NASIONAL

Obsesi Mengejar Kesempurnaan

Tak Ada Habisnya Mengejar Kesempurnaan

AUTHOR / Maria Katarina

Diskusi Psikologi (Disko)

KBR, Jakarta - Nol toleransi terhadap kesalahan diri sendiri dan ingin segala sesuatunya tercapai dengan sempurna? Hati-hati itu bisa jadi perfeksionis atau terobsesi dengan kesempurnaan. Padahal, wajar jika manusia terkadang berbuat kesalahan dalam melakukan sesuatu. 

Nah bahayanya, obsesi menjadi sempurna bisa mengancam kesehatan mental. Apalagi kalau orang itu terlalu menuntut kesempurnaan pada dirinya.

Melansir laman Hello Sehat milik Kementerian Kesehatan, perfeksionis adalah sebutan bagi orang-orang yang menginginkan kesempurnaan. Gak cuma di pekerjaan, kepada dirinya atau pun orang lain, dia juga mengharapkan kesempurnaan. Mereka yang perfeksionis seringkali merasa takut dikritik, hingga membuat mereka cemas karena gagal mencapai standar yang ditetapkannya.

Apa Pengaruh Perfeksionis ke Kesehatan Mental?

Dosen Psikologi Universitas Pembangunan Jaya, Supriyanto mengatakan, orang yang perfeksionis memiliki batasan-batasan tertentu. Salah satu indikatornya adalah mereka yang perfeksionis ingin mencapai target yang tidak realistis.

“Dia selalu menuntut kesempurnaan. Dia tidak menerima kegagalan. Dia selalu menuntut dirinya sempurna di segala bidang dan semua situasi. Dia juga tidak menghargai kegagalan. Jadi salah satu indikator dari orang perfeksionis tuh itu. Dia mensetting goals yang ga realistis terhadap dirinya atau terhadap orang lain,” lanjutnya.

Baca juga:

Banyak Teman Enggak Tentu Bahagia, Loh!

Sindrom Thanos Bikin Merasa Paling Jago

Cek Fakta: PBB Dinarasikan Ganti Semua Bendera Anggota Jadi Bendera LGBT?

Tidak hanya mementingkan diri sendiri, orang yang perfeksionis memiliki kecenderungan menuntut lingkungannya untuk sempurna, demi kesenangannya sendiri. Supriyanto juga mengatakan lingkungan yang terkesan baik dan di atas rata-rata menjadi salah satu penyebab timbulnya karakter perfeksionis seseorang.

“Mungkin dia juga beranggapan lingkungan sekitarnya, orang lain perusahaan institusi sekolah apapun itu menuntut dirinya untuk tampil baik. Memang sudah mengarah ke toxic gitu,” ucapnya.

Perfeksionis yang berlebihan memungkinkan berdampak kepada mental, namun, kata Supriyanto, umumnya perfeksionis bukanlah bagian dari gangguan mental seseorang.

“Jadi mungkin jangan men-judge seseorang memiliki gangguan mental. Karena itu bukan gangguan psikologis. Tapi itu mungkin akan berdampak pada mental kita kalau memang perfeksionisnya itu terlalu berlebihan atau bahkan sampai toxic. Itu bisa sampai mengganggu kesehatan mental,” tuturnya.

Nah, mau tahu lebih lanjut soal obsesi menjadi seorang yang sempurna dan hubungannya dengan kesehatan mental? Yuk dengarkan di podcast Diskusi Psikologi (Disko) di link berikut ini:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!