NASIONAL

Revisi UU MK, Pakar: Dibunuh Secara Sistematis

"Ibaratnya tuh DPR pemerintah mau bikin undang-undang nggak ada lagi yang bisa kontrol,"

AUTHOR / Heru Haetami

MK
Ilustrasi: Aksi di depan kantor MK. (Antara)

KBR, Jakarta-   Pakar Hukum Tata Negara dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menilai revisi Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi merupakan agenda yang sarat kepentingan politis. Kata dia, beberapa poin revisi seperti pemberhentian hingga evaluasi dan masa jabatan hakim MK tidak mendesak untuk saat ini.

"Memang revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ini sangat sarat kepentingan politis. Kenapa, karena urgensinya untuk topik-topik, empat topik itu sebenarnya tidak ada urgensinya sekarang. Apakah MK perlu kita evaluasi? Ya setuju. Tapi evaluasinya keseluruhan dong. Kalau kita misalnya mau mengkritik mulai dari dampak putusan 90 dan lain-lain yang sebenarnya terjadi agak lama ya," kata Bivitri kepada KBR, Rabu (15/5/2024).

Bivitri Susanti mengatakan, revisi ini juga perpotensi membuat kekuasaan kehakiman diatur pemerintah dan DPR sebagai lembaga milih calon hakim MK.

"Tiga lembaga yang memilih Hakim itu DPR 3 (hakim), presiden 3, Mahkamah Agung 3, itu dikatakan mereka bisa mengevaluasi setelah 5 tahun gitu. Nah yang harus dipahami adalah sebenarnya hakim-hakim itu bukan perwakilan dari tiga lembaga loh. Konsepnya itu pemilihan. Jadi begitu selesai dipilih tiga orang Hakim misalnya oleh DPR maka sudah selesai. Nggak ada lagi relasi atasan bawahan antara si Hakim yang dipilih dengan DPR, sehingga tidak boleh dievaluasi, nggak ada KPI (Key Performance Index), nggak kayak pegawai begitu ya. Jadi nggak bisa dievaluasi di tengah-tengah ini jabatan Hakim," katanya.

Bivitri berharap ada pihak yang mampu mengintervensi DPR untuk mencegah revisi ini disahkan di parlemen. Dia khawatir, jika revisi ini berhasil dilakukan tak ada lagi fungsi kontrol MK terhadap pembentukan aturan perundang-undangan.

"Tapi perlu disadari bahwa begitu kekuasaan kehakiman, begitu MK dibunuh secara sistematis, karena ini revisi undang-undang sama kayak KPK, dibunuhnya tuh sistematis gitu melalui undang-undang. Maka nanti ke depannya ibaratnya tuh DPR pemerintah mau bikin undang-undang nggak ada lagi yang bisa kontrol, akibatnya akhirnya ke kita," ujar Bivitri.

Baca juga:

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan, pemerintah bersama Komisi III telah menyepakati pengambilan keputusan tingkat I terhadap revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Artinya, revisi tersebut tinggal dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang.

"Kalau saya lihat bahwa keputusan yang sudah diambil antara pemerintah dengan DPR tinggal dilanjutkan di paripurna. Nah sehingga masa sidang yang masih panjang ini juga memungkinkan untuk komisi terkait juga berkoordinasi kembali dengan pemerintah," ujar Dasco di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (14/5/2024).

Sementara, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Adies Kadir mengatakan Komisi III dan pemerintah setuju RUU MK dilanjutkan pada pembicaraan tingkat II dalam rapat Paripurna DPR RI.

Hal ini diputuskan dalam Rapat Kerja Komisi III dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Hadi Tjahjanto dalam rangka pembahasan tingkat I pengambilan keputusan atas RUU tentang Perubahan Keempat UU Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).

Adies juga telah meminta persetujuan dari para Anggota Komisi III dan Menteri Polhukam saat raker di Nusantara II, Senayan, Jakarta, Senin (13/5/2024).

Berdasarkan Pasal 163 Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, mekanisme Pengambilan Keputusan pada Pembicaraan Tingkat I yang belum dilaksanakan yaitu pendapat akhir mini Presiden dan penandatanganan naskah RUU oleh pihak Pemerintah.

Poin perubahan krusial dalam revisi itu seperti aturan pemberhentian hakim, proses evaluasi hakim MK, komposisi unsur Majelis Kehormatan MK (MKMK) , hingga masa jabatan hakim MK.

Editor: Rony Sitanggang

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!