PP Muhammadiyah menilai penetapan status bencana nasional jangan dilihat sebagai bentuk administratif atau politis, melainkan tanggung jawab konstitusional negara terhadap keselamatan warganya.
Penulis: Ken Fitriani
Editor: Resky Novianto

KBR, Yogyakarta- Empat pekan terlewati pascabencana banjir bandang dan longsor yang melanda tiga provinsi di Sumatra, pemerintah belum juga menetapkan sebagai Bencana Nasional.
Kebijakan pemerintah ini dipertanyakan sejumlah pihak, mengingat dampak masif dari bencana ekologis yang menerjang Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Padahal data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan Per 23 Desember 2025, ada 1.106 korban meninggal, lebih dari 170 orang dinyatakan hilang, serta sekitar 7.000 korban lainnya mengalami luka-luka.
Selain korban jiwa, bencana juga mengakibatkan kerusakan infrastruktur publik secara luas. Sebanyak 1.600 fasilitas publik, 434 Rumah Ibadah, 219 fasilitas kesehatan, 290 gedung/kantor, 967 fasilitas pendidikan, dan 145 jembatan.

Salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menekankan status darurat kemanusiaan nasional atas rangkaian bencana diperlukan untuk pemulihan masyarakat Sumatra.
"Bencana di sejumlah wilayah Sumatra tidak dapat diperlakukan sebagai bencana daerah biasa, mengingat dampaknya telah melampaui kemampuan penanganan pemerintah daerah," ujar Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Busyro Muqoddas saat ditemui di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) Provinsi DIY, Jumat (19/12/2025).
Ia mengatakan penetapan status bencana nasional jangan dilihat sebagai bentuk administratif atau politis, melainkan tanggung jawab konstitusional negara terhadap keselamatan warganya.
Muhammadiyah, kata Busyro, selalu melakukan pemantauan dengan perwakilan di tiga provinsi tersebut sehingga mengetahui secara pasti penanganan pasca bencana yang dilakukan oleh pemerintah pusat. Karena itu, pemerintah mesti menetapkan status bencana Sumatra menjadi 'Bencana Nasional'.
"Iya (segera menetapkan bencana nasional), tapi jangan berhenti pada penetapan saja. Bersama-sama masyarakat sipil itu tidak usah diminta seperti sekarang ini, itu pasti akan menunjukkan kemanusiannya yang origin. Nah tunjukkan kemanusian, kebangsaan itu lewat penetapan presiden. Pembantu-pembantu presiden jangan ada yang menghalang-halangi," terangnya.

Istana Tegaskan Penanganan Bencana Sumatra Sudah Berskala Nasional
Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya menegaskan penanganan bencana yang dilakukan pemerintah di tiga provinsi terdampak, yakni Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat sudah berskala nasional sejak hari pertama pada 26 November 2025.
Pernyataan Seskab tersebut menanggapi sejumlah pihak yang masih membahas soal status “Bencana Nasional yang hingga kini belum ditetapkan pemerintah.
"Masih ada pihak-pihak yang terus saja membahas status bencana nasional. Bencana ini ada di tiga provinsi. Ketiganya terdampak. Tapi, mungkin satu dua minggu ini, semua fokusnya hanya ke Aceh. Sejak hari pertama, tanggal 26 (November), pemerintah pusat sudah melakukan penanganan skala nasional di tiga provinsi ini," kata Teddy dalam Konferensi Pers Perkembangan Penanggulangan Bencana Sumatera di Posko Terpadu Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (19/12/2025) dikutip dari ANTARA.
Seskab menjelaskan bahwa pemerintah langsung melakukan mobilisasi terhadap seluruh kekuatan nasional sejak hari pertama usai bencana banjir bandang melanda.
Ia memerinci ada lebih dari 50 ribu personil TNI dan Polri, hingga Basarnas, bahkan relawan yang sudah dikerahkan ke tiga provinsi tersebut. Pada pekan pertama, ada 26 ribu personel TNI AD yang sudah berada di lokasi terdampak.
Selain itu, Seskab Teddy juga membantah bahwa anggaran penanganan bencana tidak berasal dari pemerintah pusat, jika status bencana belum ditetapkan sebagai bencana nasional.
Menurut ia, Presiden Prabowo Subianto sejak awal sudah menegaskan bahwa pemerintah mengalokasikan anggaran hingga Rp60 triliun secara bertahap untuk membangun kembali hunian sementara dan hunian tetap, hingga fasilitas gedung pemerintah daerah, bahkan kantor kecamatan yang rusak karena banjir dan longsor.

Bencana Sumatra Ungkap Persoalan Struktural yang Lebih Luas
Busyro mengungkapkan, bencana kemanusiaan di Sumatra tidak dapat dilepaskan dari persoalan struktural yang lebih luas, khususnya kerusakan lingkungan akibat kebijakan pembangunan yang mengabaikan daya dukung alam. Namun, dalam situasi darurat, ia menekankan bahwa keselamatan warga harus menjadi prioritas utama negara, terlepas dari perdebatan kebijakan jangka panjang.
Busyro juga menyoroti berbagai tragedi kemanusiaan dan kerusakan ekologis yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia. Ia menilai, kerusakan ekologis ini sebagai dampak langsung dari hilirisasi kebijakan pembangunan nasional, khususnya Proyek Strategis Nasional (PSN).
Proyek-proyek tersebut dianggap dijalankan tanpa kontrol lingkungan, demokrasi, dan perlindungan hak masyarakat yang memadai.
"Kebijakan pembangunan yang bersifat top-down telah melahirkan konflik agraria, degradasi lingkungan, serta penderitaan masyarakat di tingkat lokal. Pola pembangunan semacam ini menempatkan masyarakat sebagai objek, bukan subjek pembangunan," ungkap Busyro.
Busyro menjelaskan, sejak era pemerintahan Presiden Joko Widodo, arah kebijakan pembangunan nasional difokuskan pada percepatan proyek infrastruktur dan industri ekstraktif yang kemudian ditetapkan sebagai PSN.
Namun, dalam praktiknya, kebijakan tersebut kerap mengabaikan aspek keberlanjutan lingkungan, hak-hak masyarakat lokal, serta mekanisme partisipasi publik yang bermakna.

Bencana Sumatra Contoh Kegagalan Tata Kelola SDA
Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang juga Guru Besar Ilmu Pemerintahan UMY, Ahmad Nurmandi menambahkan, kesalahan tata kelola sumber daya alam (SDA) yang melibatkan pemerintah pusat dan daerah menjadi salah satu faktor utama di balik bencana kemanusiaan yang melanda wilayah Sumatra.
Nurmandi menilai, jika dilihat dari refleksi akademik, banjir bandang dan tanah longsor yang terjadi saat ini merupakan akumulasi dari kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang keliru selama satu hingga dua dekade terakhir.
“Bencana ini tidak terlepas dari tangan-tangan manusia, dari kebijakan pengelolaan sumber daya alam yang kita ambil bertahun-tahun lalu. Tiga provinsi terdampak merupakan wilayah dengan kekayaan sumber daya alam yang sangat besar, mulai dari hutan dengan bentangan luas hingga sumber daya tambang dan minyak,” ujarnya dalam konferensi pers bertajuk ‘Korupsi Sumber Daya Alam dan Bencana Kemanusiaan’ yang digelar di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Jumat (19/12/2025).
Ironisnya, lanjut Nurmandi, kekayaan alam tersebut justru berbanding terbalik dengan meningkatnya kerentanan ekologis dan sosial yang dihadapi masyarakat. Alih-alih menghadirkan kesejahteraan, eksploitasi sumber daya yang tidak terkendali justru memperbesar risiko bencana.

Daerah dan Pusat Berperan dalam Perizinan Kehutanan
Lebih lanjut, Nurmandi mengulas dinamika kewenangan pengelolaan sumber daya alam antara pemerintah pusat dan daerah. Ia menjelaskan bahwa pada masa berlakunya Undang-Undang Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan perizinan kehutanan berada di tangan pemerintah daerah, yang dalam praktiknya justru memunculkan berbagai persoalan hukum
Namun, ketika kewenangan tersebut ditarik kembali ke pemerintah pusat melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, persoalan serupa tetap berulang. Menurut Nurmandi, hal ini menunjukkan bahwa pemindahan kewenangan semata tidak cukup untuk memperbaiki tata kelola
“Ketika kewenangan ditarik ke pusat, praktiknya hampir sama. Jadi persoalannya adalah kesalahan kita bersama dalam mengelola sumber daya alam. Contohnya banjir. Air akan selalu mengikuti gravitasi dan mengalir ke wilayah yang lebih rendah,” jelasnya.
“Namun, jika kawasan hulu rusak dan daya dukung lingkungan melemah, dampaknya menjadi jauh lebih destruktif bagi wilayah hilir,” imbuhnya.
Ia juga menyoroti fakta bahwa bencana kini tidak hanya melanda wilayah pedesaan, tetapi juga kawasan perkotaan. Ketika sebuah kota bisa lumpuh akibat lumpur dan banjir, menurutnya, hal tersebut menjadi indikator kegagalan serius dalam perencanaan tata ruang dan pengelolaan lingkungan.
"Berbagai temuan akademik telah menunjukkan korelasi kuat antara salah kelola sumber daya alam dan meningkatnya risiko bencana kemanusiaan, sehingga pembenahan tata kelola menjadi kebutuhan mendesak lintas level pemerintahan," kata Nurmandi.

Bencana Sumatra Berpotensi Menambah dan Ciptakan Kemiskinan
Pakar Ekonomi Islam dan Pembangunan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Dyah Titis Kusuma Wardani mengatakan suatu bencana mengakibatkan aktivitas produksi terganggu, rantai pasokan terputus, dan daya beli masyarakat melemah di daerah. Seperti yang terjadi di Sumatra.
“Kondisi ini berpotensi meningkatkan angka kemiskinan, terutama di wilayah yang bergantung pada sektor-sektor rentan,” jelasnya dalam keterangan terulis, Jumat (19/12/2025).
Dyah menyebut, sektor pertanian sebagai salah satu sektor yang paling terdampak oleh siklon tropis. Curah hujan ekstrem dan angin kencang berpotensi menyebabkan kerusakan tanaman, gagal panen, hingga kehilangan hasil produksi. Dampak tersebut secara langsung menekan pendapatan petani dan mengancam ketahanan pangan di tingkat lokal maupun regional.

Selain pertanian, sektor perikanan juga berada pada posisi yang sangat rentan. Dyah menyebut kerusakan sarana dan prasarana perikanan, hilangnya alat tangkap, serta terganggunya aktivitas melaut membuat nelayan kehilangan sumber penghidupan dalam waktu yang tidak singkat.
“Pada sektor perikanan, dampaknya bisa berlangsung cukup lama. Nelayan tidak dapat langsung kembali melaut karena alat dan infrastruktur yang rusak. Kondisi ini turut memengaruhi pasokan hasil laut dan stabilitas ekonomi masyarakat pesisir,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Dyah menyoroti kerusakan infrastruktur sebagai faktor kunci yang memperparah dampak ekonomi akibat siklon tropis. Kerusakan jalan, jembatan, dan fasilitas publik menyebabkan distribusi barang terhambat dan biaya logistik meningkat
“Kerusakan infrastruktur berdampak langsung pada produktivitas ekonomi. Ketika akses terganggu, biaya distribusi meningkat dan aktivitas usaha melambat. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi regional dan memperlebar kesenjangan antarwilayah,” pungkasnya.
Baca juga:
- Rencana Prabowo Tambah Sawit di Papua, Bencana Ekologis di Depan Mata?
- Grasah-grusuh Penulisan Ulang Sejarah RI





