NASIONAL

BRWA Ungkap Hanya 3,73 Juta Hektare Wilayah Adat Telah Diakui Pemda

Peta tersebut tersebar di 32 provinsi dan 155 kabupaten/kota.

AUTHOR / M Rifandi Fahrezi

BRWA Ungkap Hanya 3,73 Juta Hektare Wilayah Adat Telah Diakui Pemda
Infografis Status Pengakuan Wilayah Adat di Indonesia per Agustus 2023. Foto-BRWA.or.id

KBR, Jakarta- Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) telah meregistrasi 26,9 juta hektare wilayah adat di Indonesia. Kepala BRWA, Kasmita Widodo mengatakan, total ada 1.336 peta wilayah adat yang teregistrasi. Peta tersebut tersebar di 32 provinsi dan 155 kabupaten/kota.

Hasil identifikasi BRWA, ada sekitar 12,9 hektare berupa hutan primer, dan 5,37 juta hektare hutan sekunder di 1.336 wilayah adat tersebut.

Namun, dari luasan yang telah diregistrasi, tercatat baru 3,73 juta hektare wilayah adat yang statusnya diakui oleh sejumlah pemerintah daerah.

"Dari 1.336 total wilayah adat teregistrasi di BRWA, sebanyak 219 wilayah adat sudah ditetapkan pengakuannya oleh pemerintah daerah dengan luas mencapai 3,73 juta hektare atau sekitar 13,9 persen. Masih ada sekitar 23,17 juta hektare wilayah adat yang saat ini belum ada pengakuan oleh pemerintah daerah," kata Kasmita dalam konferensi pers tentang “Status Pengakuan Wilayah Adat di Indonesia 2023”, Rabu, (09 Agustus 2023).

Butuh Waktu Lama

Kepala BRWA, Kasmita Widodo khawatir, jika kebijakan daerah tidak mementingkan wilayah adat. Maka, butuh waktu lama untuk menuntaskan seluruh proses pengakuan wilayah adat di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, BRWA meminta pemerintah berkomitmen menetapkan kebijakan pengakuan wilayah adat.

“Kita sampaikan kepada para pihak, terutama pemerintah pusat dan juga daerah untuk bersama-sama memperkuat kapasitas, menyiapkan anggaran yang memadai untuk menyelenggarakan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adatnya,” ujar Kasmita.

Menurut Kasmita, komitmen kepala daerah dan kapasitas pemerintah daerah masih rendah untuk membentuk Peraturan Daerah (Perda) tentang Pengakuan Masyarakat Adat. Selain itu, setelah ada perda pun, pelaksanaan verifikasi sampai dengan pengukuhan masyarakat adat masih berjalan sangat lambat.

KLHK

Di satu sisi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) masih terbatas dalam memverifikasi usulan hutan adat. Rata-rata hanya sekitar 15 usulan hutan adat yang dapat diverifikasi lapangan dalam setahun. 

Hal tersebut masih ditambah dengan adanya kebimbangan untuk memverifikasi usulan hutan yang berada di kawasan konservasi, seperti cagar alam, taman wisata alam dan taman nasional.

Kasmita mengungkapkan, Kementerian LHK telah menerbitkan pengakuan 15 hutan adat di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah seluas 68.326 hektare. Total hutan adat yang sudah mendapat pengakuan adalah 123 hutan adat dengan luas 221.648 hektare.

Menurutnya, keputusan pengakuan hutan adat oleh KLHK memang tidak mudah, karena harus diawali pengukuhan keberadaan Masyarakat Hukum Adat (MHA) oleh pemerintah daerah. 

Menurut Pasal 67 UU Kehutanan dan Pasal 234 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2021 “Pengukuhan keberadaan MHA dalam Kawasan Hutan Negara ditetapkan dengan Peraturan Daerah”. Analisisnya, di sinilah letak sengkarutnya mekanisme pengembalian hutan adat dari hutan negara.

Kementerian ATR/BPN

Lain halnya dengan Kementerian ATR/BPN, menurut Kasmita, di sektor pertanahan dan pengakuan hak ulayat masyarakat adat, Kementerian ATR/BPN belum memiliki kemajuan berarti. 

Bahkan, Kementerian ATR/BPN akan menerbitkan Hak Pengelolaan (HPL) di atas tanah ulayat seperti yang diatur di PP Nomor 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Kebijakan ini justru berpotensi menghilangkan hak masyarakat adat atas tanah ulayat yang telah dimiliki, dikelola, dan dikuasai turun-temurun.

BRWA menilai, situasi itu menunjukkan negara masih menerjemahkan hak menguasai secara eksesif. Padahal, Hak Menguasai Negara (HMN) dibatasi hak ulayat, seperti yang diterangkan dalam sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Mengutip Mongabay dan situs AMAN.or.id, salah satunya putusan MK 35/PUU-X/2012, hasil uji materi atau judicial review yang dilakukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama dua komunitas adat dari Kasepuhan Cisitu dan Kenegerian Kuntu.

Dalam putusan dinyatakan, hutan adat yang sebelumnya merupakan hutan negara, berubah menjadi bagian dari hutan hak. Kata negara dihapus pada Pasal 1 Angka 6 UU Kehutanan. 

Menurut KBBI, hak ulayat ialah hak yang dimiliki suatu masyarakat hukum adat untuk menguasai tanah beserta isinya di lingkungan wilayahnya.

HIMAS

Pernyataan BRWA soal status pengakuan wilayah masyarakat adat disampaikan bertepatan dengan peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) 2023, yang diperingati saban 09 Agustus.

Pada tahun ini, Perserikatan Bangsa-Bangsa mengusung tema: "Indigenous Youth as Agents of Change for Self-Determination" atau "Pemuda Adat sebagai Agen Perubahan untuk Penentuan Nasib Sendiri".

Pengambilan tema ini dimaksudkan untuk kembali menegaskan peran yang harus diambil pemuda adat dalam aksi iklim, pencarian keadilan, dan terciptanya hubungan antar-generasi yang menjaga tradisi dan budaya mereka. 

Peran pemuda adat juga sangat strategis dalam advokasi pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat di Indonesia.

Baca juga:

Editor: Sindu

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!