NASIONAL
MA: Belum Ada Aturan Jelas Lindungi Masyarakat dari Perkara SLAPP
SLAPP merupakan gugatan yang ditujukan untuk menyensor, mengintimidasi atau menghentikan kritik masyarakat atau konsumen sehingga mereka menyerah dalam melakukan kritik atau perlawanan.
AUTHOR / Ellika Falah Putri
KBR, Jakarta - Mahkamah Agung mengusulkan perlu adanya ketentuan yang lebih jelas mengenai Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP).
SLAPP merupakan gugatan yang ditujukan untuk menyensor, mengintimidasi atau menghentikan kritik masyarakat atau konsumen sehingga mereka menyerah dalam melakukan kritik atau perlawanan.
Ada sejumlah kasus konsumen di Indonesia terkena dampak SLAPP, sedangkan regulasinya belum cukup untuk melindungi kepentingan konsumen.
Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, Suhadi mengatakan jika dilihat dari konstruksi acara pidana, ada kemungkinan perkara yang mengandung SLAPP dihentikan menggunakan dalil pasal 156 KUHP saat eksepsi dilakukan.
"Ketika eksepsi dilakukan, hakim ketika ada keberatan dari penasehat hukum atau terdakwa bahwa ini mengandung SLAPP. Apakah hakim ini bisa serta merta untuk menghentikan perkara tersebut? Karena mengandung SLAPP. Kalau berwenang untuk melakukan penghentian perkara disitu, apakah ini merupakan putusan seperti pasal 156? Ada upaya banding atau keberatan ke pengadilan tinggi yang memegang putusan akhir," kata Suhadi, dalam siaran langsung Peluncuran Buku Kebijakan Anti SLAPP dan Pengelolaan Lingkungan, pada kanal Youtube Mahkamah Agung Republik Indonesia, Kamis, (7/9/2023).
Baca juga:
- Pejuang Lingkungan Dibayangi Overkriminalisasi KUHP Baru (bagian 1)
- Pejuang Lingkungan Dibayangi Overkriminalisasi KUHP Baru (bagian 1)
Karena itu, Suhadi mengatakan butuh ada ketentuan-ketentuan yang diatur secara rigid dan lebih jelas. Jika perkara mengandung SLAPP ingin dihentikan menggunakan mekanisme pasal 156 KUHP, perlu ada regulasi yang tegas bahwa putusan eksepsi tersebut merupakan putusan berkekuatan hukum tetap.
Suhadi mencontohkan aturan pengikat pada Undang-undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 yang menjelaskan bahwa putusan terakhir adalah putusan banding. Jika perkara dihentikan pada pasal 156, maka tidak bisa ada kasasi atau pun peninjauan kembali (PK).
Kemudian perlu dikunci dengan kalimat bahwa putusan ini mengikat dan tidak ada upaya hukum lainnya.
"Apakah ini merupakan putusan akhir atau bukan? Putusan akhir telah diatur dalam pasal 191 dan 193 KUHP, jika tidak terbukti maka dinyatakan bebas, atau kalau terbukti bukan tindak pidana maka akan dilepas. Namun, jika terbukti adanya tindak pidana, maka akan di pidana atau di penjara," tambah Suhadi.
Suhadi mengatakan terkadang, objek SLAPP harus menjalani proses penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, dan upaya lainnya. Namun hal ini belum diatur secara rigid di dalam ketentuan.
Baca juga:
- Menyoal Perlindungan bagi Pembela HAM di Indonesia
- KPA: 2.710 Konflik Agraria Terjadi Selama Pemerintahan Jokowi
Editor: Agus Luqman
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!