Putusan kasasi MA diharapkan jadi yurisprudensi bagi hakim di setiap tingkat pengadilan ketika mengadili kasus kriminalisasi terhadap aktivis, pembela HAM maupun lingkungan.
Penulis: Agus Luqman
Editor: Rony Sitanggang

KBR, Jakarta - Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi yang diajukan Jaksa Penuntut Umum atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur terkait kasus Fatia Maulidiyanti-Haris Azhar.
Dengan penolakan itu, Mahkamah Agung menguatkan putusan tingkat pertama di PN Jakarta Timur yang memvonis bebas Haris-Fatia dalam kasus pencemaran nama baik Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Putusan MA itu dikeluarkan pada 11 September 2024 lalu dan dimuat di situs kepaniteraan Mahkamah Agung, sebagaimana informasi yang diterima KBR dari Tim Advokasi untuk Demokrasi selaku kuasa hukum Fatia-Haris, Rabu (25/9/2024).
Tiga hakim MA yang menguatkan putusan bebas Fatia-Haris adalah Dwiarso Budi Santiarto (Ketua), serta Ainal Mardhiah dan Sutarjo (Anggota Majelis).
Fatia dan Haris dihadapkan ke persidangan usai dilaporkan ke Polda Metro Jaya oleh Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan. Laporan itu terkait paparan penelitian tentang bisnis militer di Blok Wabu, Intan Jaya, yang dilakukan 9 lembaga yakni YLBHI, Walhi, Pusaka Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, Kontras, Jatam, Greenpeace, Trend Asia, dan #BersihkanIndonesia. Penelitian itu disampaikan Fatia-Haris melalui podcast NgeHAMtam di kanal Youtube Haris Azhar berjudul "Ekonomi-Politik Penempatan Militer, Studi Kasus Intan Jaya di Papua.”
Sidang pertama pembacaan dakwaan di PN Jakarta Timur digelar pada 3 April 2023. Sidang berlangsung hampir sembilan bulan. Pada 8 Januari 2024, hakim PN Jakarta Timur memutuskan Fatia-Haris dibebaskan dari segala tuntutan maupun dakwaan karena tidak terbukti melanggar tindak pidana sebagaimana dituduhkan oleh JPU melalui Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) UU ITE atau Pasal 14 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1946 subsidair Pasal 15 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1946 atau Pasal 310 ayat (1) KUHP.
Baca juga:
Jaga marwah MA
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) selaku kuasa hukum Fatia-Haris mengapresiasi putusan Mahkamah Agung tersebut. Tim menilai MA telah turut menjaga marwah kebebasan sipil yang menjamin sekaligus menekankan bahwa warga sipil memiliki hak untuk memberikan kritik terhadap pejabat publik tanpa harus khawatir dipidana.
"Putusan ini juga menandakan pentingnya perlindungan hukum bagi pejuang lingkungan sebagaimana dikenal dengan konsep Anti-Strategic Lawsuit Against Public Participation (SLAPP). Tak hanya itu, putusan ini juga sekaligus telah menyalakan harapan bagi orang-orang yang terus memperjuangkan isu kemanusiaan dan lingkungan khususnya di Papua," demikian sikap TAUD, dalam rilis yang diterima KBR, Rabu (25/9/2024).
Tim Advokasi menambahkan, dalam putusan tingkat pertama di PN Jakarta Timur, Majelis Hakim mengakui beberapa hal yang diungkap dan telah telah menjadi fakta persidangan seperti adanya konflik kepentingan oleh Luhut Binsar Pandjaitan terkait praktik pertambangan di Papua.
Fakta tersebut dilihat dari adanya penjajakan bisnis anak perusahaan LBP yakni PT Tobacom Del Mandiri bersama dengan PT Madinah Qurrota Ain dan West Wits Mining. Dalam persidangan juga terbukti Luhut berperan sebagai beneficiary owners (BO), sebab setiap tahunnya mendapatkan laporan keuangan perusahaan, sehingga menurut Tim Advokasi, mustahil Luhut tidak mengetahui atau menyetujui adanya penjajakan bisnis di Papua.
Tim Advokasi untuk Demokrasi juga menyoroti dugaan pelanggaran hukum terkait aktivitas tambang di Papua yang dilakukan oleh Luhut Binsar Pandjaitan dan jaringannya.
"Menjadi hal yang sangat penting agar Negara melalui aparat penegak hukumnya segera melakukan serangkaian penyelidikan dan penyidikan terkait dugaan pelanggaran hukum tersebut. Lebih jauh, putusan ini sudah sepatutnya menjadi acuan bagi APH (aparat penegak hukum) untuk memulai investigasi conflict of interest Luhut Binsar Pandjaitan. Selain itu, pemerintah juga harus secara serius menindaklanjuti temuan dan rekomendasi berdasarkan kajian cepat yang berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer, Studi Kasus Intan Jaya di Papua," papar Tim Advokasi.
Tim Advokasi juga mendorong agar putusan kasasi Mahkamah Agung itu dijadikan yurisprudensi bagi Majelis Hakim di setiap tingkat pengadilan ketika mengadili kasus-kasus kriminalisasi terhadap para aktivis, pembela HAM maupun lingkungan hidup.
Sebelumnya, kasus kriminalisasi terhadap aktivis juga menimpa Daniel Fritz Tangkilisan yang berjuang melestarikan Karimunjawa dari pencemaran. Selain itu, Muhriyono seorang petani Pakel dikriminalisasi yang dianggap merebut lahan sendiri yang dirampas pihak swasta. Ada juga Sorbatua Siallagan, seorang ketua masyarakat adat yang melawan perampasan tanah adat di Simalungun yang hingga kini masih terus memperjuangkan keadilan.
"Atas kasus-kasus tersebut sudah sepatutnya para Majelis Hakim yang mengadili kasus kriminalisasi aktivis/pembela HAM maupun lingkungan hidup berani memutus bebas sebagaimana dalam perkara Fatia dan Haris," tuntut Tim Advokasi untuk Demokrasi.
Baca juga: