Konten-konten yang memotret ‘laki-laki tidak bercerita’ cukup banyak ditemukan di media sosial, dan sempat jadi tren netizen mencari afirmasi diri.
Penulis: Astri Septiani
Editor: Wydia Angga

KBR, Jakarta– Konten-konten yang memotret ‘laki-laki tidak bercerita’ cukup banyak ditemukan di media sosial, dan sempat jadi tren netizen mencari afirmasi diri.
Meski video yang beredar bervariasi, namun pesan yang ditampilkan tetap sama. Yaitu, sikap laki-laki yang cenderung menahan diri untuk mengungkapkan perasaan atau masalah pribadi mereka.
Seorang karyawan swasta, Aldy Putra mengaku sebagai salah satu laki-laki yang menganut prinsip “laki-laki tidak bercerita”. Ia menjelaskan alasannya enggan bercerita terutama soal masalah pribadi adalah karena takut merusak image yang sudah lama dibangun bahwa laki-laki itu kuat dan tegar.
Menurutnya, laki-laki khawatir dianggap lemah jika banyak bercerita saat punya masalah. Karena itulah, Aldi memilih bercerita kepada tembok di kamarnya, untuk meluapkan perasaannya ketimbang bercerita dengan orang lain atau psikolog.
“Pernah satu hari cerita ke orang tapi malah dibilangin, 'kamu mah kurang bersyukur'. Malah digituin. Kan kita lagi cerita ya, bukan ngadu sama Tuhan,” ungkap Aldy kepada KBR Media.
Aldy menilai butuh lawan bicara yang tepat agar laki-laki bisa terbuka dan bercerita mengenai keluh kesahnya. Lawan bicara yang tepat dan bisa memahami perasaan orang yang bercerita, kata dia, merupakan solusi untuk mengubah laki-laki mau bercerita.
Melawan Stigma
Sementara itu, sebagian laki-laki tidak sepakat dengan prinsip “laki-laki tidak bercerita”. Wahyu Setiawan, seorang karyawan swasta, justru menyatakan dirinya ingin menepis stigma bahwa laki-laki harus kuat dan tidak perlu bercerita. Bahkan, ia mendorong laki-laki untuk bertemu dengan psikolog jika membutuhkannya.
Wahyu mengaku merasakan manfaatnya meluapkan perasaan dengan bercerita kepada orang terdekat. Ia bahkan tak segan mengakses layanan kesehatan metal yang tersedia, sekadar untuk membuat perasaanya lega dengan bercerita.
“Kalau saya cerita kalau ada sarana atau bisa ke psikolog, ya ke psikolog. Kalau misalkan diberi akses ke psikolog, saya akan memanfaatkan itu untuk bercerita. Tapi kalau enggak, seringnya sih ke orang terdekat ya, keluarga, anak istri bahkan ya, dan mungkin sahabat juga,” kata Wahyu kepada KBR Media.
Laki-laki itu menyebut alasannya bercerita karena butuh telinga orang lain untuk mendengar keluh-kesahnya. Meski tak selalu memerlukan solusi, Wahyu hanya butuh ceritanya tersampaikan sehingga perasaannya lebih lega.
Katanya, perasaannya yang penuh emosi seringkali membaik usai bercerita. Wahyu berharap masyaraat bisa menormalisasi laki-laki yang bercerita. Ia ingin stigma negatif terhadap lelaki yang bercerita itu dihapuskan.
“Bercerita itu mungkin bisa saja mengakses ke psikolog gitu. Karena sebelumnya jika laki-laki ke psikolog itu mungkin dianggap ‘Kenapa sih ke psikolog?’ Ya mungkin ketika itu dinormalisasi ya akan lebih banyak seperti itu sih, lelaki bercerita,” kata dia.

Foto: Ilustrasi laki-laki mengalami burnout dibuat menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI).
Penghalang Terbesar Laki-Laki untuk Berbagi Perasaan
Psikolog Klinis Mutiara Maharini menjelaskan ada faktor penghalang utama bagi pria untuk terbuka dengan perasaannya seringkali berakar pada norma gender tradisional. Sejak kecil, banyak pria diajarkan bahwa "pria harus kuat," "jangan menangis," atau "selesaikan masalahmu sendiri."
Kata Mutiara, berbagai ajaran itu menciptakan tekanan besar bagi laki-laki untuk selalu terlihat tegar, mandiri, dan tidak menunjukkan kerentanan. Akibatnya, mengekspresikan emosi dianggap sebagai tanda kelemahan, yang bertentangan dengan citra maskulinitas yang diharapkan masyarakat.
“Pria yang sangat berpegang pada norma maskulinitas tradisional cenderung lebih sulit mengidentifikasi dan mengekspresikan emosi, serta lebih enggan mencari dukungan profesional,” kata Psikolog Klinis Mutiara Maharini kepada KBR Media.
Mengatasi Fenomena ‘Laki-laki Tidak Bercerita’ dengan Membangun Kebiasaan Berbagi
Menurut Psikolog Klinis Mutiara Maharini, untuk mengubah kebiasaan tidak bercerita pada laki-laki, dibutuhkan pendekatan multi-aspek, baik dari individu maupun lingkungan sosial. Mahari menekankan pentingnya normalisasi laki-laki bercerita dengan secara aktif menormalkan gagasan bahwa laki-laki yang dapat mengekspresikan emosi secara sehat adalah kekuatan, bukan kelemahan.
“Banyak pria mungkin kesulitan karena mereka tidak tahu bagaimana cara mengidentifikasi atau memberi nama emosi mereka. Edukasi tentang literasi emosional, melalui lokakarya atau sumber daya daring, dapat membantu mereka mengembangkan kosakata emosi dan strategi komunikasi yang efektif,” kata Mutiara Maharini kepada KBR Media.
Caranya, kata Mutiara, bisa dimulai dari rumah, di mana orang tua mengajarkan anak laki-laki untuk mengenali dan mengungkapkan emosi mereka sejak dini. Ia juga menyebut pentingnya menciptakan ruang aman sebab laki-laki membutuhkan ruang di mana mereka merasa aman untuk berbicara tanpa dihakimi atau diremehkan. Ruang aman itu bisa berupa kelompok dukungan pria, sesi terapi individu atau kelompok, atau bahkan percakapan yang terbuka dan empatik dengan teman atau anggota keluarga.
Ia menyebut, perlunya contoh peran (role models) alias lebih banyak pria di posisi publik, seperti atlet, musisi, atau pemimpin bisnis, yang secara terbuka berbicara tentang perjuangan kesehatan mental mereka. Ini diyakininya dapat membantu memecah stigma dan menunjukkan bahwa mencari bantuan itu normal dan bahkan berani.

Foto: Ilustrasi laki-laki bercerita "deep talk" dibuat menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI).
Bahaya Tidak Bercerita: Timbulkan Risiko Kesehatan Mental yang Serius
Psikolog Klinis Mutiara Maharini mengingatkan bahwa memendam perasaan dapat memiliki konsekuensi serius bagi kesehatan mental dan fisik pria. Penumpukan emosi yang tidak terproses dapat menyebabkan berbagai masalah diantaranya:
Depresi dan Kecemasan: Emosi yang tertekan dapat bermanifestasi sebagai gejala depresi klinis (seperti kelelahan kronis, kehilangan minat, perubahan pola tidur dan makan) atau gangguan kecemasan (seperti serangan panik, kekhawatiran berlebihan).
Penyalahgunaan Zat: Banyak pria beralih ke alkohol atau narkoba sebagai mekanisme koping untuk menghindari atau mematikan emosi yang tidak nyaman. Ini dapat berkembang menjadi kecanduan dan masalah kesehatan yang lebih parah.
Agresi dan Kekerasan: Emosi yang tidak tersalurkan dengan sehat dapat meledak dalam bentuk kemarahan atau agresi yang merusak, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Namun, menurut Mutiara, yang paling mengkhawatirkan adalah tingkat bunuh diri. Data statistik secara konsisten menunjukkan bahwa tingkat bunuh diri pada laki-laki jauh lebih tinggi dibandingkan perempuan di banyak negara, termasuk Indonesia. Menurut laporan World Health Organization (WHO) ada disparitas gender dalam tingkat bunuh diri dan menekankan perlunya intervensi yang menargetkan pria secara spesifik.
“Meskipun wanita mungkin lebih sering mencoba bunuh diri, pria cenderung menggunakan metode yang lebih mematikan dan memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi. Salah satu alasannya adalah karena pria kurang cenderung mencari bantuan atau berbicara tentang penderitaan mereka, sehingga krisis mereka seringkali tidak terdeteksi hingga terlambat,” ujar Mutiara.

Foto: Ilustrasi kesehatan mental laki-laki dibuat menggunakan teknologi kecerdasan buatan (AI).
Pengaruh Media Sosial: Pedang Bermata Dua
Psikolog Klinis Mutiara Maharini yang juga host podcast Diskusi Psikologi "Dsiko" mengatakan media sosial memiliki pengaruh kompleks pada kesehatan mental laki-laki, yang bisa menjadi penguat tren tidak bercerita. Media sosial seringkali menampilkan gambaran ideal yang tidak realistis tentang maskulinitas, di mana laki-laki digambarkan sukses, kuat, dan tidak pernah menunjukkan kelemahan.
Hal itu menurutnya dapat memperkuat tekanan bagi pria untuk menjaga citra "sempurna" dan menekan emosi otentik mereka. Akibatnya, "toxic masculinity" justru berkembang di platform media sosial. Namun sebaliknya, kata Mutiara, media sosial juga memiliki potensi besar untuk digunakan secara positif. Kampanye kesadaran kesehatan mental, akun-akun yang mempromosikan diskusi terbuka tentang emosi pria, dan komunitas daring diharapkannya dapat membantu memecah stigma.
“Banyak influencer pria yang mulai menggunakan platform mereka untuk berbagi pengalaman pribadi tentang tantangan kesehatan mental, yang dapat menginspirasi pria lain untuk terbuka,” tambahnya.

Foto: Psikolog Klinis sekaligus Host Podcast Disko "Diskusi Psikologi", Mutiara Maharini
Fenomena "Soft Boy" yang Kini Jadi Idaman Perempuan Modern
Menurut Psikolog Klinis Mutiara Maharini, fenomena "soft boy" sebagai idaman perempuan modern adalah perubahan menarik yang mencerminkan pergeseran nilai dalam masyarakat. "Soft boy" adalah pria yang tidak takut untuk menunjukkan sisi emosional, artistik, dan sensitifnya. Mereka mungkin menyukai puisi, seni, atau musik, dan tidak terikat pada gambaran maskulinitas tradisional yang kasar atau dominan.
Menurutnya, ada beberapa alasan mengapa tren ini menjadi populer di kalangan wanita modern:
Pencarian Koneksi Emosional yang Lebih Dalam: Banyak perempuan saat ini mencari pasangan yang dapat diajak berkomunikasi secara emosional, yang bisa memahami dan mendukung perasaan mereka, bukan hanya sosok "pelindung" atau "penyedia". Soft boy menawarkan koneksi emosional yang lebih otentik dan mendalam.
Kelelahan dengan Maskulinitas Toksik: Ada kelelahan yang semakin meningkat dengan bentuk maskulinitas yang toksik, yang sering dikaitkan dengan kontrol, agresi, dan kurangnya empati. Wanita mencari pria yang lebih setara, menghargai, dan menunjukkan kepekaan.
Perubahan Definisi Maskulinitas: Generasi muda memiliki definisi maskulinitas yang lebih cair dan inklusif. Mereka menyadari bahwa kekuatan sejati tidak hanya terletak pada fisik atau dominasi, tetapi juga pada kecerdasan emosional, empati, dan kemampuan untuk menjadi diri sendiri.
Pengaruh Media dan Budaya Pop: Media dan budaya pop semakin banyak menampilkan karakter pria yang lebih nuansa dan emosional, yang membantu menormalisasi dan mempopulerkan citra "soft boy".
Kata Mutiara, Fenomena "soft boy" ini merupakan pertanda positif bahwa masyarakat secara bertahap mulai menghargai spektrum maskulinitas yang lebih luas, dan bahwa kerentanan, empati, dan kecerdasan emosional semakin dianggap sebagai atribut yang menarik dan berharga pada pria. Ini juga membuka jalan bagi pria untuk merasa lebih bebas menjadi diri mereka sendiri tanpa takut dicap "tidak jantan". Mahari juga menekankan pentingnya untuk terus membuka percakapan tentang kesehatan mental pria.
“Mari kita bersama-sama menciptakan lingkungan di mana setiap pria merasa didukung untuk menjadi dirinya sendiri dan mencari bantuan saat dibutuhkan,” pungkasnya.
Baca juga:
- Keuangan Terguncang, Gimana Metode Koping Stres Finansial?
- Beban Berat Generasi Sandwich, si Tulang Punggung Keluarga
- Hadapi Depresi dengan Mandi? Ini Kata Psikolog
Jika anda menyukai pembahasan mengenal kesehatan mental, anda juga dapat mendengarkan podcast Diskusi Psikologi "Disko" produksi KBR Media melalui kbrprime.id, spotify maupun youtube.
