indeks
Perjuangan Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Mengubah Pendirian MK Hapus Presidential Threshold

Hampir satu tahun mereka berjibaku dengan persidangan yang akhirnya membawa angin segar bagi demokrasi di Indonesia.

Penulis: Agus Lukman, Ken Fitriani

Editor: Wahyu Setiawan

Google News
pemilu
Empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang mengajukan uji materi ambang batas pencalonan presiden saat konferensi pers, Jumat (3/1/2024). (KBR/Ken)

KBR, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya memutuskan menghapus ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) yang semula 20 persen dari jumlah kursi DPR. Ini merupakan keputusan bersejarah, setelah MK berkali-kali mementahkan uji materi ambang batas tersebut.

Syarat ambang batas itu diatur di Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Sebelumnya, syarat serupa juga pernah diatur di UU Nomor 23 Tahun 2003 dan UU Nomor 42 Tahun 2008.

MK mencatat pernah menerima 13 permohonan uji materi mengenai ambang batas di Pasal 5 ayat (4) UU 23/2003 dan Pasal 9 UU 42/2008. Namun semua itu mentah, beberapa bahkan ditolak.

Sejak aturan ambang batas dimuat di Undang-Undang Pemilu tahun 2017, MK juga mencatat pernah menerima 33 permohonan uji materi. Semuanya juga gagal.

Hingga akhirnya, MK berubah pendirian setelah empat mahasiswa Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta mengajukan uji materi ambang batas Pasal 222 Undang-Undang Pemilu. Keempatnya yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Hag, dan Tsalis Khoirul Fatna.

"Mengadili, mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan norma Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, bertentangan dengan UUD 1945," kata Ketua MK Suhartoyo dalam sidang putusan, Kamis (2/1/2024).\

Mahkamah mengakui, aturan ambang batas kerap dipersoalkan dan diuji konstitusionalitasnya baik oleh partai politik hingga organisasi masyarakat sipil. Hal itu juga menjadi salah satu pertimbangkan hukum MK dalam memutus uji materi kali ini.

"Secara faktual keberadaan ambang batas tersebut tetap menjadi salah satu isu sentral dalam penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden yang tidak pernah berhenti dipersoalkan, baik oleh partai politik, pemilih, politisi, maupun kelompok masyarakat yang concern atas penyelenggaraan pemilu yang demokratis," ungkap hakim MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum Mahkamah.

"Dalam batas-batas tertentu, fakta tersebut dapat dimaknai sebagai gambaran aspirasi pemilih, organisasi masyarakat, politisi, dan partai politik yang secara gigih dan terus-menerus mempersoalkan dan menguji keabsahan konstitusionalitas ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) dalam penyelenggaraan pemilu presiden dan wakil presiden," sambung Saldi.

MK kemudian mempertimbangkan fakta terbaru yaitu Pemilu Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan serentak dengan pemilu anggota DPR tahun 2014.

"Bagaimana jika jumlah kursi atau suara sah secara nasional yang diraih dalam masa pemilu yang bersangkutan atau saat penyelenggaraan pemilu berlangsung lebih rendah dibandingkan hasil pemilu sebelumnya? Atau bagaimana jika terdapat fakta partai politik yang mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang menggunakan hasil pemilu anggota DPRD DPR periode sebelumnya ternyata tidak memperoleh kursi di DPR pada periode yang bersangkutan atau saat penyelenggaraan pemilu berlangsung," ujar Saldi Isra.

MK menilai presidential threshold yang tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang Pemilu melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945.

Alasan inilah yang menjadi dasar bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden.

"Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," kata Saldi.

Berjibaku Selama Setahun

Permohonan uji materi ini tercatat diterima di kepaniteraan MK pada 23 Februari 2024 atau 9 hari usai pemungutan suara Pemilu 2024.

Salah satu pemohon, Enika Maya Oktavia, mengungkapkan, dari Februari 2024 dirinya bersama rekannya sudah mulai beracara di MK. Hampir satu tahun mereka berjibaku dengan persidangan yang akhirnya membawa angin segar bagi demokrasi di Indonesia.

"Januari 2025 pada akhirnya sebagaimana harapan kita semua ada angin segar bagi demokrasi Indonesia. 32 putusan sebelumnya menyatakan tidak diterima dan ditolak kemudian di permohonan ke-33 ini, akhirnya Mahkamah Konstitusi dapat mengabulkan keinginan dari masyarakat Indonesia itu sendiri," ungkapnya saat konferensi pers di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jumat (3/1/2025).

Enika menegaskan, uji materi presidential threshold yang diajukannya bersama mahasiswa lain itu merupakan representasi dari mereka sendiri, bukan pendapat dari institusi kampusnya.

"Kami ingin tegaskan bahwa permohonan kami tidak mendapat intervensi dari organisasi, institusi, maupun partai politik manapun. UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menjadi identitas kami, ya karena kami ini mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Bukan kemudian serta merta bahwa permohonan yang kami ajukan itu merepresentasikan pendapat dari institusi kami," jelasnya.

Enika sadar Pasal 222 UU Pemilu merupakan pasal open middle porsi. Namun open middle porsi ini memiliki beberapa data saja yang dapat dilanggar, misalnya apabila melanggar rasionalitas.

"Dan kami nyatakan itu dalam pernyataan itu dan kami elaborasi dengan keadaan Pilpres 2024 hingga hasilnya seperti sekarang ini," tandasnya.

Dia mengakui banyak pihak yang menanyakan mengapa uji materi diajukan bukan sebelum pilpres.

"Sederhana saja jawabannya bahwa semakin dekat dengan pilpres maka tekanan-tekanan politik itu akan semakin luar biasa. Tapi di sini kami menekankan bahwa perjuangan kami adalah perjuangan akademik," katanya.

Enika menambahkan, mereka ingin kajian-kajian yang dilakukan oleh MK tidak mendapat intervensi dari pihak luar.

"Kami ingin kajian-kajian yang dilakukan Mahkamah Konstitusi tidak mendapat preseden atau pengaruh-pengaruh buruk secara politik, melainkan benar-benar kajian akademis, melainkan benar-benar kajian substansi hukum, dan hal ini terbukti," ujarnya.

Aktif di Pemerhati Konstitusi

Dekan Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Ali Sodiqin mengapresiasi keberhasilan empat mahasiswanya yang berhasil mengubah pendirian MK mengenai ambang batas pencalonan presiden.

"Apa yang dilakukan teman-teman ini merupakan wujud bahwa mahasiswa kami memiliki kompetensi yang mampu menemukan adanya gap antara teori yang mereka peroleh di perkuliahan dengan realitas apa yang mereka lihat di masyarakat," imbuhnya.

Ali mengatakan apa yang dilakukan mahasiswanya dengan menempuh jalan konstitusional ini, merupakan manifestasi dari perkuliahan pada mahasiswa terkait dengan sistem demokrasi yang berjalan.

"Mereka sangat ingin berkontribusi dalam pengembangan dan kemajuan demokrasi Indonesia. Maka ini perlu kita dukung dan Fakultas Syari'ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga memfasilitasi mereka dan memberikan ruang kreativitas bagi mahasiswa. Mereka ini tergabung dalam Komunitas Pemerhati Konstitusi," ungkap Ali.

Baca juga:

pemilu
calon presiden
partai buruh
MK
pilpres

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...