NASIONAL

Revisi UU Penyiaran di DPR, KPI: Tidak Spesifik Bahas Pasal

"Tapi diskusi-diskusi secara isu besar, kita tidak bahas pasal per pasal dalam bentuk daftar inventarisasi masalah misalnya," ujar Tulus.

AUTHOR / Shafira Aurel, Astri Yuana Sari

 Revisi UU Penyiaran di DPR, KPI: Tidak Spesifik Bahas Pasal
Ilustrasi: Logo Penyiaran

KBR, Jakarta- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menyatakan sudah beberapa kali berdiskusi secara umum dengan DPR RI, terkait revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat, Tulus Santoso mengatakan, pembahasan diskusi tidak secara spesifik membahas poin per poin dari pasal-pasal di RUU tersebut.

"Walaupun bukan di ruang rapat tapi beberapa kali memang ketika RDPU ada masukan-masukan mengenai perlunya pengaturan konten di media baru misalnya. Kemudian dalam beberapa diskusi di forum seminar juga hal tersebut muncul, artinya diskusi-diskusi itu ada bagaimana untuk kemudian memperkuat kelembagaan KPI ini," kata Tulus kepada KBR, Minggu (12/5/2024).

"Tapi diskusi-diskusi secara isu besar, kita tidak bahas pasal per pasal dalam bentuk daftar inventarisasi masalah misalnya," imbuhnya.

Terkait pasal-pasal tentang jurnalisme independen dan perluasan kewenangan KPI dalam hal sengketa pers, Tulus enggan berkomentar banyak. Namun dia menyebut, selama ini spirit yang ingin dibangun dalam revisi UU ini adalah untuk memperbaiki regulasi yang belum memfasilitasi perkembangan teknologi penyiaran saat ini.

"Kenapa kemudian undang-undang penyiaran ini mesti direvisi adalah bagaimana kemudian dunia penyiaran yang telah berkembang saat ini tapi regulasinya belum memfasilitasi itu, regulasinya masih usang dan belum sejalan dengan perkembangan teknologi yang saat ini ada," imbuhnya.

Baca juga:

- Kritik Revisi UU Penyiaran, Dewan Pers: Jangan Batasi Kebebasan Pers

- Represi Kebebasan Pers Terus Berulang

Dihubungi terpisah, Dewan Pers menilai isi draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran dapat memberangus kebebasan pers dan bertentangan dengan Undang-Undang Pers. Salah satu yang menjadi sorotan adalah larangan penayangan jurnalistik investigasi.

Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Dewan Pers Yadi Hendriana mengatakan revisi undang-undang tersebut hanya akan mempersulit dan membatasi ruang gerak jurnalistik. Sebab menurutnya tak ada alasan yang mendasar untuk melarang penayangan jurnalistik investigasi.

Menurutnya, larangan untuk menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi sebagaimana yang dimuat pada Pasal 50 B Ayat (2) RUU Penyiaran tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Yang dimana Undang-Undang tentang Pers telah mengatur ihwal kerja dan etika pers, termasuk soal kegiatan jurnalisme investigasi.

“Kalau seandainya ada larangan tersebut ini sama saja dengan membatasi kebebasan pers, dan ini berbahaya. Saya tidak paham kenapa mesti ada pasal ini. Pasal ini berpotensi membatasi kerja jurnalistik, merenggut kebebasan pers, dan juga melemahkan kinerja pers dalam mengontrol proses demokrasi yang ada di negara kita,” ujar Yadi kepada KBR, Minggu (12/5/2024).

Yadi Hendriana juga mengkritik peran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pers. Menurutnya hal tersebut tidak tepat dan hanya akan menimbulkan tumpang tindih kewenangan.

Editor: Resky Novianto

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!