indeks
Keren, Argumentasi 4 Mahasiswa UIN Yogyakarta Ini Berhasil Yakinkan MK Hapus Presidential Threshold

Argumentasi empat mahasiswa UIN Yogyakarta itu meluluhkan Mahkamah Konstitusi, yang sebelumnya 33 kali menolak permohonan uji materi presidential threshold, yaitu pasal 222 UU Pemilu.

Penulis: Agus Luqman

Editor: Wahyu Setiawan

Google News
Keren, Argumentasi 4 Mahasiswa UIN Yogyakarta Ini Berhasil Yakinkan MK Hapus Presidential Threshold
Suasana sidang putusan uji materi UU Pemilu di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (2/1/2024). (Foto: ANTARA/Fauzan)

KBR, Jakarta - Empat mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta berhasil meyakinkan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menghapus ambang batas syarat pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold.

Argumentasi mereka meluluhkan Mahkamah Konstitusi, yang sebelumnya 33 kali menolak permohonan serupa.

Empat mahasiswa itu adalah Enika Maya Oktavia, Rizky Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna.

"Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Menyatakan norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," kata Ketua MK Suhartoyo, saat membacakan putusan di Gedung MK, Kamis (2/1/2025).

Ini menjadi kemenangan berharga empat mahasiswa anggota Komunitas Pemerhati Konstitusi, yang merupakan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Yogyakarta.

Pasal yang diuji adalah Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang berbunyi: "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya."

Mereka mengajukan permohonan uji materi, yang diterima kepaniteraan pada 23 Februari 2024 atau sesudah Pemilu Presiden 2024.

Salah seorang pemohon yaitu Enika Maya Oktavia bahkan mendapat perhatian khusus dalam lembar putusan MK, karena ikut berpartisipasi dalam lomba debat Bawaslu pada 2022 dan 2023.

Selain itu, Enika juga menjadi pemakalah dalam acara The 2nd Annual National Conference yang diselenggarakan Forum Mahasiswa Magister (Formaster) Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga pada 2023, dengan membawa makalah berjudul "Evaluasi Sistem Zipper dalam Upaya Peningkatan Keterwakilan Perempuan Minimal 30% di DPR dan DPRD".

Baca juga:

Argumentasi kerugian hak konstitusional

Argumentasi permohonan dari empat mahasiswa UIN Sunan Kalijaga disusun runtut, baik dari sisi kedudukan hukum (legal standing) hingga hak-hak konstitusional mereka yang dirugikan karena penerapan pasal 222 UU Pemilu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden.

Para pemohon merasa dirugikan secara konstitusional oleh Pasal 222, dengan mengacu Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya", karena kehilangan kesempatan mendapatkan calon-calon presiden yang mencerminkan keragaman. Partai-partai juga terhambat mengajukan calon sendiri.

Selain itu, secara konstitusi mereka juga dirugikan oleh aturan ambang batas pencalonan presiden berdasarkan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: "Setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya."

Pemohon juga mendalilkan hak konstitusional mereka dirugikan, padahal dijamin Pasal 28D ayat (1): "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum."

Pemohon juga mendalilkan kerugian konstitusionalnya dengan mengacu Pasal 28 I ayat (2): "Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu."

Pemohon juga menggunakan argumentasi putusan MK sebelumnya yaitu Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 di era Ketua MK Anwar Usman, yang menyebutkan: "Berdasarkan uraian yang dikemukakan Pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukumnya tersebut di atas, menurut Mahkamah, Pemohon telah menjelaskan perihal hak konstitusionalnya yang menurut anggapannya dirugikan dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian, yakni Pasal 169 huruf q UU 7/2017. Anggapan kerugian hak konstitusional Pemohon yang dimaksud, khususnya sebagai pemilih dalam Pemilu 2024, sehingga menurut Mahkamah setidak-tidaknya potensial dapat terjadi."

Putusan 90 itu adalah yang diajukan Almas Tsaqibbiru, soal batas usia bakal calon presiden dan wakil presiden, yang kemudian meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden pada Pemilu 2024.

Selama ini pasal 222 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang presidential threshold sudah dilakukan pengujian ke MK sebanyak 33 kali, dan hampir seluruhnya ditolak atau tidak dapat diterima.

Empat mahasiswa mengajukan argumen yang berbeda dari permohonan serupa sebelumnya.

Di antaranya, pemohon mendalilkan pemberlakuan presidential threshold pada Pasal 222 UU Pemilu telah melanggar batas open legal policy (moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable). Pemohon menggunakan kombinasi batu uji UUD 1945 pasal 6A ayat (2), pasal 22E ayat (1), pasal 27 ayat (1), pasal 28C ayat (2), pasal 28D ayat (1) dan pasal 28I ayat (2). Enam pasal itu digunakan kombinasi karena belum pernah digunakan dalam berbagai putusan MK sebelumnya.

Apalagi, sebelum berlakunya UU 7/2017, dalam putusan MK 51-52-59/PUU-VI/2008, Mahkamah pernah menyebutkan "Meskipun seandainya isi suatu undang-undang dinilai buruk, seperti halnya ketentuan presidential threshold dan pemisahan jadwal Pemilu dalam perkara a quo, Mahkamah tetap tidak dapat membatalkannya, sebab yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas dan ketidakadilan yang intolerable."

Pelanggaran batas moralitas bukan terkait moral sosial atau kesusilaan, melainkan "moralitas substansi berupa moralitas demokrasi dan moralitas normatif berupa kepastian hukum".

Menurut pemohon, moralitas demokrasi menghendaki terbukanya peluang partisipasi masyarakat secara inklusif melalui "pesta demokrasi" pemilihan umum.

Ketentuan ambang batas pencalonan, secara struktural telah menyebabkan eksklusifitas pencalonan dengan dalih sebagai "modal awal dukungan", "konsolidasi pemerintahan", dan "penguatan presidensialisme".

"Bahwa dengan keberadaan presidential threshold membuat rapuhnya moralitas demokrasi. Sebagai contoh Partai Buruh tidak dapat mencalonkan sendiri Presiden dan/atau Wakil Presiden yang berasal dari partainya dalam Pemilihan Umum. Dengan adanya presidential threshold menjadikan Partai Buruh juga tidak dapat mengusung Calon Presiden dan/atau Wakil Presiden dari partai politik yang menolak UU Cipta Kerja, karena hanya ada dua partai yang menolak undang-undang a quo, yaitu Partai Keadilan Sejahtera dan Partai Demokrat. Meskipun kedua partai tersebut berkoalisi, mereka masih tidak dapat mencalonkan Presiden dan/atau Wakil Presiden karena masih tidak dapat melewati ambang batas pencalonan. Bahwa dengan adanya presidential threshold pada akhirnya Partai Buruh turut mengusung Presiden dan/atau Wakil Presiden yang tidak sejalan dengan sikap Partai Buruh yang melakukan terhadap UU Cipta Kerja. Hal tersebut menjadi salah satu kerugian konstitusional yang nyata dan secara langsung membuat rusaknya moralitas demokrasi," demikian argumen pemohon.

Pemohon juga mendalilkan Indonesia sebagai satu-satunya negara di Asia yang menerapkan ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen. Ambang batas 20 persen, menurut pemohon, terlalu tinggi sehingga tidak memberikan ruang yang cukup bagi partai baru untuk berkompetisi.

Dengan struktur politik di Indonesia, partai baru sulit mendapatkan dukungan yang cukup untuk mencapai ambang batas tersebut. Akibatnya, pemilihan presiden hanya berkutat pada kandidat yang sama dari partai besar, menghalangi munculnya kandidat alternatif yang dapat menawarkan perubahan dan inovasi bagi negara.

Pemohon juga menyebut, banyak negara dengan sistem presidensial tidak menerapkan ambang batas pencalonan presiden, seperti Amerika Serikat, Brasil, Peru, Meksiko dan Kolombia, dan itu tidak menyebabkan gangguan stabilitas politik saat pemilu.

Pemohon berargumen, penghapusan ketentuan ambang batas 20 persen justru akan mendorong partai politik mengajukan calon-calon terbaik. Karena kalau tidak, calon itu akan dikalahkan oleh calon alternatif yang lebih genuine dan memiliki kapasitas.

"Kontestasi yang lebih terbuka dan transparan akan memaksa partai politik untuk memunculkan calon terbaik, sehingga meningkatkan kualitas kepemimpinan nasional," begitu argumen pemohon.

Pertimbangan MK

Argumentasi para pemohon itupun mendapat apresiasi dari Mahkamah. Dalam diktum Pertimbangan Hakim, Mahkamah menyebut pemohon "telah dapat menjelaskan adanya hak konstitusional yang dimiliki dan dianggap dirugikan dengan berlakunya norma pasal 222 UU 7/2017".

Mahkamah juga menilai, pemohon telah dapat menunjukkan adanya hubungan kausalitas antara anggapan kerugian konstitusional para pemohon dengan berlakunya norma pasal 222 UU 7/2017.

"Terlebih lagi, secara faktual dalam beberapa pemilihan presiden dan wakil presiden terakhir terdapat dominasi beberapa partai politik dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang hal tersebut membatasi pilihan pemilih sehingga membatasi hak konstitusional pemilih. Hal tersebut yang mendasari Mahkamah untuk mempertimbangkan pendiriannya kembali dalam menilai kedudukan hukum para Pemohon dalam permohonan a quo jika dibandingkan dengan permohonan-permohonan sebelumnya," bunyi putusan Mahkamah.

Selama ini, putusan MK banyak menolak permohonan pemohon karena tidak ada kerugian hak konstitusional sehingga tidak memiliki kedudukan hukum, karena permohonan prematur, atau karena ada putusan MK sebelumnya yang bersifat mutatis mutandis (penyesuaian seperlunya).

Dalam pertimbangan Mahkamah, setelah mempelajari arah pergerakan politik mutakhir Indonesia, terbaca kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden, hanya ada dua pasangan calon.

Padahal, pengalaman sejak digelarnya pemilu presiden secara langsung, dengan hanya ada dua pasangan calon, masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang bisa mengancam kebhinnekaan Indonesia. Bahkan jika dibiarkan, tidak tertutup kemungkinakn pemilu presiden di Indonesia akan terjebak pada calon tunggal.

"Terlebih, terdapat pula fakta lain yang tidak kalah pentingnya, dalam beberapa pemilu presiden dan wakil presiden terdapat dominasi partai politik peserta pemilu tertentu dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berdampak pada terbatasnya hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai pasangan calon presiden dan wakil presiden. Karena itu, setelah mencermati secara saksama dinamika dan kebutuhan penyelenggaraan negara, saat ini merupakan waktu yang tepat bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian sebelumnya," kata Hakim Konstitusi Saldi Isra saat membacakan pertimbangan Mahkamah.

Alhasil, dalam konklusi, Mahkamah menyatakan pemohon memiliki kedudukan hukum dan pokok-pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Mahkamah Konstitusi pun memutuskan mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya.

Politik
presidential threshold
ambang batas presiden
MK

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...