak dilaporkan masyarakat ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas HAM.

Komisioner Komnas HAM, Anis Hidayah mengatakan jenis perkara konflik agraria yang paling banyak diadukan antara lain soal proses hukum yang tak berpihak kepada masyarakat. Terutama saat melawan perusahaan swasta maupun perusahaan pemerintah. Selain itu kasus kriminalisasi warga yang membela lahannya juga kerap diadukan ke Komnas HAM.

“Hak yang paling banyak diadukan itu adalah hak atas keadilan. Jadi proses hukum dalam konflik lahan itu yang tidak berpihak kepada masyarakat terutama ketika mereka berhadapan dengan korporasi maupun ketika mereka berhadapan dengan BUMN. Karena masalah konflik lahan dengan BUMN ini juga tinggi sekali yang ditangani Komnas HAM, seperti PT Perkebunan Nusantara (PT PN) , PT Kereta Api Indonesia (KAI), Pertamina, dan yang lain-lain,” kata Anis saat dihubungi KBR.

Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah menilai konflik agraria akan terus terjadi karena mekanisme hukum yang berkeadilan tidak terbangun baik.

Dia juga menyinggung program reforma agraria milik pemerintah. Mestinya program itu tidak sekadar membagikan sertifikat tanah, melainkan juga harus menyediakan mekanisme penyelesaian konflik lahan yang adil.

Editor: Agus Luqman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!