NASIONAL
Berebut Air Bersih di IKN
"Ternyata embung itu digunakan juga untuk pembangunan IKN, sehingga masyarakat berebut dengan pihak kontraktor-kontraktor yang melaksanakan pembangunan IKN."
AUTHOR / Heru Haetami
-
EDITOR / Heru Haetami
KBR, Jakarta - Masalah ketersediaan air sempat menjadi salah satu alasan Presiden Joko Widodo menunda pindah kantor ke Ibu Kota Nusantara di awal Juli lalu. Bendungan Sepaku-Semoi yang disiapkan menjadi penyuplai air utama ke IKN belum bisa difungsikan.
“Sangat optimis untuk pembangunan kantornya, ini masih nunggu air. Airnya Juli, Juli. Kemarin sudah kita resmikan bendungan sepaku, tinggal nunggu pompa untuk mengalirkan ke bangunan di IKN,” ujar Jokowi di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, Minggu (28/7).
Belakangan, setelah mendapat sorotan luas, Jokowi memutuskan berkantor perdana di IKN selama dua hari di akhir Juli. Ia mengklaim air kini melimpah, begitu juga listrik dan internet bagus.
Pemerintah menargetkan membangun puluhan embung yang berfungsi untuk konservasi air dan mempercantik IKN di Kalimantan Timur.
Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat sekaligus Pelaksana tugas Kepala Otorita IKN, Basuki Hadimuljono mengatakan saat ini sudah dibangun lebih dari 30 embung di IKN yang akan memiliki fungsi utama untuk konservasi air.
"Embung atau riparian Ini fungsinya adalah untuk konservasi air dan kita punya lebih dari 30 Embung seperti ini dan mudahan nanti bisa mempengaruhi microlimate di kawasan IKN ini karena akan kita terus mengupayakan dapat membangun riparian-reparian yang seperti ini mungkin mencapai 60 unit," ujar Basuki saat meninjau Embung MBH di Ibu Kota Nusantara, Selasa, (30/7/2024).
Baca juga:
- Bendungan Sepaku Semoi Jadi Sumber Air Baku di IKN
- Puluhan Embung Dibangun untuk Konservasi Air di IKN
Rebutan air
LSM lingkungan Greenpeace Indonesia menilai sulitnya memenuhi kebutuhan dasar seperti air bersih, lantaran pemerintah tidak melakukan kajian awal yang tepat saat memilih Kalimantan Timur sebagai lokasi IKN.
Menurut Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Arie Rompas, seharusnya itu menjadi prioritas utama pemerintah dalam menentukan lokasi pembangunan ibu kota.
"Karena yang dibangun kan bukan cuma infrastruktur tetapi juga berkaitan dengan manusia yang akan hidup di situ. Ketika ada manusia yang akan hidup di situ, prasyarat utama adalah kebutuhan air. Nah dengan sesuatu yang saat ini terjadi di IKN, terjadi di mana airnya katanya ada, katanya enggak, yaitu berarti tidak ada kajian yang menyeluruh. Itu yang mengakibatkan sebenarnya persoalan yang terjadi saat ini," kata Arie kepada KBR, Senin, (29/7/2024).
Arie Rompas juga menyoroti keberadaan embung air justru membuat warga lokal berebut air dengan pemenuhan kebutuhan untuk pekerjaan IKN.
Arie mengungkap, investigasi Greenpeace menemukan kondisi sumber air milik warga kini kering. Kondisi tersebut menunjukan pemerintah mengabaikan konsep keadilan demi ambisi membangun wilayah perkotaan.
Ia khawatir, terjadi privatisasi air sehingga warga lokal semakin sulit mendapatkan akses air bersih.
"Artinya kalau mau memastikan ketersediaan air, itu mengembalikan fungsi hutan hujan, hutan alam yang sebagaimana itu sebagai tempat menampung air. Jadi itu yang harus dipastikan karena kedepannya lagi-lagi kalo bisa dijawab secara teknologi, sumber airnya dari mana? Kalau butuh teknologi yang besar, korporasi lagi yang akan mengelola itu. Sementara masyarakat yang sudah tinggal dan hidup lama di sana terampas hak-haknya atas air, atas nama pembangunan IKN yang untuk lebih kepada kepentingan pencitraan Jokowi," ucapnya.
Sorotan juga disampaikan pemerhati sosial wilayah Kalimantan Timur Sri Ummu Shofiya. Sri Ummu Shofiya mengatakan pembangunan IKN di wilayah Kabupaten Penajam Paser Utara, Provinsi Kalimantan Timur, membuat warga sekitar kini kesulitan mengakses air bersih.
Ia menjelaskan, saat ini warga di wilayah Pemaluan, salah satu daerah di Penajam Paser Utara, harus membeli air bersih dengan harga fantastis, karena sumber air bersih mereka rusak.
"Tapi ternyata semenjak dibangun IKN, sungai yang menjadi kebutuhan dasar mereka untuk memenuhi kebutuhannya itu telah rusak. Sehingga pada saat ini mereka itu sangat kesulitan air, sehingga yang biasanya bisa mengambil air untuk kebutuhan mereka itu mereka terpaksa membelinya dengan harga yang cukup mahal," kata Sri dalam diskusi di Mustanir Media, yang dikutip Senin (29/7/2024).
Sri Ummu Shofiya menjelaskan, warga harus membeli air bersih dengan harga 65 ribu hingga 75 ribu rupiah per satu tandon air, untuk kebutuhan selama 4 hingga 5 hari. Selain harganya mahal, air juga sulit didapat.
"Sudahnya air itu mahal, mereka juga kesulitan untuk mendapatkannya, karena itu diambil dari embung yang ada di daerah dekat situ. Dan ternyata embung itu dipergunakan juga untuk pembangunan IKN, sehingga masyarakat berebut dengan pihak kontraktor-kontraktor yang melaksanakan pembangunan IKN," imbuhnya.
Pemerhati sosial wilayah Kalimantan Timur Sri Ummu Shofiya menambahkan, proyek IKN juga semakin menurunkan kualitas hutan dan sungai di wilayah sekitarnya.
Ia yakin masyarakat setempat tidak merasakan manfaat keberadaan IKN di sana. Menurut Sri, pembangunan IKN tidak meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat, tapi memunculkan kesulitan baru.
Baca juga:
- Obral HGU di IKN Lebih Buruk dari Masa Penjajahan Belanda
- PDAM Akan Naikkan Harga Air Bersih di Calon Ibu Kota Baru
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!