Rentetan bencana ekologis yang terjadi belakangan ini diyakini merupakan akibat kegagalan manusia memahami relasi sebab-akibat dengan alam.
Penulis: Astri Yuanasari
Editor: Wahyu Setiawan

KBR, Jakarta - Sebelum ada penanggalan kalender, penduduk bumi mengandalkan rasi bintang sebagai penanda bergantinya musim. Misalnya, heliacal rising yang dijadikan patokan masuknya tahun baru saat masa peradaban kuno.
Heliacal rising merupakan fenomena ketika rasi bintang kembali muncul di ufuk timur sebelum matahari terbit. Bagi peradaban kuno seperti di Mesir, munculnya heliacal rising dari bintang Sirius kerap menjadi acuan musim banjir di Sungai Nil. Kemunculan Sirius menjadi penanda dimulainya musim tanam, sebab banjir tersebut membawa lumpur subur untuk pertanian.
Penggunaan pergerakan tampak bintang di langit sebagai acuan menjadi relevan menurut pemahaman astronomi modern, karena terkait langsung dengan orbit bumi mengelilingi matahari.
Menurut Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) Premana Wardayanti Premadi, astronomi sejak awal sangat dekat dengan kehidupan manusia. Musim dan cuaca di bumi, masih bisa terprediksi melalui pergerakan rasi bintang di langit.
"Bintang-bintang, rasi-rasi bintang, dan pada awal sekali dia hadir untuk perannya sebagai pengarah waktu dan memberi orientasi spasial. Orang sudah mengorelasikan keajekan hadirnya rasi-rasi bintang di langit dengan musim di bumi. Bintang ini muncul, rasi bintang ini setinggi itu pada suatu malam, coba saja sebentar lagi musim hujan akan mulai," kata Premana dalam acara "Refleksi Akhir Tahun 2025: Hutan Kita, Ibu Kita" di Jakarta, Senin (22/12/2025).
Premana mengatakan keteraturan langit juga digunakan oleh petani sebagai salah satu penunjuk waktu. Untuk masyarakat kepulauan, langit juga menjadi penunjuk arah.
"Untuk kita yang ada di dunia yang kepulauan ini, lebih banyak orang bergerak, bermigrasi lewat laut. Nah buat itu apa yang jadi patokan? Apalagi kalau tidak bintang. Jadi kalau di timur sana mereka mau ke pulau mana yang dilihat, kalau dari Pulau Timor ke Pulau Sabu, lihatnya bintang itu. Lihat ke pulau yang lain, lihatnya bintang yang lain. Jadi langit itu sesuatu yang sudah menjadi mendarah daging karena memang sangat diperlukan," kata perempuan yang kerap disapa Nana itu.

Keterikatan mendalam antara manusia dan langit inilah yang terus dikaji dalam ilmu pengetahuan, termasuk melalui perkembangan astronomi modern. Menurut Nana, perkembangan astronomi modern membuat manusia semakin sadar betapa istimewanya bumi. Kesadaran itu juga diperkuat oleh ilmu geologi yang menunjukkan bumi terbentuk melalui proses yang sangat panjang.
Baca juga: Giliran Muhammadiyah Serukan Bencana Nasional Sumatra
"Tetapi dari pelajaran fosil-fosil dan lain sebagainya, kita mendapatkan petunjuk bahwa bumi memang enggak dari awal seperti ini. Bahwa dia menjadi terisi, bisa mendukung kehidupan, itu tuh baru-baru saja. Nah yang menarik lagi adalah tadi, bagaimana manusia ketika hidupnya itu semakin kompleks, banyak sekali keperluan yang dia harus penuhi dari alam. Dia menyadari bahwa alam itu sangat-sangat resourceful, sumber hidup yang luar biasa," imbuhnya.
Teknologi Tak Bisa Melawan Alam
Astronom dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) itu mengingatkan, tampilan bumi selalu berubah sepanjang tahun. Perubahan itu akan berbeda berdasarkan garis lintang dan bujur.
"Kita yang ada di khatulistiwa itu enggak terlalu berubah ya per tahun. Tapi rekan-rekan kita yang ada di sangat utara atau sangat selatan merasakan perubahan musim. Ada saat-saat di mana bumi itu tertutup oleh es, oleh salju, orang enggak bisa cari makanan gitu kan. Jadi mereka rawat betul apa yang bisa menjadi sumber daya supaya kehidupan bisa tetap berlangsung. Nah dari situ lah kalau kita lihat bagaimana masyarakat tradisional mengupayakan sekali perawatan itu," kata Nana.
Menurut dia, masyarakat tradisional sadar bumi perlu dijaga untuk keberlangsungan hidup. Namun, manusia modern sering kali merasa teknologi mampu mengatasi semua tantangan, sehingga abai terhadap upaya perawatan lingkungan.
"Jadi tempat-tempat yang dari dulu orang pikir tidak sebaiknya manusia hidup di situ karena lahannya terlalu miring atau lahannya tidak cukup ajek atau tidak ada cukup air atau terlalu banyak air dan sebagainya, manusia hindari untuk tinggal di situ. Tetapi manusianya semakin banyak, teknologi semakin canggih, jadi orang pikir teknologi bisa handle semua challenges tersebut. Tetapi yang orang lupa adalah bahwa bumi tetap perlu waktu untuk pemulihan," kata dia.
Baca juga: Ancaman Ekosida di Pulau Sipora Mentawai

Fakta lapangan menunjukkan betapa gentingnya aspek perawatan dan pemulihan terhadap lingkungan, utamanya di Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat tren peningkatan kejadian bencana dalam 10 tahun terakhir, yakni dari 2015 hingga 2025. Jumlah peristiwa banjir meningkat dari 621 kejadian pada 2020 menjadi 1.287 peristiwa pada 2025. Termasuk banjir dan longsor di sebagian wilayah Sumatra yang menewaskan lebih dari seribu orang, akhir November lalu.
Rentetan bencana ekologis yang terjadi belakangan ini, diyakini oleh Nana, merupakan akibat kegagalan manusia memahami relasi sebab-akibat dengan alam. "Jadi bencana-bencana yang belakangan ini semakin sering kita dengar, kita alami, adalah salah satu dari bentuk kelalaian kita dalam menjaga relasi sebab-akibat tersebut," kata Nana.
Karena itu, ia mengajak masyarakat untuk membangun cara berpikir rasional dan kesadaran kolektif. Sebab tanggung jawab menjaga bumi tidak bisa dialihkan ke makhluk lain.
"Manusia itu ya mau enggak mau untuk sementara kita belum terlalu banyak mengeksplorasi semesta, makhluk hidup yang paling cerdas, yang paling berkemampuan untuk segala sesuatu termasuk mengubah. Oleh karenanya kita punya tanggung jawab yang paling besar juga,” ujarnya.
Baca juga: UMP Jakarta 2026 Ditetapkan, Sudahkah Memenuhi Kebutuhan Hidup Layak?

Nana menekankan regulasi dan pemerintahan yang baik tidak akan cukup tanpa masyarakat yang sadar. Ia mengajak seluruh elemen masyarakat membangun kesadaran berpikir rasional yang melampaui kepentingan sesaat.
"Kalau kita ingin, bukan hanya kita tidak lagi mengalami bencana-bencana yang luar biasa ini, tetapi lebih dari itu kita mentas, adalah ya warga negaranya yang mesti bangun, warga negaranya yang mesti sadar bahwa kita perlu punya kemampuan rational thinking yang kuat. Dan itu mesti beyond politics, bukan kepentingan-kepentingan yang sesaat. Karena sekali lagi sejatinya penjaga Ibu Pertiwi, penjaga negara, dan bangsa adalah warganya," pungkasnya.
Konstitusi Mengakui Lingkungan, Namun Diabaikan Negara
Seruan untuk membangun kesadaran kolektif warga negara menjadi krusial, sebab pada tataran kebijakan dan hukum, upaya perlindungan lingkungan sering kali menghadapi hambatan struktural. Sebagian pakar menilai kegagalan masyarakat menjaga relasi sebab-akibat dengan alam juga tercermin dari lemahnya aturan atau kebijakan.
Pendiri sekaligus Chief Executive Officer Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa menilai masalah lingkungan di Indonesia berakar dari lemahnya konstitusi dan kebijakan yang dibuat oleh negara.

Konstitusi di Indonesia sebetulnya memuat perlindungan terhadap lingkungan hidup. Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945 menjamin hak setiap warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Namun, pasal tersebut dinilai belum cukup kuat karena tidak secara tegas mengatur kewajiban negara.
"Pasal itu di seluruh dunia yang memiliki konstitusi hijau itu memang mengaturnya. Yang kurang, yang kurang dalam Undang-Undang Dasar 1945 ada hak, tetapi tidak ada kewajiban negara atau state duties," kata Achmad dalam acara "Refleksi Akhir Tahun 2025: Hutan Kita, Ibu Kita" di Jakarta, Senin (22/12/2025).
Ia membandingkan dengan negara lain yang telah secara jelas menempatkan kewajiban negara dalam menjaga lingkungan sebagai mandat konstitusional. Salah satu negara tersebut yakni Ekuador. Mengutip laman hutanhujan.org, Ekuador adalah negara pertama yang mengakui hak sepenuhnya alam dalam konstitusi 2008. Sementara itu, negara lain dengan kerangka hukum lingkungan yang kuat antara lain Finlandia, Swedia, hingga Swiss.
"Di negara lain state duties itu hampir semua (mengatur negara). Jadi itu kelemahannya," imbuhnya.

Pasal penting kedua adalah Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang mengatur penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam. Menurut Achmad Santosa, pasal ini kemudian diperjelas melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan kewenangan negara atau sumber daya alam bukan kekuasaan tanpa batas. Kata dia, negara wajib memastikan pemanfaatan sumber daya alam memenuhi empat ukuran utama.
"Yang pertama adalah manfaat bagi rakyat. Yang kedua adalah pemerataan manfaat. Yang ketiga partisipasi rakyat dalam menentukan pemanfaatan. Dan yang keempat adalah penghormatan terhadap hak-hak rakyat termasuk hak yang turun-temurun, salah satunya adalah hak masyarakat adat," kata Achmad.
Baca juga: Negara Gagal Jamin Hak Berkumpul: Bedah Buku “Reset Indonesia” Dibubarkan di Madiun
Namun, putusan MK tersebut tidak diakomodasi dalam produk legislasi yang dibentuk oleh eksekutif dan legislatif.
Santosa juga menyoroti putusan MK terkait Pasal 33 ayat 4 hasil amendemen ke-4 UUD 1945 yang menegaskan prinsip pembangunan berkelanjutan. "Mahkamah Konstitusi melalui keputusannya tahun 2023, keputusannya 2024, tetapi memang tahun masuk perkaranya 2023, menolak permohonan perusahaan tambang untuk menambang di pulau-pulau kecil," katanya.

Dalam putusan tersebut, MK menegaskan penerapan konsep strong sustainability, di mana modal alam yang bersifat kritis tidak boleh disubstitusi. Pulau-pulau kecil dipandang sebagai critical natural capital yang tidak dapat digantikan.
"Alam bukan komoditas. Alam bukan sekadar stok kapital. Alam adalah sistem hidup dengan fungsi yang tidak dapat digantikan oleh man-made wealth atau modal buatan manusia," tegasnya.
Kebijakan Merusak Lingkungan
Santosa menilai arah kebijakan pembangunan Indonesia saat ini justru masih didominasi oleh paradigma weak sustainability, yang tercermin dalam beberapa kebijakan. Beberapa di antaranya yakni Undang-Undang Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah tentang Kehutanan, serta aturan tata ruang yang membuka peluang Proyek Strategis Nasional (PSN) masuk ke kawasan lindung dan konservasi. Dia menyayangkan kebijakan yang diambil justru didorong orientasi pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan daya dukung ekosistem.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai berbagai PSN justru mendorong kerusakan lingkungan, seperti Rempang Eco-City di Kepulauan Riau, Pertambangan dan kawasan industri nikel di Pulau Halmahera, Maluku Utara, Food Estate di Kalimantan Tengah, hingga Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Labuan Bajo di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Baca juga: PSN, Kriminalisasi Warga Rempang, dan Keadilan Restoratif
Dalam laporan Walhi berjudul “Melegalkan Krisis Iklim: Deforestasi Sistematis Atas Nama Transisi Energi di Indonesia”, terungkap ±26,68 juta hektare kawasan berhutan Indonesia yang setara 25,6 persen total tutupan hutan nasional, berada di bawah tekanan izin industri ekstraktif, seperti PBPH (Perizinan Berusaha di Bidang Kehutanan), WIUP (Wilayah Izin Usaha Pertambangan), dan HGU (Hak Guna Usaha).
Jika seluruh kawasan ini dibuka untuk mendukung proyek-proyek transisi energi, Indonesia berpotensi melepaskan lebih dari 9 miliar ton karbondioksida ekuivalen (CO₂e) ke atmosfer, angka yang setara dengan akumulasi emisi sektor energi selama 25 tahun terakhir.
Auriga Nusantara mencatat terjadi deforestasi seluas 261.575 hektare di Indonesia sepanjang 2024.

Data lain dari Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat, sepanjang periode 2021-2024, rata-rata deforestasi Indonesia tetap berada di kisaran 675 ribu hektare per tahun. Angka ini jauh di atas jalur penurunan deforestasi yang konsisten dengan komitmen iklim minimum (NDC) Indonesia.
"Jadi memang pengecualiannya banyak sekali. Dan ini adalah dalam rangka untuk mengundang investasi agar dia bisa melalui apa yang disebut dengan karpet merah. Jadi kalau misalnya kita mencermati bencana ekologis yang sebetulnya sudah lama muncul, ini sekarang mungkin sangat parah. Dan ke depannya kalau tidak ada perubahan, itu lebih parah lagi," kata dia.
Baca juga: Rencana Prabowo Tambah Sawit di Papua, Bencana Ekologis di Depan Mata?
Santosa menegaskan perlunya reorientasi paradigma pembangunan ekonomi dengan menempatkan ekologi sebagai prinsip utama. Ia mendorong diskursus seperti beyond growth, degrowth, dan circular economy, serta menekankan konsep ecological primacy.
"Reorientasi strategi pertumbuhan ekonomi yang kuat itu harus dibarengi dengan satu sikap dari pemerintah untuk menjadikan ekologi sebagai panglima. Saat ini, boleh dibilang paradigma kebijakan dan hukum kita terlalu human centered. Jadi tidak mengakui makhluk hidup lainnya selain manusia," imbuhnya.
Santosa menambahkan, kebijakan ekonomi yang berorientasi investasi bisa berdampak terhadap penurunan kualitas demokrasi dan perlindungan HAM.
"Jadi enggak mungkin kita, kalau tidak kuat di demokrasi, tidak kuat di governance, dan tidak kuat di rule of law, kita bisa memiliki performance yang baik tentang lingkungan hidup maupun menjaga dan mendukung ekosistem kita," pungkas Achmad Santosa.






