"Di daerah dengan UMP tertinggi pun seperti Jakarta, upah minimum masih belum sepenuhnya mampu menutup kebutuhan hidup layak."
Penulis: Hoirunnisa, Musyafa
Editor: Wahyu Setiawan

KBR, Jakarta - Kalangan buruh kecewa terhadap penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta 2026. Gubernur Jakarta Pramono Anung menetapkan UMP 2026 sebesar Rp5.729.876, naik 6,17 persen atau Rp333.115 dibandingkan tahun sebelumnya Rp5.396.761. Menurut Ketua Pengurus Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Jakarta Winarso, besaran kenaikan tersebut tidak mencerminkan keberpihakan pemerintah daerah kepada kaum buruh.
“Pertama-tama, saya sebagai Ketua KSPI DKI Jakarta sangat-sangat kecewa dengan putusan yang diberikan oleh gubernur tentang UMP,” kata Winarso kepada KBR, Rabu (24/12/25).
Menurut dia, pemerintah seharusnya memperhitungkan secara matang konsekuensi dari rentang indeks alfa 0,5 hingga 0,9 yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan. Beleid itu diteken Presiden Prabowo Subianto pada 17 Desember 2025.
“Dengan adanya rentang angka 0,5 sampai 0,9 untuk alfa, itu pasti sudah diperhitungkan oleh pemerintah tentang konsekuensi angka berapa pun yang diputuskan,” ujarnya.
Winarso mengatakan buruh di Jakarta berharap UMP 2026 setidaknya dapat mengakomodasi kebutuhan hidup layak (KHL) secara penuh. Berdasarkan perhitungan serikat pekerja, KHL di Jakarta berada di kisaran Rp5,8 juta.
“Tentunya buruh berharap bahwa angka 100 persen KHL atau sekitar Rp5.800.000 itu bisa diakomodir. Di dalam PP 49 juga sudah ada ruang negosiasi, dengan batas tertinggi indeks alfa 0,9,” kata dia.
Menurutnya, dengan mengambil indeks alfa tertinggi, pemerintah daerah masih memiliki ruang untuk menunjukkan keberpihakan kepada buruh.
“Di situ kami masih berharap gubernur memiliki keberpihakan kepada buruh dengan mengambil angka 0,9, yang kalau dirupiahkan kenaikannya menjadi sekitar Rp5.770.000 sekian,” ujarnya.
Namun, keputusan yang diambil Pemerintah Provinsi Jakarta dinilai jauh dari harapan buruh. “Aktual yang kami terima saat ini adalah kenaikan yang diputuskan oleh gubernur sangat tidak mencerminkan keberpihakan kepada kaum buruh,” kata Winarso.
KSPI Jakarta berencana melakukan aksi merespons kenaikan UMP 2026.
“Oleh karena itu, atas dasar kekecewaan ini, bisa jadi ke depan kami akan melakukan aksi-aksi sebagai bentuk penolakan terhadap putusan penetapan UMP yang dilakukan oleh Bapak Pramono Anung selaku Gubernur DKI Jakarta,” ujarnya.
Baca juga: Rencana Prabowo Tambah Sawit di Papua, Bencana Ekologis di Depan Mata?
Sementara itu, Pramono Anung mengklaim pembahasan UMP 2026 telah melibatkan unsur pemerintah, buruh, dan pengusaha.
"Hari ini secara resmi kami akan menyampaikan hal yang berkaitan dengan UMP Jakarta. Setelah rapat beberapa kali di Dewan Pengupahan antara buruh, pengusaha, dan pemerintah DKI Jakarta, telah disepakati kenaikan UMP DKI Jakarta tahun 2026 sebesar Rp5.729.876," kata Pramono dalam konferensi pers di Balai Kota, Rabu (24/12/2025).
Pramono menyebut menggunakan indeks alfa 0,75 dalam perhitungan UMP 2026.
"Dalam PP diatur alfanya 0,5 sampai dengan 0,9. Dalam rapat Dewan Pengupahan, penetapan UMP 2026 ini menggunakan alfa 0,75, sehingga UMP dapat dipastikan mengalami kenaikan dan berada di atas inflasi Jakarta," ujarnya.

Pramono mengakui proses penetapan UMP DKI Jakarta 2026 dipenuhi tarik-menarik kepentingan. Pengusaha sempat mengusulkan indeks alfa di kisaran 0,5 hingga 0,55, sementara buruh mendorong indeks di atas 0,9.
"Karena itu, kesepakatan baru tercapai setelah melalui pembahasan yang cukup panjang," katanya.
Ia menegaskan seluruh perusahaan di DKI Jakarta wajib menerapkan UMP 2026 mulai 1 Januari 2026. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menindak tegas perusahaan yang tidak mematuhi ketentuan tersebut.
"Kalau ada perusahaan yang tidak menerapkan UMP ini, tentu Pemerintah DKI Jakarta akan memberikan ketegasan sesuai ketentuan yang berlaku," ujar Pramono.
Menurut Pramono, kebijakan UMP tidak hanya berhenti pada penetapan angka. Pemerintah Provinsi Jakarta juga menyiapkan berbagai program pendukung untuk menjaga daya beli pekerja sekaligus keberlangsungan dunia usaha.
"Kami melihat keseluruhan, baik dari sisi pekerja maupun pengusaha, untuk menjamin kenaikan UMP di DKI Jakarta di atas inflasi daerah. Karena itu, Pemprov DKI Jakarta memberikan subsidi transportasi publik bagi buruh, bantuan pangan, layanan cek kesehatan gratis, serta akses air minum melalui PAM Jaya," kata dia.
Pramono juga bilang, Pemprov menyiapkan dukungan bagi pelaku usaha, khususnya UMKM. "Untuk pengusaha, kami memberikan kemudahan perizinan, perbaikan pelayanan, relaksasi dan insentif perpajakan, serta akses pelatihan dan permodalan bagi UMKM," ujarnya.
Penetapan UMP DKI Jakarta ini berlangsung di tengah polemik nasional terkait kebijakan pengupahan. Sebagian kalangan pengusaha keberatan dengan kenaikan nilai afla dari 0,1-0,5 menjadi 0,5-0,9. Sedangkan sebagian kalangan buruh berpendapat formula yang digunakan belum mencerminkan KHL.

Aturan yang Terlambat
Penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2025 tentang Pengupahan dinilai sangat terlambat. Aturan itu yang menjadi acuan pemerintah daerah untuk menetapkan upah minimum. Sebagian buruh khawatir telatnya aturan itu membuat ruang negosiasi dengan pengusaha makin mepet.
“Takutnya kepentingan buruh dirugikan. Suasana tahun ini terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya,” ujar salah satu buruh di Jawa Tengah.
Kekhawatiran itu cukup berdasar. Di Kabupaten Rembang misalnya, Anggota Dewan Pengupahan Syaiko Rosidi mengatakan pembahasan upah minimum molor karena menunggu aturan dari pusat.
“Harusnya November sudah final, Desember sosialisasi dan Januari eksekusi. Formula terbaru sudah di-release, tetapi aturan tertulis belum disampaikan ke tingkat kabupaten/kota,” terangnya. PP tentang Pengupahan itu justru baru terbit di pertengahan Desember.
Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Kabupaten Rembang Dwi Martopo juga menyampaikan pembahasan UMK 2026 dilakukan setelah regulasi pusat turun.

Buruh: Partisipasi Minim dan Upah Tak Layak
Usai terbit pun, aturan pengupahan itu tetap memicu polemik. Vice President Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar Cahyono menilai perumusan PP pengupahan dilakukan tanpa partisipasi bermakna dari buruh. Menurutnya, serikat pekerja hanya dilibatkan sebatas sosialisasi, bukan dalam proses dialog substantif yang benar-benar mempertimbangkan aspirasi pekerja.
“Kami tidak merasa ada keterlibatan yang aktif dalam perumusan Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan ini. Pertemuan memang ada, tetapi lebih terasa sebagai formalitas. Kami hanya disosialisasikan mengenai rencana pemerintah, tanpa ruang dialog yang sungguh-sungguh untuk membahas dasar pengambilan keputusan, mengapa aspirasi buruh ditolak atau bagaimana pandangan serikat pekerja dipertimbangkan dalam kebijakan. Ini yang kami maksud tidak adanya meaningful participation,” kata Kahar dalam program Ruang Publik KBR, Senin (22/12/2025).
Baca juga: Evaluasi 1 Tahun MBG Ungkap Sederet Polemik dan Kritik
Kahar juga menyoroti penggunaan indeks alfa 0,5 sampai 0,9 yang diputuskan tanpa penjelasan transparan. Meski menggunakan indeks maksimal, upah minimum di banyak daerah tetap berada di bawah KHL.
“Artinya, formula yang sekarang dipakai memang tidak dirancang untuk menjawab kebutuhan riil pekerja,” ujarnya.
Kahar mengingatkan tren penurunan upah riil buruh akan berdampak langsung terhadap daya beli.
“Dalau upah riil pekerja formal terus menurun, maka daya beli ikut turun. Dampaknya bukan hanya ke buruh, tetapi ke ekonomi secara keseluruhan,” kata dia.
Menurut Kahar, upah minimum seharusnya menjadi instrumen untuk menjaga daya beli sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi, bukan sekadar angka administratif tahunan.
Pengusaha: Jangan Bebani Dunia Usaha
Kamar Dagang dan Industri (KADIN) punya pandangan berbeda. Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia Bidang Otonomi Daerah Sarman Simanjorang mengatakan kenaikan upah semestinya juga disesuaikan dengan kemampuan pengusaha.
“Kami dari pengusaha tidak menolak kenaikan upah. Kesejahteraan pekerja juga penting bagi dunia usaha. Tetapi kenaikan itu harus disesuaikan dengan kemampuan perusahaan, karena pengusaha yang membayar upah tersebut setiap bulan. Jangan sampai kebijakan ini justru menimbulkan beban baru yang mengganggu keberlangsungan usaha,” ujar Sarman dalam program Ruang Publik KBR, Senin (22/12/2025).
Sarman berdalih kondisi ekonomi nasional dan global masih penuh tekanan, mulai dari ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK), tingginya pengangguran, hingga ketidakpastian geopolitik.
“Kalau kenaikan UMP ini membebani dunia usaha, yang kami khawatirkan adalah penerimaan karyawan baru akan tertunda,” katanya.

Menurutnya, UMP sejatinya menjadi jaring pengaman sosial bagi pekerja baru atau fresh graduate. “Karena itu, UMP tidak bisa diposisikan sebagai upah ideal untuk semua kategori pekerja,” tutur Sarman.
Dia mengklaim polemik tahunan terkait UMP turut memengaruhi iklim investasi. Karena itu, ia berharap ke depannya pemerintah mampu merumuskan sistem pengupahan yang lebih permanen agar kegaduhan serupa tidak terus berulang setiap tahun.
KHL dan Upah Riil Harus Jadi Acuan
Pengamat ketenagakerjaan Timboel Siregar menempatkan polemik UMP 2026 dalam kerangka konstitusional. Ia mengingatkan UUD 1945 menjamin hak setiap warga negara atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, yang diturunkan dalam konsep kebutuhan hidup layak.
“Hak itu kemudian diterjemahkan dalam konsep kebutuhan hidup layak. Karena itu, penetapan upah minimum seharusnya benar-benar mengarah pada pemenuhan kebutuhan hidup layak, bukan sekadar mengikuti angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi,” kata Timboel dalam program Ruang Publik KBR, Senin (22/12/2025).
Ia mengutip data Bank Dunia yang menunjukkan upah riil buruh Indonesia turun rata-rata 1,1 persen sepanjang 2018 hingga 2024. “Upah buruh tidak bisa hanya dilihat dari nominal yang naik, yang utama adalah upah riil karena itu yang menentukan daya beli,” ujar Koordinator Advokasi BPJS Watch itu.
Timboel menilai selisih antara UMP dan KHL di banyak daerah masih lebar, mulai dari ratusan ribu hingga sekitar satu juta rupiah.
“Ini menunjukkan bahwa persoalan pengupahan kita masih sangat struktural dan belum terselesaikan,” kata dia.

Menurut Timboel, rentang indeks alfa 0,5 hingga 0,9 memberi ruang bagi pemerintah daerah untuk mengarahkan UMP lebih mendekati KHL. Namun, ia menekankan penetapan UMP tidak boleh berhenti pada angka.
“Gubernur tidak berhenti pada penetapan UMP, tetapi juga harus mengendalikan inflasi agar upah riil benar-benar meningkat,” tuturnya.
Timboel menilai persoalan UMP tidak bisa terus diperlakukan sebagai agenda tahunan yang selesai di atas kertas. Selama selisih antara upah minimum dan kebutuhan hidup layak masih lebar, serta inflasi tidak terkendali, kenaikan upah nominal berisiko terus tergerus.
Baca juga: UMP 2025 Urung Diumumkan Hari Ini, Alasan Kemenaker?
“Kalau kita lihat data per daerah, ketimpangannya sangat nyata. Di Sumatra Utara, rata-rata upah minimum kabupaten/kota sekitar Rp3,2 juta, sementara kebutuhan hidup layaknya mencapai Rp3,59 juta. Di Riau, upah minimumnya sekitar Rp3,68 juta, tapi KHL-nya Rp4,15 juta. Jambi rata-rata upahnya Rp3,29 juta, sementara KHL mencapai Rp3,93 juta. Bengkulu bahkan lebih jauh lagi, upah minimumnya sekitar Rp2,7 juta, sedangkan KHL yang dihitung pemerintah Rp3,7 juta, selisihnya hampir satu juta rupiah,” kata Timboel.
Kondisi serupa juga terjadi di wilayah dengan upah relatif tinggi seperti Jakarta.
“Di DKI Jakarta, upah minimum provinsi 2025 sekitar Rp5,39 juta, sementara kebutuhan hidup layaknya Rp5,89 juta. Artinya, bahkan di daerah dengan UMP tertinggi pun, upah minimum masih belum sepenuhnya mampu menutup kebutuhan hidup layak,” ujarnya.
Menurut Timboel, tantangan pemerintah bukan sekadar menetapkan angka UMP, melainkan membangun sistem pengupahan nasional yang transparan, partisipatif, dan berorientasi pada upah riil. Tanpa itu, polemik UMP hampir pasti akan kembali berulang setiap tahun, dengan aktor dan argumen yang nyaris sama.






