NASIONAL

Warga di Puncak Papua Meninggal Karena Diare atau Kelaparan?

"Sudah terjadi kekeringan di sana dan cuaca ekstrem. Dan yang meninggal itu bukan karena kelaparan, tapi karena diare dan karena cuaca," kata Wapres.

AUTHOR / Shafira Aurel

kelaparan
Peta Papua. (Foto: Bennylin/Creative Commons)

KBR, Jakarta - Enam orang meninggal di Kabupaten Puncak, Papua Tengah, belum lama ini. Mereka meninggal lantaran kelaparan. Sebab, lahan pertanian di sana kekeringan imbas cuaca ekstrem, sehingga terjadi gagal panen. 

Namun, belakangan Wakil Presiden Maruf Amin menyebut warga di sana meninggal lantaran diare. Maruf Amin menyebut enam orang meninggal di Kabupaten Puncak, Papua Tengah, bukan diakibatkan kelaparan, melainkan karena diare.

"Sudah terjadi kekeringan di sana dan cuaca ekstrem. Dan yang meninggal itu bukan karena kelaparan, tapi karena diare dan karena cuaca," kata Wapres usai Rapat Internal mengenai Papua di Istana Wakil Presiden Jakarta, Rabu, (2/8/2023).

Maruf Amin memastikan bantuan pangan sudah didistribusikan ke lokasi terdampak kekeringan. Maruf menyebut, pengiriman bantuan terkendala cuaca dan medan lantaran tak ada transportasi pendukung.

Selain itu, pemerintah juga memperpanjang masa tanggap darurat bencana kekeringan di Kabupaten Puncak hingga dua pekan.

Sebelumnya, sejumlah pihak lebih dahulu memberikan analisis terkait kejadian kelaparan di Papua Tengah. Salah satunya LSM Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) Wilayah Papua. 

Anggota BRWA Perwakilan Papua, Zulhasdullah mengatakan faktor lain adalah dikarenakan banyaknya perubahan struktur pangan, perebutan lahan, hingga bantuan pemerintah yang tidak merata.

"Kontras sebenarnya dengan kekayaan tanah Papua yang begitu dahsyatnya tetapi terjadi kemiskinan dan gizi buruk, bahkan kelaparan. Ini satu hal yang kontras menurut kami. Artinya kondisi itu (kasus kelaparan) bisa terjadi karena orang Papua dengan hutannya itu tidak lagi dikuasai oleh mereka. Tetapi sudah diklaim oleh KLHK, oleh perizinan-perizinan pertambangan. Akhirnya bagaimana orang mau bisa berkebun?" kata Zulhasdullah, kepada KBR, Senin, (31/7/2023).

Menurut Zulhasdullah, kelaparan di Papua bukan hal baru, tetapi sudah sejak lama mereka mengalami krisis pangan. Ia khawatir, situasi kelaparan yang melanda Bumi Cendrawasih akan semakin masif bila tidak ditangani serius pemerintah.

Baca juga:

Pengamat pertanian sekaligus Guru Besar dan Kepala Pusat Bioteknologi Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa menyebut kelaparan di Papua juga dipengaruhi faktor perubahan pola konsumsi pangan masyarakat.

Andreas menyebut, Papua Tengah yang notabene adalah daerah pegunungan memang sangat rentan terjadi fenomena embun upas yang bisa membekukan tanaman hingga mati.

"Ini sebenarnya pembelajaran bagi kita semua. Bahwa sebenarnya masyarakat memiliki budaya pangan lokal. Tapi budaya pangan lokal itu kita seragamkan dengan beras, lalu sekarang dengan mie instan atau dengan produk-produk berbahan baku gandum. Itu lebih berbahaya lagi, karena gandum 100 persen kita impor," kata Andreas kepada KBR, Selasa, 01 Agustus 2023.

Andreas menilai, situasi di Puncak seharusnya bisa diantisipasi dengan membenahi sistem pertanian, dan mengembalikan budidaya tanaman pangan lokal. Salah satu tujuannya ialah mengembalikan lagi pola konsumsi pangan masyarakat yang saat ini sudah bergantung pada beras dan gandum.

Badan Pangan Nasional (Bapanas) mengakui perubahan struktur pangan menjadi salah satu penyebab terjadinya kelaparan berulang di wilayah Papua.

Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi mengatakan, ada sejumlah kendala terkait sektor pangan di Papua. Di antaranya tidak tersedianya bahan makanan yang dimiliki, dan akses yang sulit.

"Kalau struktur pangan seharusnya mengacu ke situ (kearifan lokal). Struktur pangan yang mau ideal, ya, itu. Kemudian pemenuhannya tergantung dari kearifan pangan lokal tadi. Jadi, di daerah tertentu kalau memang sudah biasa turun-temurun makan sagu, ya memang akan sagu. Disuruh makan roti dia juga enggak pas. Jadi, biarkan kearifan pangan itu berkembang," ujar Arief ketika dihubungi KBR, Selasa, (1/8/2023).

Arief menjelaskan, seharusnya pemerintah pusat dan daerah tetap mempertahankan kearifan lokal dan pola makan masyarakat, sebelum gencar mengubah struktur pangan di berbagai daerah, termasuk di Papua.

Kata dia, kelaparan yang kini melanda Papua Tengah juga disebabkan perubahan pola makan masyarakat yang bergantung dari luar.

Baca juga:

Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto, bersama rombongan menyerahkan bantuan logistik dan peralatan kepada warga terdampak.

Suharyanto berharap, dalam jangka pendek bantuan tersebut bisa mengatasi dan memenuhi kebutuhan logistik masyarakat.

"Jadi, untuk bantuan ini akan dilakukan terus-menerus, nanti Pak Bupati akan membuat surat permintaan, dan BNPB selama ada masa tanggap darurat ini akan membantu, baik logistiknya maupun pengangkutannya. Diangkut oleh pesawat dari Timika ke Agandugume, ya, karena itu yang lebih dekat," kata Suharyanto dalam video yang diterima KBR, Kamis, (3/8/2023).

Suharyanto memerinci, bantuan logistik yang diserahkan berupa beras 50 ton, makanan siap saji 10 ribu paket, hingga sembako 3 ribu paket. Sedangkan bantuan peralatan antara lain 2 ribu unit tenda gulung, ribuan pakaian, genset, serta motor trail.

Proses pendistribusian dibantu TNI dan Polri. Sebab, kondisi menuju lokasi hanya dapat dilalui kendaraan roda dua serta helikopter. Di sana, terdapat ribuan korban terdampak kekeringan yang berujung pada kelaparan.

Editor: Agus Luqman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!