NASIONAL

Bekerja Lebih Lama, Banyak Perempuan Pekerja Rumahan Tak Dapat Uang Lembur

Meski bekerja hingga lebih dari 15 jam, PPR juga tidak terjamin mendapat upah tambahan atau uang lembur.

AUTHOR / Fadli Gaper

EDITOR / Resky Novianto

Perempuan Pekerja Rumahan
Ilustrasi. Pekerja rumahan. (Foto: ANTARA/Umarul Faruq)

KBR, Jakarta - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan, Perempuan Pekerja Rumahan (PPR) banyak yang jam kerjanya tidak pasti atau melebihi standar jam kerja normal.

Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani, meski bekerja hingga lebih dari 15 jam, PPR juga tidak terjamin mendapat upah tambahan atau uang lembur.

"Jam kerja fleskibel dan tidak pasti. Ada yang bekerja selama lebih dari 15 jam. Dan kelebihan jam kerja dari standar kerja 8 jam kerja ini juga tidak dibayarkan upahnya. Dan jam kerja ini juga berpengaruh pada hasil pendapatan hariannya karena pekerja rumahan mereka dibayar berdasarkan hasil kerjanya bukan berdasarkan jam kerjanya. Sehingga jam kerja panjang bukan jaminan bahwa mereka akan mendapat upah tambahan atau upah lembur," ujar Komisioner Komnas Perempuan Tiasri Wiandani saat menyampaikan Konsultasi Publik Laporan Pemantauan situasi Pekerja Rumahan di Indonesia (12/9/2024).

Tiasri juga mengungkapkan, PPR juga banyak yang rentan kehilangan penghasilan bila sedang sakit. Selain itu, Perempuan Pekerja Rumahan juga banyak yang tidak mendapat Tunjangan Hari Raya THR sebagaimana pekerja formal pada umumnya.

Komnas Perempuan menggelar Konsultasi Publik terkait Laporan Pemantauan Situasi Perempuan Pekerja Rumahan di Indonesia, Kamis (12/9/2024).

Laporan ini mengungkapkan gambaran umum penderitaan yang dialami Perempuan Pekerja Rumahan sepanjang 2023.

Baca juga:

Menko PMK: Industri Padat Teknologi Mengikis Angkatan Kerja

Indef: Ekonomi Rumah Tangga Indonesia Tertekan

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!