NASIONAL

Sidang Eksepsi, Hasto Seret Nama Jokowi

"Pada periode itu ada utusan yang mengaku dari pejabat negara yang meminta agar saya mundur tidak boleh melakukan pemecatan atau saya akan ditersangkakan dan ditangkap," ujar Hasto

AUTHOR / Shafira Aurel

EDITOR / Resky Novianto

Google News
hasto
Presiden RI Ketujuh Joko Widodo dan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto saat Pembubaran TKN Jokowi-Maruf di 2019. Foto: ANTARA

KBR, Jakarta- Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto mengaku didatangi oleh utusan pejabat negara sebelum dijadikan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus Harun Masiku.

Dia menyebut dirinya kerap mendapatkan tekanan saat menyampaikan sikap kritis partai atas kondisi demokrasi di Indonesia.

Tekanan itu, kata dia, mulai masif didapatkan usai menjadi narasumber dalam siniar (podcast) milik Akbar Faizal, hingga mengomentari Pilkada 2024 yang diduga telah disusun untuk memenangkan calon tertentu.

Bahkan Hasto mengeklaim puncak intimidasi yang dia terima terjadi saat PDIP memecat Presiden ke 7 Joko Widodo. Dengan adanya keputusan itu membuat kasus Harun Masiku kerap dikaitkan dengan dirinya dan PDIP.

"Terlebih pada periode 4-15 Desember 2024 menjelang pemecatan Bapak Jokowi oleh DPP PDI Perjuangan setelah mendapat laporan dari Badan Kehormatan partai. Pada periode itu ada utusan yang mengaku dari pejabat negara yang meminta agar saya mundur tidak boleh melakukan pemecatan atau saya akan ditersangkakan dan ditangkap," ujar Hasto saat membacakan nota keberatan atau eksepsi di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (21/3/2025).

"Dan akhirnya pada tanggal 24 Desember 2024 yakni satu minggu setelah pemecatan para kader partai, pada pagi harinya dibocorkan terlebih dahulu ke media, dan pada sore menjelang malam saya ditetapkan sebagai tersangka," tambahnya.

Untuk itu, Hasto pun meyakini bahwa kasus yang tengah menyeretnya ini adalah atas dasar orderan atau pesanan tertentu. Sebab ia menilai dalam penetapannya sebagai tersangka cacat secara prosedural dan tidak mendasar.

"Konstruksi kasus Harun Masiku ini sebenarnya sangat sederhana. Meski tidak sepenuhnya tepat, namun dapat dianalogikan dari seseorang yang terkena ‘tilang’ di perempatan jalan karena diindikasikan melanggar aturan lalu lintas," katanya.

Baca juga:

KPK Ungkap Harun Masiku Kabur Atas Perintah Hasto

Sebelumnya, KPK mendakwa Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dengan sengaja merintangi penyidikan kasus dugaan suap dengan tersangka Harun Masiku.

Hal itu ditandai dengan adanya perintah dari Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto untuk merendam ponsel atau handphone agar buron Harun Masiku tidak tertangkap KPK. Hasto juga memerintahkan hal itu kepada anak buahnya yang lain sebelum dirinya diperiksa KPK.

Kasus ini bermula setelah Pimpinan KPK menerbitkan surat perintah penyelidikan pada 26 November 2019 tentang dugaan suap di DPR RI terkait pengurusan pelaksanaan APBN 2020. Saat proses penyelidikan, penyelidik menemukan dugaan suap kepada penyelenggara negara di KPU RI.

Hasto Kristiyanto juga didakwa menyuap Wahyu Setiawan sebesar Rp600 juta untuk kepentingan penetapan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR RI periode 2019-2024 Harun Masiku.

"Uang tersebut diberikan dengan maksud supaya Wahyu Setiawan mengupayakan agar KPU RI menyetujui permohonan PAW Caleg Terpilih Dapil Sumsel 1 atas nama Riezky Aprilia kepada Harun Masiku," kata Jaksa.

Baca juga:

Eks Jubir KPK Febri Diansyah jadi Pengacara Hasto di Kasus Harun Masiku

Dengan begitu, Hasto diduga melanggar Pasal 21 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 65 ayat (1) KUHAP.

Sementara itu, dalam dugaan suap, dia didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!