NASIONAL

Transisi Energi dan Kebutuhan Dana Setop Energi Kotor

Saat ini masih terdapat tantangan besar bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya untuk melakukan transisi energi, terutama transfer teknologi dan pendanaan.

AUTHOR / Heru Haetami

transisi energi
Presiden Joko Widodo meninjau panel surya PLTS untuk IKN Nusantara di Penajam Paser Utara, Kaltim, Kamis (2/11/2023). (Foto: ANTARA/Hafidz Mubarak)

KBR, Jakarta - Presiden Joko Widodo menyebutkan dibutuhkan kolaborasi dan langkah strategis dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang makin mengancam.

Jokowi menilai, saat ini masih terdapat tantangan besar bagi Indonesia dan juga negara berkembang lainnya untuk melakukan transisi energi utamanya dalam transfer teknologi dan pendanaan.

“Inilah yang menjadi tantangan dan sering menyulitkan negara-negara berkembang karena itu Indonesia ingin memastikan bahwa transisi energi juga menghasilkan energi yang bisa terjangkau oleh rakyat, bisa terjangkau oleh masyarakat,” ungkap Jokowi saat menyampaikan kuliah umum di Stanford University, San Fransisco, Amerika Serikat, pada Rabu (15/11/2023).

Kementerian Keuangan mengasumsikan kebutuhan biaya transisi energi di tanah air mencapai Rp3.500 triliun.

Menurut Jokowi, pendanaan iklim yang diberikan kepada negara-negara berkembang untuk melaksanakan transisi energi seharusnya lebih bersifat membangun, tidak hanya membebani sebagai utang.

“Sampai saat ini yang namanya pendanaan iklim masih business as usual, masih seperti commercial banks. Padahal seharusnya lebih konstruktif, bukan dalam bentuk utang yang hanya akan menambah beban negara-negara miskin maupun negara-negara berkembang,” katanya.

Jokowi mengeklaim, saat ini Indonesia telah berhasil menurunkan emisi sebesar 91,5 juta ton. Hal itu diikuti laju deforestasi Indonesia hingga tahun 2022 telah ditekan hingga 104.000 hektare. Selain itu kata dia, kawasan hutan seluas 77.000 hektare direhabilitasi, dan 34.000 hektare hutan bakau direstorasi dalam waktu satu tahun.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyebut beberapa langkah telah disiapkan untuk dekarbonisasi khususnya di sektor ketenagalistrikan.

Direktur Ketenagalistrikan, Telekomunikasi, dan Informatika, Kementerian PPN/Bappenas Rachmat Mardiana mengatakan, beberapa kegiatan dilakukan baik itu berkaitan dengan emisi secara langsung maupun tidak langsung.

"Contoh terkait dengan cofiring kemudian juga beberapa ketentuan mengenai pembatasan daripada pembangunan pembangkit listrik batubara. Kemudian juga implementasi daripada sisi east dan ataupun sisi west khususnya di dalam pembangkit listrik batubara. Ini mungkin sebagai bagian ataupun contoh-contoh upaya-upaya dekarbonisasi yang telah dilakukan. Dan tentunya juga ini tidak terlepas dari sisi kesinambungan terkait dengan sustainable daripada pembiayaan sendiri kemudian juga dukungan daripada penyimpanan ataupun baterai yang mungkin bisa juga bersifat menggunakan teknologi ataupun ada gabungan juga dengan pembangkit listrik tenaga air," kata Rachmat dalam diskusi daring tentang Energi, Selasa (28/11/2023).

Namun demikian, Rachmat Mardiana menyebut untuk merealisasikan upaya itu dihadapkan sejumlah tantangan besar seperti dukungan investasi dan kerangka regulasi yang dikeluarkan pemerintah.

"Mengingat dari sisi investasi yang telah dilakukan di energi fosil juga sudah besar. Kemudian juga dari sisi investasi ke depan untuk yang mengarah kepada yang terbarukan juga diperlukan biaya investasi yang besar. Termasuk juga tentunya dukungan dari komitmen pemerintah baik itu dari sisi kerangka regulasi, kemudian juga dari sisi kelembagaan, kemudian juga dari sisi pembiayaan," katanya.

Baca juga:

Hasil studi Institute for Essential Service Reform (IESR), menyebut di tengah upaya transisi energi terjadi peningkatan konsumsi listrik yang cukup signifikan.

Itu sebab menurut peneliti IESR, Fadhil Ahmad Qamar, pemerintah perlu mempersiapkan sumber energi listrik yang terbarukan, untuk memenuhi peningkatan hingga 42 persen di 2060.

"Secara angka absolut besar energi kebutuhan energi untuk yang bersumber dari listrik tadi akan meningkat hampir mencapai kali lipat. jadi sebagai gambaran memang peningkatan konsumsi energi listrik ini juga tersebar di berbagai sektor. Meskipun begitu dapat dilihat juga sumber energi dari bahan bakar fosil masih ada masih dibutuhkan di beberapa sektor yang memang sulit untuk dinihilkan emisinya.,” kata Fadhil dalam diskusi daring tentang Energi, Selasa (28/11/2023).

Fadhil mengungkap, peningkatan konsumsi listrik itu berasal dari konsumsi atau pergeseran dari konsumsi energi di rumah tangga untuk memasak dan elektrifikasi di sektor transportasi dengan adanya adopsi kendaraan listrik.

"Ketika Indonesia memang menargetkan untuk bisa mencapai net zero emission di sektor energi salah satunya maka suplai energi listrik atau suplai kebutuhan listrik tadi harus dipasok dari sumber-sumber pembangkitan listrik yang bersih dan juga berkelanjutan. Dan juga perlu adanya upaya untuk dikarbonisasi di sektor-sektor riil yang mana tadi mencakup sektor industri dan transportasi," katanya.

Fadhil menyebut, pemerintah dapat memperkuat kapasitasnya dalam pembuatan kebijakan dan peraturan yang mendukung inisiatif dan teknologi yang rendah karbon. Menurutnya penggunaan teknologi negatif emisi dapat menjadi solusi namun terkendala dengan penggunaannya yang membutuhkan biaya yang mahal.

Editor: Agus Luqman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!