ragam
Kesehatan Mental di Kantor Bukan Cuma Tanggung Jawab Pekerja

“Jika kesehatan mental tidak tertangani dalam jangka panjang akan memunculkan berbagai macam penyakit kronis secara fisik. akhirnya berdampak juga kepada value atau cost yang perusahaan keluarkan"

Penulis: Dita Alya Aulia

Editor: Valda Kustarini

Google News
Kesehatan Mental di Kantor Bukan Cuma Tanggung Jawab Pekerja
Ilustrasi pekerja mengakses layanan kesehatan mental.

KBR, Jakarta – Topik work-life balance atau keseimbangan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan kini semakin sering terdengar, terutama di kalangan generasi muda. Kesadaran pentingnya menjaga kesehatan mental dan kesejahteraan hiduptumbuh, didorong oleh akses informasi yang lebih terbuka dan diskusi yang lebih inklusif di ruang publik maupun media sosial.

Namun, realitanya Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam mewujudkan keseimbangan tersebut. Berdasarkan laporan Global Life Work Balance Index 2025 yang dirilis oleh Remote, Indonesia hanya menempati peringkat ke-34 dari 60 negara, dengan skor 52,07 dari 100. Sementara peringkat pertama ditempati Selandia Baru dengan skor 86,9. Di kawasan, Indonesia di bawah Singapura (peringkat 25) dan Malaysia (27).

Rendahnya peringkat ini mencerminkan kondisi lingkungan kerja yang belum sepenuhnya mendukung kesejahteraan pekerja. Durasi kerja yang panjang, minimnya jaminan cuti, serta belum meratanya sistem perlindungan kesehatan menjadi beberapa indikator utama. Lebih lanjut, persoalan ini diperparah oleh kesenjangan cara pandang antar generasi terhadap isu kesehatan mental.

Psikolog klinis Ratih Arum Listiyandini menjelaskan, perbedaan cara pandang ini banyak dipengaruhi oleh latar belakang sosial dan budaya tempat masing-masing generasi tumbuh. Generasi yang lebih tua cenderung menganggap isu kesehatan mental sebagai hal yang tabu, sedangkan milenial dan Gen Z lebih terbuka karena terpapar informasi, baik dari media mainstream atau pun media sosial sehingga memiliki kesadaran terhadap pentingnya menjaga kondisi psikologis yang lebih baik.

Awareness terkait dengan kesehatan mental itu mungkin sekitar 5–10 tahun terakhir itu sudah menjadi jauh lebih baik lah, dibandingkan generasi sebelumnya pada era mereka ketika mereka masih muda,” ujar Ratih dalam podcast Uang Bicara.

Ketimpangan pemahaman ini seringkali memicu ketegangan di tempat kerja. Generasi yang lebih tua, seringkali membandingkan dengan pengalamannya, sehingga sering terdengar pertanyaan seperti “zaman saya dulu bisa, kamu kenapa enggak?”. Komentar demikian justru memperlebar jurang antar generasi.

Itu sebab, Ratin menekankan pentingnya intervensi perusahaan sebagai upaya sistematis agar semua generasi memiliki pemahaman yang setara mengenai kesehatan mental.

“Edukasi sama kesehatan mental itu tidak hanya dilakukan dalam konteks untuk anak-anak muda aja, agar setiap orang memiliki kesadaran dan level pengetahuan yang cukup berimbang terkait definisi dari kesehatan mental itu,” tegas Ratih.

red
Data Global Life-Work Balance Index 2025 menunjukkan daftar lima negara yang memiliki work-life balance terbaik.


Baca Juga:

Kesehatan Mental bagi Semua, Mengakhiri Era “Laki-Laki Tidak Bercerita”

Tren Quiet Quitting, Ikigai Bilang Apa?

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), tempat kerja yang mendukung kesehatan mental dan mampu menekan tingkat stres berkontribusi pada peningkatan kesehatan fisik dan mental karyawan, menurunkan angka ketidakhadiran, serta mendorong produktivitas, semangat kerja, dan hubungan antarpegawai yang lebih harmonis. Karena itu, upaya melindungi dan meningkatkan kesehatan mental di lingkungan kerja dinilai sebagai langkah strategis dan efektif.

Ratih menilai, kantor yang mengabaikan kondisi mental pekerja dalam jangka waktu yang lama akan merugi.

“Jika kesehatan mental tidak tertangani dalam jangka panjang akan memunculkan berbagai macam penyakit kronis secara fisik. Yang pada akhirnya berdampak juga kepada value atau cost yang perusahaan keluarkan lebih besar lagi,” kata dia.

Itu sebab, perusahaan pun punya andil untuk menjaga kesehatan mental pekerjanya, mengingat sepertiga waktu karyawan dihabiskan di kantor. Perusahaan bisa bekerja sama dengan layanan lembaga-lembaga yang menyediakan layanan psikologis.

Bantuan lain yang bisa perusahaan berikan juga adalah menanggung biaya pengobatan pekerja.

“Namanya employee assistance program. Dimana cost untuk layanan kesehatan mental itu disediakan oleh perusahaan,” tutur Ratih.

Sebagai bentuk self awareness pekerja yang memiliki gejala merasa cepat lelah secara emosional, kehilangan minat terhadap aktivitas atau mengalami perubahan pola tidur dan makan bisa memeriksakan kondisi mentalnya ke profesional.

Tidak hanya itu, Ratih juga menekankan pentingnya perawatan diri sebagai langkah awal menjaga kesehatan mental, terutama bagi mereka yang belum bisa mengakses layanan kesehatan mental. Ia mengingatkan bahwa kebutuhan dasar seperti makan cukup, tidur yang nyenyak, dan menjalin hubungan sosial yang sehat merupakan fondasi utama.

“Minimal adalah ketika kita sedang struggling ya terkait sama perekonomian mulai dari merawat diri untuk yang basic-basic, itu menjadi salah satu fondasi-fondasi penting di dalam kesehatan mental,” pungkasnya.

Dengarkan selengkapnya di podcast Uang Bicara episode Kerja Produktif dan Tetap Waras, Muluk Gak sih? bersama Psikolog Klinis, Ratih Arum Listyandini. 

kesehatan mental
produktivitas
pekerja
perusahaan

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...