NASIONAL

7-11 Oktober 2024, Hakim se-Indonesia 'Mogok' Kerja

Tanpa perlu dituntut oleh para hakim, mestinya negara sudah menjamin kesejahteraannya.

AUTHOR / Ardhi Ridwansyah

EDITOR / R. Fadli

Hakim
Ilustrasi. Hakim di PN Denpasar sidangkan rerdakwa Stephen Michael Jamnitzi (39) pada (4/7/2023). (Foto: ANTARA/Rolandus Nampu)

KBR, Jakarta - Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) buka suara terkait seruan gerakan “mogok” kerja yang bakal digelar ribuan hakim se-Indonesia pada 7–11 Oktober 2024. Sekretaris bidang Advokasi Hakim PP IKAHI, Djuyamto mengatakan, sebagaimana respons pimpinan IKAHI, seruan tersebut wajib didengar dan ditanggapi dengan bijaksana oleh pihak-pihak terkait.

“Tentu selanjutnya aspirasi tersebut ditindaklanjuti melalui mekanisme organisasi dan sebetulnya pimpinan IKAHI maupun MA sudah berupaya memperjuangkan aspirasi hakim soal jaminan kesejahteraan ini, namun belum memperoleh hasil konkret,” ucapnya melalui keterangan yang diterima KBR Media, Jumat (27/9/2024).

Kata dia, tanpa perlu dituntut oleh para hakim, mestinya negara sudah menjamin kesejahteraannya agar saat melaksanakan tugas tidak mudah diintervensi pihak lain dengan iming-iming tertentu.

“Sesuai dengan ketentuan pasal 48 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Negara tanpa perlu harus dituntut oleh para hakim, wajib memberikan jaminan kesejahteraan pada hakim, guna menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman,” jelasnya.

Sebelumnya, ribuan hakim di pengadilan seluruh Indonesia disebut bakal “mogok” dengan melakukan cuti bersama pada 7-11 Oktober 2024 atau selama lima hari.

Gerakan yang bernama Cuti Bersama Hakim se-Indonesia ini sebagai bentuk protes hakim atas sikap pemerintah yang belum memprioritaskan kesejahteraan hakim.

“Gerakan Cuti Bersama Hakim se-Indonesia ini akan dilaksanakan secara serentak oleh ribuan hakim mulai tanggal 7 hingga 11 Oktober 2024,” kata Juru Bicara Gerakan Solidaritas Hakim Indonesia, Fauzan Arrasyid dalam keterangannya, Kamis (26/9/2024).

Fauzan menambahkan regulasi mengenai gaji dan tunjangan jabatan hakim yang saat ini berlaku mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2012.

Hingga kini, lanjut dia, PP tersebut belum disesuaikan. Padahal, Indonesia terus mengalami inflasi setiap tahun.

“Hal ini membuat gaji dan tunjangan yang ditetapkan 12 tahun lalu menjadi sangat berbeda nilainya dibandingkan dengan kondisi saat ini,” jelasnya.

Baca juga:

Kriminalisasi Aktivis HAM Lingkungan Karimunjawa, Aparat Tak Paham Anti-SLAPP

MA Tolak Kasasi Jaksa, Putusan Bebas Fatia-Haris Inkrah

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!