ELSAM menilai negara gagal untuk melindungi hak asasi manusia dalam kebebasan berkumpul. Mengapa hal itu terjadi?
Penulis: Dita Alya Aulia
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta – Gelaran bedah buku “Reset Indonesia” yang direncanakan di Desa Gunungsari, Kecamatan Nglames, Kabupaten Madiun, Jawa Timur dibubarkan paksa. Peristiwa itu dilakukan dengan dalih kegiatan diskusi tidak memiliki izin.
Pembubaran ini terjadi di tengah rangkaian tur diskusi yang telah berlangsung hampir dua bulan belakangan di puluhan kota/kabupaten.
Salah satu tim penulis buku Reset Indonesia, Dandhy Laksono, menyebut peristiwa ini sebagai anomali karena diskusi berlangsung di ruang kebudayaan dan komunitas desa wisata. Selain Dandhy, buku ini juga ditulis oleh Farid Gaban, Yusuf Priambodo dan Benaya Harobu.
Ia bahkan menegaskan diskusi di Madiun melibatkan berbagai kelompok masyarakat, mulai dari seniman, pegiat literasi, aktivis lingkungan, hingga pegiat sejarah. Lokasi diskusi berada di desa wisata yang selama ini dikenal sebagai ruang edukasi dan kebudayaan, bukan ruang politik praktis atau mobilisasi massa.
“Kami berkolaborasi dengan teman-teman seniman, pegiat literasi, aktivis lingkungan, pegiat sejarah, bahkan kami tidur di museum desa. Di situ ada fosil-fosil binatang purba dari era Mastodon,” kata Dandhy dalam Siaran Ruang Publik KBR bertajuk “Pembubaran Diskusi Buku #ResetIndonesia, Potret Fobia Negara terhadap Pemikiran? Di Youtube KBR Media, Selasa (24/12/2025).
Dandhy menegaskan konteks tersebut penting untuk menepis anggapan bahwa diskusi berpotensi menimbulkan gangguan ketertiban umum. Menurutnya, pilihan lokasi justru menunjukkan upaya membuka dialog di ruang-ruang yang aman dan inklusif.
“Ini komunitas yang harmless. Ini desa wisata. Kalau saya mau cari keributan, kan saya nggak mendatangi tempat seperti itu,” ujar Sutradara Serial “Dirty Vote” tersebut.

Kronologi Pembubaran Diskusi Buku ”Reset Indonesia”
Dandhy mengungkapkan, awalnya diskusi disebut berjalan normal sejak malam pada 20 Desember 2025, tanpa gangguan hingga menjelang acara. Namun, secara tiba-tiba, kegiatan diminta dihentikan oleh aparat yang datang langsung ke lokasi.
“Tiba-tiba diminta untuk acara nggak dilanjutkan. Yang meminta itu Pak Camat dan Kepala Desa didampingi dengan Babinsa dan polisi,” sebutnya.
Kehadiran aparat dinilai tidak proporsional karena melibatkan berbagai unsur negara sekaligus. Menurut Dandhy, situasi tersebut menunjukkan pola pengerahan kekuasaan yang berlebihan terhadap aktivitas sipil.
“Empat orang itu ada kecamatan, polisinya, Babinsa-nya, desanya, ada Kesbangpol Kabupaten Madiun. Jadi ini paket lengkap,” ucap Dandhy.
Alasan Pembubaran Diskusi Tak Masuk Akal
Alasan penghentian diskusi disebut berkaitan dengan status Dandhy sebagai warga luar daerah. Aparat menyatakan bahwa kegiatan harus mengantongi izin khusus karena menghadirkan pembicara dari luar Madiun.
“Foto saya ditampangin disitu di WA-nya ‘orang ini kan yang akan ngomong kan. Ini orang luar Madiun, harus izin dulu’,” ujarnya.
Dandhy mempertanyakan dasar hukum dari klaim tersebut. Ia menilai logika perizinan antarwarga negara bertentangan dengan prinsip kebebasan bergerak dan berekspresi.
“Sejak kapan kita sama-sama KTP Indonesia harus izin? Saya juga apakah perlu apply visa ke Madiun untuk ngomong? ” katanya.
Peserta Dihadang Saat Menuju Lokasi dan Intimidasi Usai Pembubaran
Pembubaran tidak hanya berdampak pada jalannya diskusi, tetapi juga terhadap peserta. Sejumlah orang yang hendak menghadiri acara dihadang saat akan menuju lokasi.
“Sementara 4 atau 5 orang datengin panitia. Itu orang-orang yang lain di luar ngusirin peserta yang datang jadi dijegatin di jalan-jalan. Jadi bener-bener unit yang diturunin itu banyak,” katanya.
Tekanan berlanjut hingga malam hari. Dandhy mengungkap mobil tim Reset Indonesia menjadi sasaran pelemparan telur saat diparkir di kawasan desa.
“Kayaknya disurvey banget bahwa disitu gak ada CCTV. Jadi mereka santai aja ngelempar. Tapi sejak peristiwa itu kami jadi harus gantian tidur di mobil mereka gak nyangka ada orang di mobil, diteriaki mereka kaget,” ungkapnya.

Usai Peristiwa Madiun, Muncul Tekanan di Daerah Lain
Pascaperistiwa Madiun, Dandhy menyebut tekanan birokratis meluas ke kota-kota lain yang menjadi lokasi rencana diskusi. Panitia lokal di sejumlah daerah disebut menghadapi permintaan pelaporan berlapis ke aparat dan pemerintah desa.
“Sejak peristiwa Madiun, semua kepanitiaan menghadapi birokrasi yang sama. Disuruh lapor polisi, datangin kepala desa.” ujarnya.
Menurut Dandhy, alasan yang terus digunakan aparat adalah potensi keresahan masyarakat. Namun, ia menilai narasi tersebut tidak pernah disertai bukti konkret.
“Yang dibubarin justru acaranya, bukan orang yang katanya resah. In fact tidak ada yang resah,” tegasnya.
Ia menilai penggunaan narasi keamanan dan ketertiban tersebut bersifat klise dan berulang, serta digunakan untuk membenarkan pembatasan ruang diskusi.
“Bullshit banget. Mereka pakai template seolah-olah ada orang desa kumpul bawa obor kayak di film horor,” katanya.
Pembungkaman Pola Lama yang Berulang
Dandhy menyebut pembubaran diskusi buku bukan peristiwa tunggal, melainkan bagian dari pola lama pembungkaman terhadap karya dan ekspresi kritis yang telah ia alami sejak bertahun-tahun lalu.
“Bikin film dibubarin, nulis buku dibubarin. Ini bukan sekali, ini hasil dari berkali-kali dibiarin,” ucap Dandhy.
Ia menilai kondisi ini mencerminkan krisis demokrasi yang semakin nyata, ditandai oleh menguatnya peran aparat di ruang sipil dan melemahnya tradisi debat serta oposisi politik.
“Not to mention sekarang bahkan ini satu gerbong semua ini dari DPR sampai Istana ini satu gerbong semua. Tidak ada oposisi, tidak ada perdebatan di antara mereka. Wataknya juga makin militeristik,” tegasnya.
Menurut Dandhy, tanpa perlu membaca bukunya, tindakan aparat di lapangan justru telah mengafirmasi pesan utama Reset Indonesia.
“Jadi mereka adalah living example atau living proof
bahwa Indonesia memang perlu direset. Karena mereka sudah menunjukkan buktinya lewat kelakuan mereka,” katanya.
Dandhy memastikan peristiwa di Madiun tidak akan menghentikan rangkaian diskusi. Sebaliknya, ia mengaku akan terus memperkuat kampanye buku tersebut sebagai bentuk perlawanan terhadap pembungkaman.
“Justru saya akan makin menggencarkan kampanye buku ini. Karena kalau enggak, kita nggak sadar sedang masuk ke era otoritarianisme,” tutupnya.

Negara Gagal Jamin Kebebasan Berkumpul
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai peristiwa tersebut memperlihatkan pelanggaran terhadap kewajiban negara untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi manusia.
Diskusi buku, kata dia, merupakan bentuk kebebasan berekspresi yang sah dan tidak dapat dibatasi hanya dengan alasan administratif.
“Negara yang kemudian gagal untuk melindungi hak asasi manusia dalam kebebasan berkumpul. Di sini kita melihat bagaimana peran negara harus menghormati, harus melindungi, dan harus juga memenuhi. Udah lah ini kebebasan berkumpulnya dilanggar, terus juga rasa aman juga tidak terpenuhi dengan adanya intimitas.,” ujar Peneliti ELSAM Nurul Izmi dalam Siaran Ruang Publik KBR bertajuk “Pembubaran Diskusi Buku #ResetIndonesia, Potret Fobia Negara terhadap Pemikiran? Di Youtube KBR Media, Selasa (24/12/2025).
Ia menegaskan, dalam kerangka hukum di Indonesia, kegiatan berkumpul dan menyampaikan pendapat tidak memerlukan izin aparat, melainkan cukup dengan pemberitahuan.
Penggunaan dalih “tidak berizin” untuk membubarkan diskusi merupakan bentuk pembatasan hak asasi manusia yang tidak dibenarkan.
“Justifikasi izin itu sendiri sebenarnya tidak boleh digunakan untuk membatasi kebebasan berkumpul dan kebebasan berpendapat,” kata Izmi.
Undang-undang utama yang mengatur hak berserikat dan berkumpul di Indonesia adalah Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menjamin hak ini sebagai Hak Asasi Manusia (HAM), serta diturunkan dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Pembubaran Diskusi Kerap Terjadi
ELSAM mencatat pembubaran diskusi dan intimidasi terhadap ruang-ruang ekspresi publik bukan peristiwa tunggal. Izmi menyebut, pada September 2024, diskusi di kawasan Grand Kemang, Jakarta, juga dibubarkan. Selain itu, peristiwa serupa terjadi dalam pemutaran film, termasuk nonton bareng film Dirty Vote dan Sexy Killers di sejumlah daerah.
“ELSAM menemukan bahwa ada penggunaan narasi, misalnya seperti tadi, “tidak memenuhi izin, tidak ada izin”. Itu merupakan suatu bentuk propaganda masyarakat terhadap pemberian stigma terhadap kebebasan berkumpul dan dengan menggunakan justifikasi demi keamanan,” ujar Izmi.
Menurutnya, narasi tersebut kerap dipakai aparat tanpa mekanisme penilaian yang jelas dan objektif. Tidak ada investigasi terbuka mengenai siapa pihak yang merasa resah dan sejauh mana keresahan itu benar-benar terjadi.
“Ini jadi sangat problematik karena penilaian ‘meresahkan masyarakat’ sering kali bersifat subjektif dari aparat. Tidak ada penjelasan lanjutan, dan setelah intimidasi atau kriminalisasi terjadi, aparat kerap lepas tangan dengan dalih sudah sesuai prosedur,” katanya.

Kekhawatiran Pola Orde Baru Terulang
Izmi mempertanyakan prosedur yang dimaksud aparat, sekaligus kapasitas mereka dalam memahami dan mengimplementasikan standar hak asasi manusia di lapangan. Keberulangan kasus, lanjutnya, menunjukkan lemahnya pemahaman aparat terhadap prinsip-prinsip HAM.
“Kalau pola ini terus berulang, ini jadi tanda bahaya. Jangan-jangan kita sedang masuk ke situasi neo-Orde Baru,” ujarnya.
ELSAM juga mengaitkan fenomena ini dengan pelemahan demokrasi secara struktural. Izmi merujuk pada laporan Freedom House yang menunjukkan skor demokrasi Indonesia terus menurun dari tahun ke tahun.
“Turun setiap tahun skornya. Dan ini semakin terlihat jelas pada aksi, pada penerapan yang terjadi di lapangan, dengan adanya pembungkaman,, intimidasi. Bahkan tidak jarang juga terjadi, kriminalisasi,” katanya.
Menurut Izmi, pembatasan terhadap hak asasi manusia hanya dapat dilakukan melalui undang-undang, dengan tujuan yang sah, kebutuhan yang jelas, serta tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang.
Pelemahan Demokrasi dan Warisan Otoritarianisme
Dewan Pengarah Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Herlambang Wiratraman, menilai pembubaran diskusi buku Reset Indonesia di Kabupaten Madiun sebagai bentuk pembungkaman suara kritis yang menandai pelemahan serius demokrasi.
Ia menyebut peristiwa tersebut menunjukkan rendahnya kapasitas dan kemauan aparat serta pejabat negara untuk berdiskusi secara rasional di ruang publik.
“Alih-alih terjadi proses pencerdasan di ruang publik, yang terjadi justru pembungkaman. Diskusi buku saja dibubarkan. Di zaman sekarang, ini tidak masuk akal,” ujar Herlambang dalam Siaran Ruang Publik KBR bertajuk “Pembubaran Diskusi Buku #ResetIndonesia, Potret Fobia Negara terhadap Pemikiran? Di Youtube KBR Media, Selasa (24/12/2025).
Menurut Herlambang, pembatalan dan penghalangan diskusi tersebut paralel dengan situasi kemunduran demokrasi yang lebih luas.
Lebih jauh, ia menilai masih kuatnya warisan rezim otoritarianisme Orde Baru, terutama pada aktor-aktor negara yang selama ini menopang kepentingan kekuasaan.
“Ini paralel dengan situasi pelemahan demokrasi yang dimana titik-titik kekuasaan masih belum beranjak atau belum berubah. Itu masih banyak warisan dari rezim otoritarianis,” kata Pengajar Fakultas Hukum UGM.

Pelaku Pembubaran Tak Paham Konstitusi
Herlambang menegaskan, aparat dan pejabat yang membubarkan diskusi menunjukkan ketidakpahaman terhadap konstitusi, khususnya Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945, serta cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.
“Bagaimana mau mencerdaskan kehidupan bangsa kalau orang diskusi buku dilarang? Menulis buku dilarang, nonton film dilarang, bikin filmnya juga dilarang,” ujarnya.
Ia bahkan mengkhawatirkan praktik semacam ini mengarah pada pola-pola yang identik dengan rezim fasis, di mana aktivitas warga sipil direpresi hanya karena perbedaan pandangan atau gagasan kritis.
“Hal-hal seperti ini hanya lazim terjadi di rezim-rezim fasistik. Apakah pemerintah Kabupaten Madiun sudah mendeklarasikan diri sebagai pemerintahan yang fasis? sehingga dia harus mengatakan bahwa orang pembicara dari luar kabupaten Madiun harus izin dulu sama orang Madiun,” kata Herlambang.
Pembubaran Diskusi Tidak Bisa Dibenarkan
Pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie mendorong dilakukannya pengkajian ulang konstitusi, yakni Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 guna mengakomodasi aspirasi publik yang mencuat belakangan ini.
Menurut Jimly yang juga Ketua Tim Komisi Percepatan Reformasi Polri (KPRP), upaya mengkaji ulang reformasi, termasuk evaluasi menyeluruh terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia, merupakan salah satu agenda yang perlu mendapat perhatian serius.
“Bahkan ada kalangan aktivis yang menulis buku tentang reset Indonesia. Sayangnya, diskusi buku itu justru dibubarkan. Padahal, yang dimaksud reset itu bukan destruktif, tetapi menata ulang sistem politik, sosial, dan ekonomi kita agar lebih sehat,” kata Jimly, sebagaimana keterangan diterima di Jakarta, Kamis (25/12/2025) dikutip dari ANTARA.
Eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) menyampaikan hal itu dalam forum dialog bertema “Rekonstruksi Konstitusi Menyongsong Indonesia Emas 2045: Peran Strategis MPR dalam Menjaga Ideologi Bangsa” yang diselenggarakan Sekretariat Jenderal MPR RI di Tangerang, Banten, Rabu (24/12).

Negara Justru Menjauhi Prinsip Demokrasi
Herlambang menilai, kondisi negara hukum saat ini justru bergerak menjauh dari prinsip demokrasi. Negara, kata dia, lebih mengandalkan kekuasaan dan manipulasi ketimbang membuka ruang perdebatan yang sehat dan berbasis pengetahuan.
Situasi ini membuat diskusi kritis dipersepsikan sebagai ancaman, bukan bagian dari proses pencerdasan publik.
“Saya khawatir juga kondisi negara hukum ini alih-alih hendak demokratis, yang terjadi justru negara kekuasaan yang menyuburkan pola-pola pemanipulasian,” ujarnya.
Herlambang menganggap, pembubaran diskusi buku bukan sekadar persoalan administratif, melainkan bagian dari upaya sistematis untuk mempertahankan relasi kuasa yang timpang.
“Pemerintah kapok itu kan dalam kamus orang waras ya itu baru kapok. Kalau nggak waras kan dia pekerjaannya memang mengawetkan kebebalan ya. Jadi ini kebebalan-kebebalan ini dianggap bukan seperti pelanggaran hukum. Padahal upaya membatasi diskusi buku itu sudah jelas seperti yang saya bilang, dia berkhianat secara konstitusi,” katanya.
Ia menegaskan, pembatasan terhadap diskusi buku memperlihatkan kuatnya politik oligarki yang telah menyatu dalam sistem ketatanegaraan. Jika dibiarkan, kondisi ini akan berdampak panjang terhadap kualitas generasi mendatang dan masa depan demokrasi.
“Sekaligus dia hanya ingin mengawetkan supremasi relasi kuasa oligarki yang hari-hari ini itu semakin nampak. Bahkan istilah saya adalah embedded oligar politics, politik oligarki yang melekat dalam sistem tata negara,” ucapnya.
Pemerintah Mesti Minta Maaf
Herlambang juga mengingatkan bahwa pembatasan diskusi sama sekali tidak memiliki dasar hukum yang sah. Indonesia, kata dia, telah mengadopsi berbagai instrumen hak asasi manusia internasional yang menjamin kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul.
“Kita tahu bahwa ada perkembangan hukum hak asasi manusia. Begitu banyak instrumen yang sudah, instrumen internasional bahkan sudah diadopsi di dalam sistem hukum nasional. Seperti kovenan tentang hak sipil dan politik,” ujarnya.
“Di situ ada pasal 19 bicara soal kebebasan ekspresi, berpendapat, berkumpul berserikat. Dan kenyataannya, pengekangan atau pembatasan diskusi ini sama sekali tidak ada dasarnya atau tidak legitimate, keliru,” imbuhnya.
Atas peristiwa tersebut, Herlambang mendesak pemerintah, baik daerah maupun pusat, untuk tidak bersikap diam dan segera menyampaikan permintaan maaf kepada publik. Ia juga meminta institusi negara bertanggung jawab atas tindakan pembubaran yang terjadi.
“Pemerintah hari ini harus minta maaf. Pemerintah daerah, pemerintah pusat, termasuk kementerian HAM, jangan bungkam saja soal ini. Begitu juga kapolri, karena kita tahu bahwa ini bukan lagi soal melanggar hukum, tapi ini sudah bertentangan dengan cita dasar negara Indonesia mengkhianati konstitusi,” pungkasnya.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik Edisi Khusus KBR Media
Baca juga:
- Rehabilitasi & Rekonstruksi Bencana Sumatra: Tantangan dan Solusi Jangka Panjang
- Giliran Muhammadiyah Serukan Bencana Nasional Sumatra






