NASIONAL

Tak Sekadar Menghindar Interaksi Sosial

Seseorang dengan Avoidant Personality Disorder menghindari interaksi sosial karena merasa lebih rendah dari orang lain.

AUTHOR / Tim Disko

Diskusi Psikologi (Disko)

KBR, Jakarta- Perasaan lelah, malu dan ingin menghindari interaksi sosial dengan orang lain mungkin wajar dialami sebagian orang. Namun lain cerita, kalau kamu mengalami Avoidant Personality Disorder.

Apa itu Avoidant Personality Disorder?

Avoidant personality disorder adalah gangguan kepribadian yang membuat pengidapnya menghindari interaksi sosial karena merasa lebih rendah dari orang lain.

Bisa dibilang, ini bukan sekedar rasa malu atau sulit berkenalan dengan orang lain. Tapi pada kasus seseorang dengan Avoidant personality disorder, dia lebih memilih untuk menyendiri atau merasa kesepian dibandingkan mencoba menjalin hubungan dengan orang lain. Melansir laman Hello Sehat dari Kementerian Kesehatan, perasaan ini cenderung menetap.

Baca juga:

Gak Sekedar Pede, Narsis Bisa Jadi Gangguan Mental Loh!

Banyak Teman Enggak Tentu Bahagia, Loh!

-  Sindrom Thanos Bikin Merasa Paling Jago

Psikologi klinis, Jane L. Pietra, S.Psi., M.Psi., menekankan, avoidant personality disorder adalah sebuah gangguan kepribadian. Jadi gangguan ini bisa sangat mengganggu kehidupan seseorang.

"Udah sampai menyebabkan ketidakberfungsian dalam kehidupan sehari-hari, menimbulkan penderitaan kali ya, dan cenderung bertahan lama gitu. Kalau si avoidant personality disorder, dia masuk ke dalam cluster c, atau seringkali disebut sebagai gangguan-gangguan yang salah satu ciri utamanya adalah dia fear anxiety, ketakutan. Jadi ya gitu secara spesifik, dia tuh sangat ketakutan yang berlebihan ya. Jadi bukan cuma sekedar kayak kita takut dinilai. Aduh kayaknya, ragu-ragu ke depan. ke depan untuk presentasi, atau misalnya mau ketemu orang baru. Kita takut dinilai. Nggak lebih, ketakutannya berlebih, di luar batas wajar sampai mengganggu kehidupan sehari-hari," pungkasnya.

Tapi nih, Jane mengingatkan bahwa masyarakat tidak boleh asal self diagnosed. Diagnosa atau penentuan apakah seseorang mengalami avoidant personality disorder hanya bisa dilakukan oleh ahli. Yang pastinya menggunakan pedoman-pedoman tertentu.

"Dan kita sebagai masyarakat awam gitu. Ya maksudnya sebagai teman gitu ya, memang tidak bisa juga kemudian mendiagnosis gitu kan. Karena apa? Diagnosis itu perlu apa ya? Istilahnya kompleksitas. Karena kami saja para praktisi gitu ya, baik psikolog maupun psikiater itu harus berpatokan pada kitabnya, kita sebut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM). Jadi itu untuk menentukan symtom-symtom-nya. Betul tidak bahwa si disorder ini, yang kemudian akhirnya kita berikan ke si individu," kata Jane.

Ia menambahkan, sebuah sindrome atau gangguan psikologis bisa muncul berbarengan dengan gangguan lainnya. 

"Biasanya satu gangguan itu bisa muncul berbarengan dengan gangguan lainnya gitu. Kayak misalnya tadi contohnya sih avoidant personality disorder. Nah kalau tadi kan cirinya cemas dan ketakutan berlebih, dia itu sering kali muncul berbarengan dengan gangguan kecemasan .Kayak misalnya kecemasan sosial. Nah ini yang cirinya juga sebetulnya 11-12 mirip-mirip. Makanya Kenapa harus didiagnosis oleh yang ahli gitu. Karena akan ada pembedanya. Kayak misalnya sudah berapa lama, kapan munculnya. karena ada kejadian apa, dan kemudian ada hal-hal lainnya nggak nih, yang bisa kemudian dicentang dari si DSM tadi itu," ungkapnya.

Lebih jelas soal avoidant personality disorder. Yuk kita simak di podcast Diskusi Psikologi (Disko) di link berikut ini:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!