"Penggunaan cara-cara intimidatif, represif, ini tentu menjauh dari semangat Reformasi 98."
Penulis: Siska Mutakin, Wahyu Setiawan
Editor: Ninik Yuniati

Wajah 79 tahun Polri masih dilekati dengan kekerasan, kesewenangan, dan impunitas. Berbagai kasus pelanggaran yang melibatkan polisi terus bermunculan, banyak pula yang berulang, misalnya tindakan represif ketika menangani unjuk rasa. Tak sedikit dari kasus-kasus tersebut dibiarkan tanpa diproses, apalagi dijatuhi sanksi.
Keberadaan Polri saat ini dianggap kian menjauh dari semangat Reformasi, bahkan berpotensi menjadi ancaman demokrasi. Tim SAGA KBR memotret salah satu insiden yang menampilkan wajah represif Polri.
KBR, Jakarta - Aksi damai peringatan Hari Buruh 2025 di sekitar Gedung DPR Jakarta berubah keos. Jelang petang, aparat memaksa massa bubar.
Orang-orang berlarian menghindari tembakan meriam air. Ada yang dikejar polisi hingga tersungkur. Suasana mencekam.
Cho Yong Gi alias Kevin berlari ke arah kerumunan yang tercerai-berai, mencari pengunjuk rasa yang luka. Mahasiswa 22 tahun ini anggota tim medis.
Namun, ia malah jadi sasaran.
“Cuman ketika mau kasih, menawarkan pertolongan medis, itu ya sudah langsung galak banget tuh polisinya. Kayak, wah ini, kamu siapa kamu? Ngapain kamu di sini? Terus dia marah-marah gitu, dia dorong-dorong,” kata Kevin kepada KBR.
Segerombolan lelaki berbadan tegap diduga polisi datang mengepungnya.
Mereka memukuli dan menginjak-injak Kevin.
“Saya jatuh ke jalan raya, didorong jatuh. Terus ada omongan provokator tuh, itu provokator yang tadi. Terus langsung, tangkap tangkap tangkap. Dipukuli, diinjak lehernya, dipiting lehernya, diinjak leher, dipiting, terus dijatuhkan, badannya dijatuhkan,” cerita Kevin.
Darah mengalir dari hidungnya.
“Terus diinjak lehernya, dipakai lutut juga, pakai kaki juga, jadi dua orang, dua kaki. Lalu dipukulin saja, badan, dada, semua kaki. Ya sudah, abis itu sudah dipukulin,” ungkapnya.
"Makin dikeroyok kita, makin dipukulin, dipisahin, terus dipukulin lagi, diinjak-injak lagi, kayak kepalanya dipukul, dadanya dipukul, punggungnya dipukul," imbuh mahasiswa Universitas Indonesia tersebut.
????ALERTA ALERTA????
— Bareng Warga - #IndonesiaGelap (@barengwarga) May 1, 2025
Terpaksa tim medis "dipukul mundur" dengan cara yang tidak baik
Stay safe semuanya yang berada di depan DPR ?????????????#MeiMelawan#KitaSemuaPekerja https://t.co/H52xgZiIPP pic.twitter.com/irGxcofht9

Tubuh Kevin makin lemah, tapi pukulan dan injakan tak mereda. Tiba-tiba seorang perempuan menyeruak di tengah pengeroyokan itu.
“Kak Oji, salah satunya perempuan itu yang paralegal, dia datang, dia masuk ke dalam kerumunan polisi, terus pasang badan dia, dia peluk saya langsung, dia peluk saya, dia lindungin saya, terus bilang, udah pak, udah pak, ini jangan dipukulin,” kata Kevin.
Oji adalah nama panggilan Jeorgina Augustine.
“Cuman pada saat itu pikiranku cuma ini takutnya Kevin mati gitu kan, karena keras banget gitu, terus si Kevinnya muntah, kayak keluar cairan kuning gitu, muntah-muntah, dia enggak bisa duduk gitu, maksudnya dia sudah lemes gitu, kondisinya lagi ngambil napas gitu,” cerita Oji.
“Terus tiba-tiba, entah dari mana, ada orang yang tadi itu bilang, sudah, angkut semuanya, gitu. Angkut, angkut semuanya,” lanjut perempuan 27 tahun tersebut.
Baca juga:
- PBHI: Polisi Tak Perlu Jaga Demo, Cukup Satpol PP
- Kekerasan dan Penyiksaan Tahanan oleh Polisi, ICJR: Harus Ada Reformasi Hukum
Kevin yang babak belur dibawa ke mobil polisi. Tanpa penjelasan, tanpa surat penangkapan.
“Dalam kondisi dipukul itu, diangkat, terus dilempar ke dalam mobil tahanan. Kalau saya ya, kalau yang lain, ya jalan kaki lah mereka. Itu yang pertama ya, pas penangkapan awalnya,” ungkap Kevin.
Sedangkan Oji, terjebak di kerumunan, dikepung polisi
“Itu momen-momen di mana dia kena kekerasan seksual, secara verbal, secara fisik juga dipegang badannya dia, eh, tubuhnya dia tuh dipegang, bahkan BH, pakaian dalamnya, sorry, BH-nya itu putus gitu, talinya, saking kasarnya ditarik,” kata Kevin.
Oji diduga mengalami pelecehan seksual. Masih lekat di ingatannya, makian-makian kasar yang terucap.
“Dan ternyata ada juga yang ngomong, telanjangin saja, sudah telanjangin, telanjangin. Jadi serangkaian dengan kata-kata lonte, pukimak, perek, sudah telanjangin saja, telanjangin, gitu,” tutur Oji.
Selain Oji dan Kevin, ada puluhan korban kekerasan di aksi hari itu.

Herlina, ibu Oji geram anaknya dilecehkan.
“Anak saya dikatakan lonte, lalu dibilang apa, telanjangin saja. Itu yang saya baru tahu belakangan dan saya lihat, ya ampun, bagaimana rasanya saya sebagai ibu. Anak saya saya ajarin berjuang, bukan untuk dilecehkan seperti itu,” tukas Herlina.
"Saya enggak bakal pernah terima. Enggak akan pernah terima. Bahasa telanjangan saja, siapa itu orangnya, saya cari, enggak pantas ke anak siapa pun," kata Herlina marah.
Tindakan tak pantas oleh mereka yang mengemban amanat sebagai aparat penegak hukum.
“Jadi logika saya adalah, apakah kalau orang yang dalam keadaan seperti Oji, sekarang adalah laki-laki, ada bahasa telanjangin saja enggak? Ada bahasa telanjangin saja enggak? Anak saya perempuan, polisi punya anak perempuan enggak,” timpa Herlina.
“Emang ada SOP kepolisian itu nginjak pakai dengkul? Anak saya itu menjalankan undang-undang, menyatakan pendapat, dan dia tidak lagi demo,” kata Herlina.

Polisi malah menetapkan Kevin, Oji, dan 12 orang lainnya sebagai tersangka. Mereka dituduh melawan perintah aparat.
Mereka ditangkap, diperiksa maraton semalaman.
Baca juga: Mengungkap Pelaku Kekerasan Sesungguhnya dalam Aksi May Day 2025
Andrie Yunus dari Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menuturkan, beberapa orang diperiksa dalam kondisi sakit. Mereka digiring ke kantor polisi tanpa status.
Sebagian diduga dipaksa membuat video pengakuan dan menandatangani surat pernyataan bersalah.
"Kalau saksi itu kan, secara admindik harus ada laporan polisi dulu, terus kemudian terduga pelakunya, dan harus ada pemanggilan surat. Nah yang terjadi di 14 korban ini, itu ditangkap langsung diserahkan ke kepolisian,” kata Andrie kepada KBR.
Banyak prosedur pemeriksaan yang semestinya baru dijalankan ketika kasus sudah masuk tahap penyidikan.
“Ini kaitannya dengan adanya interogasi yang dituangkan dalam berita acara klarifikasi, atau berita acara interogasi BAK, BAI, yang mana itu tidak ada di KUHAP, tapi itu dilakukan oleh pihak penyidik,” ungkap Wakil Koordinator KontraS itu.
Korban dipaksa tes urine dengan alasan, ada dugaan menggunakan narkoba.
“Ada petugas yang khusus tim DVI itu nyamperin ke ruangan. Pas ke ruangan, itu dua hal. Satu sidik jari, satu urine," ujarnya.
Belakangan, tim kuasa hukum baru mengetahui polisi membuat laporan Tipe A ––laporan yang dibuat oleh polisi sendiri.
Itu diduga dilakukan saat pemeriksaan tengah berlangsung.
“Itu kan aneh. Aneh dalam arti ada proses yang kemudian kita bilang itu disengaja dilewati. Bagaimana ceritanya orang ditangkap tanggal 1 Mei sore, kemudian dilanjutkan pemeriksaan tanpa basis tuduhan pidananya apa, LP-nya enggak tahu. Belakangan baru kemudian keluar LP-nya,” ungkap Andrie.

Tim kuasa hukum melaporkan polisi atas dugaan pelanggaran prosedur pemeriksaan ke Mabes Polri.
Polisi juga dilaporkan atas dugaan tindak penganiayaan dan kekerasan seksual saat aksi damai May Day di sekitar Gedung DPR Jakarta.
“Ada banyak yang menunjukkan video-video kekerasan itu terutama pada saat mereka ditangkap di sekitar wilayah Ladokgi gitu ya, di dekat flyover. Jadi terlihat jelas tindakan kekerasan yang dilakukan,” kata dia.
Andrie bilang, pelaporan ini jadi momentum memutus rantai impunitas. Di kasus-kasus sebelumnya, praktik kekerasan polisi jarang dilaporkan secara pidana karena sulitnya menjangkau korban.
“Kalau kemudian tidak ada penghukuman dan pertanggungjawaban hukum pidana, artinya itu sama saja kita membiarkan para penjahat tetap berkeliaran tanpa dihukum dan berpotensi akan mengulangi perbuatan yang sama,” kata Andrie Yunus.
Polisi yang jelas-jelas melanggar HAM, harus dihukum. Pemberian sanksi etik ringan tak akan menimbulkan efek jera.
“Alasan kami melaporkan adalah untuk menghentikan pelaku-pelaku kekerasan yang berasal dari institusi kepolisian, terutama terhadap pelanggaran hak menyatakan pendapat di muka umum, dalam konteks ini adalah hak untuk berdemonstrasi,” tekannya.
KBR telah menghubungi Kepala Divisi Humas Mabes Polri Sandi Nugroho untuk menanyakan dugaan kekerasan aparat dan tindak lanjut dari laporan dari TAUD. Namun Sandi tak merespons pesan singkat KBR.
Kekerasan Berulang
Kasus kekerasan polisi saat menangani unjuk rasa terus berulang. Kecaman dan kritikan publik dianggap angin lalu.
Tak heran, polisi sering jadi jawara lembaga paling banyak diadukan ke Komnas HAM. Sepanjang 2024, ada lebih dari 660 aduan.
Menurut KontraS, dalam 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran, ada 136 tindak kekerasan polisi. Banyak kasus yang tak tuntas.
Baca juga: Sorotan Komnas HAM Soal Kekerasan yang Libatkan Polisi
KontraS juga mencatat, ada 36 tindak penyiksaan yang dilakukan polisi sepanjang 2024. Ada 11 orang tewas dan 84 orang luka.

Menurut pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto, praktik kekerasan sudah mengakar di institusi kepolisian.
“Praktik yang dilakukan oleh kepolisian beberapa waktu terakhir ini menunjukkan perkembangan ke arah otoritarianisme policing atau pemolisian yang otoriter,” ujar Bambang saat dihubungi KBR.
“Praktik-praktik tersebut tentu mengganggu kebebasan berpendapat seperti salah satu ciri negara demokrasi. Penggunaan cara-cara intimidatif, represif, ini tentu menjauh dari semangat Reformasi 98,” kata Bambang Rukminto.

Menurut Bambang, semestinya pucuk pimpinan Polri punya komitmen untuk menindak anggotanya yang melanggar.
“Maka kalau memang benar-benar polisi semakin profesional di hari ulang tahun yang ke-79, kapolri sebenarnya bisa memerintahkan untuk segera menuntaskan atau mengusut kasus tersebut. Karena kepolisian ini memiliki perangkat yang sangat besar, kewenangan yang sangat besar,” ujarnya.
Baca juga:
- Kritik DPR ke Polisi, Viral Dahulu Baru Gerak Cepat
- Polisi Tembak Siswa di Semarang, YLBHI: Kejahatan Luar Biasa
Bambang menilai, praktik impunitas bakal makin mencederai cita-cita profesionalitas Polri.
“Pengusutan pada pelanggaran personel yang tidak tuntas, kemudian penganuliran sanksi pada personel, bahkan promosi personel yang melakukan pelanggaran,ini menunjukkan bahwa praktik-praktik impunitas itu memang masih kental di kepolisian,” tekan Bambang.
Dia menekankan, polisi tidak boleh menjadi alat penguasa untuk menindas rakyatnya.
“Problemnya lagi-lagi apakah negara ingin membangun kepolisian yang lebih baik, yang diharapkan oleh masyarakat, atau hanya menggunakan kepolisian sebagai alat dari kekuasaan. Kalau seperti itu, kondisi kepolisian ke depannya masih akan tetap sama dan akan semakin menunjukkan otoritarianisme kepolisian,” ujar Bambang.
Penulis: Siska Mutakin, Wahyu Setiawan
Editor: Ninik Yuniati