NASIONAL

Yang Dibutuhkan Penyintas Kekerasan Seksual

Eky Priyagung menjadikan peristiwa yang dialaminya sebagai pemantik masyarakat agar memandang bahwa kekerasan seksual dapat menimpa siapa saja.

AUTHOR / Khalisha Putri

EDITOR / Wydia Angga

Google News
Yang Dibutuhkan Penyintas Kekerasan Seksual
Melalui media sosialnya Komika Eky Priyagung menceritakan kekerasan seksual yang dialaminya saat kecil.

KBR, Jakarta — Sebagai seorang laki-laki yang menjadi korban kekerasan seksual, Eky Priyagung menjadikan peristiwa yang dialaminya sebagai pemantik masyarakat agar memandang bahwa kekerasan seksual dapat menimpa siapa saja.

Komika yang merupakan salah satu anggota Trio Netizen itu, pada hari ulang tahunnya memutuskan untuk mengungkap dugaan kasus kekerasan seksual yang dialaminya semasa kecil melalui media sosialnya.

Keberanian Eky tidak hanya membuka cerita tentang luka pribadinya, tetapi juga menjadi pemantik bagi para penyintas lain untuk angkat suara. Bahkan, menurut Eky, keberanian tersebut menimbulkan efek domino: muncul korban-korban lain dari pelaku yang sama yang akhirnya ikut menceritakan pengalaman mereka.

“Jujur, awalnya gue gak pernah nyangka kebiasaan oversharing gue malah bikin orang lain berani cerita juga. Gue pikir ini cuma cerita biasa, sampai akhirnya banyak banget DM yang masuk. Korban dari pelaku yang sama. Gue sempet mikir, ‘Gila, ternyata gue selama ini diem, mereka juga diem, dan pelakunya bebas aja.’ Karena biasanya kan kalau kita kena pencurian, kita teriak. Tapi kalau kekerasan seksual, malah kita yang malu, padahal korbannya kita,” ujar Eky dalam Podcast Disko “Diskusi Psikologi”.

Psikolog klinis, Mutiara Maharini yang akrab dipanggil Mahari menegaskan, keberanian seorang laki-laki untuk speak up tentang kekerasan seksual adalah hal langka, mengingat budaya patriarki masih kuat melekat di masyarakat.

“Kurang dari 5 persen korban kekerasan seksual yang berani cerita. Dan kalau kita bicara korban laki-laki, angka itu bahkan lebih kecil lagi. Jadi apa yang dilakukan Eky ini luar biasa banget. Eky mungkin gak sadar, tapi langkahnya monumental,” ujar Mahari.

Namun setelah berani speak up, lalu bagaimana? Apa sebenarnya yang dibutuhkan para penyintas agar bisa pulih, bertahan, dan tidak harus menanggung trauma seorang diri?

Luka yang Lebih Dalam dari Trauma

Perjalanan Eky untuk mengurai traumanya bukan hal mudah. Ia mengaku, luka terbesarnya justru muncul bukan hanya dari kejadian kekerasan seksual itu sendiri, tetapi dari proses meminta pertolongan yang diabaikan.

“Yang bikin trauma bukan cuma kejadiannya. Tapi waktu gue minta tolong, gak ada yang dengerin. Gue cerita malah diketawain. Gue jadi mikir, ini emang gue yang salah? Malah gue yang malu. Padahal, kalau gue korban pencurian, kan orang langsung percaya. Tapi ini malah dianggap bercanda,” ungkap Eky.

Mahari mengamini bahwa proses penyintas dalam mencari bantuan memang kerap terbentur stigma dan ketidakpercayaan orang sekitar.

“Salah satu yang paling berat adalah saat korban bicara, orang-orang gak percaya. Atau malah menyalahkan. Ini menciptakan luka sekunder yang seringkali lebih dalam dari traumanya sendiri,” jelas Mahari.

Dari Gamifikasi ke Support Group

Tak hanya bercerita, Eky juga berinisiatif membangun ruang aman bernama Murid Walid, sebuah komunitas support group bagi para penyintas lain. Uniknya, Eky merancang metode gamifikasi untuk membantu para anggota mengekspresikan kisahnya tanpa tekanan.

“Gue bikin kayak roleplay werewolf. Jadi kalau anggota berani speak up, mereka kasih emoji kacamata hitam. Kalau belum siap, ya diam dulu. Terus nanti gue coba hubungin pelan-pelan. Karena korban itu sama kayak pelaku, sama-sama bersembunyi. Jadi harus dipancing pelan-pelan,” tutur Eky.

Mahari menyebut cara Eky adalah pendekatan terapi seni atau art therapy yang sangat efektif, meskipun dibuat secara intuitif.

“Kita banyak ketemu korban yang bahkan mau ngomong aja gak sanggup. Dengan art, simbol, atau bahkan permainan, itu menciptakan jarak aman. Itu cerdas banget,” kata Mahari.

Pilihan, Bukan Paksaan

Salah satu hal yang ditekankan Mahari adalah soal pentingnya tidak memaksa korban untuk speak up atau melapor jika mereka belum siap.

“Pelecehan seksual itu bentuk pemaksaan. Maka jangan sampai kita yang mau membantu malah memaksa lagi. Support berarti memberi pilihan, bukan menuntut,” tegas Mahari.

Eky juga mengamini hal itu, mengingat banyak korban masih takut dengan stigma atau trauma berulang.

“Gue juga pelan-pelan banget nyari cara supaya mereka mau cerita. Gak bisa langsung. Kadang gue lebih baik kasih pilihan, ‘lu mau cerita gak?’, bukan ‘lu harus cerita’,” katanya.

Laki-Laki Juga Bisa Jadi Korban

red
Data jumlah pelaku kekerasan berdasarkan hubungan di tahun 2024. Sumber: SIMFONI-PPA

Eky menekankan bahwa ia kerap mendapat respons meremehkan ketika membagikan kisah kekerasan seksual yang dialaminya. Menurutnya, banyak orang masih menganggap laki-laki tidak mungkin menjadi korban, sehingga ceritanya kerap dianggap bahan lelucon.

“Di grup ada perempuan juga yang jadi korban, tapi kebetulan saya laki-laki. Walaupun aku tuh udah berkali-kali ngomong kayak gini ke banyak orang, reaksinya banyakan ketawa, becandain, terus nanya balik, ‘ah lu tuh gini kan?’ Jadi aku ngerasa, oh ternyata orang nganggep cowok tuh nggak bisa jadi korban,” ungkap Eky.

Mahari menegaskan bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama bisa mengalami dampak berat setelah menjadi korban kekerasan seksual.

Self-efficacy mereka turun, kualitas hidupnya menurun, rasa percaya diri hilang. Jadi jangan pernah menganggap laki-laki lebih kebal,” jelasnya.

Ia juga menyoroti stigma yang selama ini menempel pada kesehatan mental laki-laki. Berdasarkan penelitian, Mahari menegaskan tidak ada perbedaan signifikan antara dampak trauma kekerasan seksual terhadap laki-laki maupun perempuan.

“Baik laki-laki maupun perempuan sama-sama mengalami penurunan kualitas hidup dan self-efficacy setelah trauma. Jadi kita nggak bisa bilang kalau laki-laki pasti lebih tahan banting secara mental. Nggak kok,” ujar Mahari.

Mahari menambahkan, masyarakat harus lebih hati-hati dengan stereotip bahwa laki-laki tidak boleh menangis atau harus selalu terlihat kuat.

“Justru sekarang cowok-cowok yang emotionally available itu yang dicari. Gen Z keren banget soal ini,” tambahnya.

Baca juga:

- Belajar Sukses Bareng Teman Disabilitas

- Kesehatan Mental bagi Semua, Mengakhiri Era “Laki-Laki Tidak Bercerita”

Mencari Bantuan Profesional

Meski masih banyak korban kesulitan mengakses layanan psikologi, Eky mengingatkan bahwa kini sudah lebih mudah untuk mendapatkan pertolongan.

“Pake BPJS aja bisa. Mulai ke puskesmas dulu, terus nanti dirujuk ke psikolog atau psikiater kalau butuh,” jelasnya.

Mahari pun menegaskan, curhat ke teman atau support system adalah langkah awal, tapi jangan berhenti di sana.

“Kadang kita perlu mendengar suara kita sendiri keluar dari mulut kita. Itu powerful banget. Lalu pelan-pelan cari profesional supaya bisa benar-benar diurai satu per satu traumanya,” sarannya.

Yang Dibutuhkan Korban

red

Ilustrasi safe space (ruang aman) dibuat menggunakan artificial intelligence (AI)

Mahari menegaskan bahwa mendampingi penyintas kekerasan seksual bukanlah perkara sederhana, terutama jika dilakukan tanpa pengetahuan yang memadai. Ia merangkum prinsip pendampingan korban kekerasan seksual dalam sebuah singkatan, yaitu S-E-E-K.

S pertama adalah Safe Space, menghadirkan ruang aman, menjaga rahasia korban, memastikan korban secara fisik dan emosional stabil.

“Jangan pernah cerita ulang tanpa consent dia. Pastikan juga dia aman secara fisik, kalau perlu diobati, dirawat, dicek tempat tinggalnya. Secara emosional, kalau belum mau cerita ke grup, ya kasih jarak. Yang dilakukan Eky dengan game werewolf itu bagian dari safe space,” jelas Mahari.

E kedua adalah Empowering Attitude, artinya memberdayakan korban agar merasa punya kendali kembali.

“Orang yang dilecehkan kehilangan kontrol atas tubuhnya. Itu satu-satunya yang kita miliki penuh. Makanya kita harus kembalikan pilihan ke korban,” tegasnya.

E ketiga adalah Empathic Response. Mahari mengingatkan pendamping untuk sungguh-sungguh mendengarkan tanpa menghakimi.

“Kadang refleks kita bilang, ‘masa sih?’ Itu bikin korban tambah down. Mereka cuma butuh diyakini, didengar,” ujarnya.

K terakhir adalah Knowledge. Pendamping perlu paham tentang prosedur hukum, dampak psikologis, serta tidak menormalisasi kekerasan.

“Kalau kita gak ngerti, kita rawan menganggap wajar. Sama kayak dulu dijajah, orang lama-lama nganggep itu biasa. Padahal salah,” tutur Mahari.

Mahari menegaskan, prinsip S-E-E-K adalah cara agar pendamping tidak menjadi pemaksa kedua, sebab inti pendampingan adalah memulihkan rasa kendali korban.

“Jangan sampai kita mau nolong, malah memaksa lagi. Support itu memberi pilihan,” tegasnya.

Eky berharap ke depannya tidak ada lagi orang yang harus menanggung trauma sendirian hanya karena takut atau merasa malu.

“Gue cuma kebetulan oversharing aja, tapi ternyata efeknya segede ini. Berarti satu orang speak up bisa banget bikin ombak besar. Korban gak usah malu. Yang malu itu pelaku,” tegasnya.

Lebih lanjut terkait pembahasan Yang Dibutuhkan Penyintas Kekerasan Seksual, yuk simak podcast Diskusi Psikologi (Disko) melalui link berikut:

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

  • Chang13 days ago

    hadehuhhh

  • asd13 days ago

    asd

  • asd13 days ago

    asd