NASIONAL

Menteri Investasi: Kerusuhan di Rempang karena Kesalahpahaman

Pemicunya yaitu informasi terkait adanya relokasi atau penggusuran terhadap masyarakat setempat.

AUTHOR / Shafira Aurel

Rempang
Polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan unjuk rasa warga Pulau Rempang. (Foto: ANTARA/Teguh Prihatna)

KBR, Jakarta - Pemerintah menyebut kerusuhan yang terjadi di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, karena kesalapahaman. Pemicunya yaitu informasi terkait adanya relokasi atau penggusuran terhadap masyarakat setempat.

Klaim itu disampaikan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia saat rapat kerja dengan DPR di Jakarta, hari ini.

"Jadi miss-nya itu adalah saudara-saudara kita dari kementerian teknis itu pingin melakukan pematokan, pengukuran, mana areal yang kita mau turunkan status itu. Ketika terjadi proses tim mau masuk untuk pematokan informasi yang beredar sudah seolah-olah ini mau direlokasi. Saudara -saudara saya tidak salah juga, karena mungkin merisaukan mereka, kemudian mereka memalang jalan,” ucap Bahlil dalam Rapat Kerja informasi bersama Komisi VI DPR, Senin (2/10/2023).

Baca juga:

Menteri Investasi Bahlil Lahadalia memastikan kawasan Rempang yang dikembangkan BP Batam dan PT Makmur Elok Graha (MEG) tidak mencakup seluruh luas wilayah Rempang yang mencapai 17.600 hektare.

Kata Bahlil, hanya ada 8.142 hektare yang dapat dikembangkan. Ia merinci dari total wilayah yang dikembangkan untuk investasi itu, sebanyak 570 hektare merupakan Areal Penggunaan Lain (APL) dan 7.572 hektare berstatus Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK). Hal ini tertuang dalam nota kesepahaman atau MoU antara BP Batam, Pemerintah Kota Batam, dan PT MEG pada 2004.


BP Batam dan Pemerintah Kota Batam tidak dapat menyerahkan wilayah Rempang untuk dikelola MEG karena status lahan masih berupa kawasan hutan.

Adapun proses pelepasan kawasan hutan dan penerbitan sertipikat HPL memerlukan status lahan clean and clear. Artinya bebas dari penguasaan masyarakat dan atau bangunan milik pemerintah atau TNI/Polri.

"Areal ini HPK ini, proses untuk menurunkan statusnya dari Kehutanan sudah berproses, sudah hampir selesai. Nanti diserahkan kepada ATR. Baru kemudian ATR mengeluarkan sertifikat dan lain-lain," sambungnya.

Menurut Bahlil, pada tahap awal pembangunan kawasan pabrik, pemerintah akan membangun seluas 2.300 hektare.

Baca juga:

Sebelumnya, sejumlah organisasi yang tergabung dalam Solidaritas Nasional untuk Rempang menyimpulkan ada pelanggaran HAM dalam peristiwa kekerasan saat pematokan lahan, pada Kamis, (7/9/2023). Diantaranya pemindahan penduduk secara paksa dan pengerahan aparat keamanan yang berlebihan.

Perwakilan koalisi dari Yayasan Lembanga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Edy Kurniawan mengatakan, pengusiran ini disertai dengan pengurangan pelayanan publik dengan pendudukan TNI/Polri di kantor kecamatan di Rempang.

Pada kesempatan yang sama, Perwakilan koalisi dari Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Rozy Brilian menyebut 20 warga menjadi korban dugaan tindakan represif aparat keamanan. Korban dari kelompok perempuan, anak dan lansia mengalami trauma akibat masalah ini.

“Dalam 11 (korban) itu 10 merupakan murid 1 merupakan guru. Saya rasa itu juga sudah tersebar di media juga ya. Dan kemudian misalnya ada salah satu orang Pak Ridwan, yang kemudian videonya disebarkan di berbagai media sosial berlumuran darah pada saat itu yang diduga mengalaminya ditembak peluru karet, dan akhirnya mendapatkan 12 jahitan. Terakhir pun ketika kami turun ke Rempang, kami mendapatkan informasi bahwa dia dilarikan kembali ke rumah sakit gitu ya,” ucap Rozy dalam konferensi pers berani, Minggu, (17/9/2023).

Editor: Muthia Kusuma Wardani

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!