indeks
Prabowo Absen Bahas HAM dan Toleransi saat Pidato, Tandanya?

Prabowo lebih banyak mengumbar klaim soal capaian program prioritasnya, mulai dari Makan Bergizi Gratis, Cek Kesehatan Gratis, hingga Sekolah Rakyat.

Penulis: Putri Khalisa, Ninik Yuniati, Heru Haetami, Aura Antari

Editor: Sindu

Google News
Prabowo Absen Bahas HAM dan Toleransi saat Pidato, Tandanya?
Presiden Prabowo saat pidato di Sidang Tahunan MPR, Sidang Bersama DPR-DPD, Jakarta, Jumat, 15 Agustus 2025. Foto: Tangkapan layar YouTube DPR

KBR, Jakarta— Presiden Prabowo Subianto sama sekali tak membahas isu penegakan kasus hak asasi manusia (HAM) saat pidato perdana di Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR-DPD di Gedung Nusantara, Jakarta, Jumat, 15 Agustus 2025.

Pun demikian dengan kasus-kasus intoleransi yang muncul di 299 hari masa pemerintahannya, tak sekalipun disinggung. Padahal, kebebasan beragama dan beribadah merupakan hak konstitusional yang harus dijamin negara. Demikian pula hak asasi manusia.

Dalam momen itu, Prabowo lebih banyak mengumbar klaim soal capaian program prioritasnya, mulai dari Makan Bergizi Gratis, Cek Kesehatan Gratis, hingga Sekolah Rakyat.

“Sudah ada 5.800 Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi di 38 provinsi. MBG telah menciptakan 290.000 lapangan kerja baru di dapur-dapur dan melibatkan satu juta petani, nelayan, peternak, dan UMKM,” klaimnya.

red
Presiden Prabowo saat pidato di Sidang Tahunan MPR, Sidang Bersama DPR-DPD, Jakarta, Jumat, 15 Agustus 2025. Foto: Tangkapan layar YouTube DPR


Komitmen Prabowo

Absennya kepala negara membahas dua isu itu dikritik lembaga advokasi HAM, SETARA Institute. Menurut Direktur Eksekutif SETARA Institute, Halili Hasan, intoleransi yang marak belakangan ini membahayakan fondasi kebhinekaan Indonesia.

“Itu menunjukkan beliau tidak punya perhatian cukup terhadap isu kebebasan beragama dan penghormatan terhadap hak konstitusional warga negara. Padahal, toleransi adalah modal sosial bangsa,” ujar Halili.

Halili juga menyinggung kasus intoleransi yang terus berulang sejak akhir 2024 hingga pertengahan 2025. Ia menilai pemerintah gagal mencegah pengulangan kasus dengan prinsip non-repetition.

“Dari penyegelan masjid hingga penolakan pembangunan gereja. Ketiadaan sikap tegas presiden memperlihatkan kegagalan pemerintah mewujudkan prinsip tidak boleh ada keberulangan,” tegasnya.

Kata dia, sebagian besar korban intoleransi adalah kelompok minoritas, baik internal agama seperti Ahmadiyah dan Syiah, maupun lintas agama seperti Kristen dan Katolik.

“Kasus di Sukabumi, Depok, hingga Padang menunjukkan minoritas selalu menjadi korban mayoritarianisme dan favoritisme pemerintah,” jelas Halili.

Untuk perbaikan, Halili menekankan perlunya revisi regulasi diskriminatif, peningkatan kapasitas aparat, serta penegakan hukum yang adil. Ia juga menyoroti perlunya program literasi lintas agama untuk mengurangi segregasi dan konservatisme yang kian meningkat.

“Regulasi diskriminatif seperti PBM (peraturan bersama menteri) 2006 harus direvisi. Aparat negara mestinya melindungi, bukan justru membiarkan bahkan berpihak pada mayoritas. Tanpa penegakan hukum yang adil, pelanggaran intoleransi akan terus berulang,” pungkasnya.

SETARA menyebut, kondisi kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) 2024 menunjukkan kemunduran di akhir pemerintahan Presiden Jokowi dan awal rezim Presiden Prabowo.

Data Intoleransi

Catatan SETARA, awal Juni 2025, Rektor IAIN Manado membatalkan acara bedah buku “Menyingkap Tabir Kebenaran Ahmadiyah”. Pembatalan dilakukan setelah mendapat tekanan dari MUI Kota Manado dan Provinsi Sulawesi Utara.

Mei 2025, warga Samarinda kembali menolak pendirian Gereja Toraja Kelurahan Sungai Keledang. Hal sama juga mereka lakukan tahun sebelumnya.

Di Tomohon, pendirian Masjid Al-Muhajirin masih terkendala sejak 2021. Hingga kini Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) belum memberikan rekomendasi pendirian masjid, meski Kemenag setempat telah menyepakati.

Sementara itu hingga 5 Agustus 2025, Komnas Perempuan melaporkan delapan kasus intoleransi, termasuk pembubaran acara retret remaja Kristen di Sukabumi pada 27 Juni 2025.

Lalu, penolakan pembangunan Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) di Depok pada 5 Juli 2025, dan persekusi jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) di Padang pada 27 Juli 2025.

red
Kondisi Rumah Doa GKSI Padang usai diperbaiki pasca-diserang sejumlah orang, Senin 28 Juli 2025. Foto: S. Taufik


Suara Korban

Dalam konteks GKSI di Padang, Pendeta Fatiaro Dachi menjelaskan, rumah doa itu merupakan tempat pembinaan dan pendidikan anak-anak sekolah untuk mendapatkan nilai pelajaran agama Kristen.

Selama ini, pembinaan anak-anak ia lakukan dengan datang dari rumah ke rumah, karena jauh jika harus ke GKSI Anugerah Padang di Kecamatan Padang Selatan.

"Kejadiannya sudah 6 tahun dari rumah ke rumah, karena binaan pendidikan agama ini tidak terjangkau mereka ke gereja sana. Ada sedikit kekumpul uang, maka saya bikinlah," kata Daichi saat mediasi di Kantor Camat Koto Tangah, Minggu malam, (28/7/2025).

Daichi mengatakan, mendapat pesan Whatsapp dari warga, yang menyebut rumah itu gereja. Warga mendapat informasi itu dari petugas yang memasukkan jaringan listrik ke rumah doa.

"Mereka mau bakar, mau hancurkan," ujarnya.

Minggu sore, saat Dachi dan anak-anak didampingi orang tuanya berkegiatan di rumah doa, Dachi diajak ketua RT dan ketua RW ke sebuah warung terdekat. Kemudian, terjadi keributan antarwarga yang tidak ia kenali identitasnya.

"Ketika beliau ini menyatakan, bubarkan itu tidak diizinkan. Ramai orang itu memerangi itu (merusak rumah doa)," jelasnya.

Puluhan anak tengah belajar agama Kristen saat kejadian. Dua anak berusia 9 dan 11 tahun turut menjadi korban pemukulan dan dilarikan ke rumah sakit.

"Orang memegang kayu, anak kecil dipukul. Kursi, kipas angin, meteran ditutupkan," pungkasnya.

red
Polisi bersenjata berjaga di rumah doa lokasi pengusiran dan penyeragan kegiatan rumah doa GSKI Padang, Kelurahan Padang Sarai, Kematan Koto Tangan, Kota Padang, Sumatra Barat, Senin 28 Juli 2025. Foto: S. Taufik


Keprihatinan Para Tokoh

Maraknya intoleransi menimbulkan keprihatinan para tokoh yang tergabung dalam Gerakan Nurani Bangsa (GNB).

Omie Komariah Madjid menyebut kesetaraan dalam beragama, beribadah, dan berkeyakinan, hingga kini belum tercapai. Padahal, itu adalah cita-cita para pendiri bangsa.

“Kita lihat banyak terjadi warga yang akan bersembahyang, direcokin atau digagalkan dan itu terjadi di beberapa tempat,” ucap istri mendiang cendekiawan muslim, Nurcholis Madjid ini dalam konferensi pers GNB di Galeri Nasional, Jakarta, Kamis, (14/8/2025).

Omie menekankan tidak boleh ada diskriminasi dan tirani keyakinan

“Segala bentuk tirani keyakinan adalah merupakan pengkhianatan terhadap prinsip dasar dari kesetaraan,” tegasnya.

Alissa Wahid, putri sulung Gus Dur, juga prihatin kasus-kasus intoleransi kembali marak. Padahal, situasi KBB sempat membaik beberapa tahun lalu.

“Pada 2022-2023, sudah berkurang. Misalnya muncul dalam laporan tahunan SETARA Institute, penyelenggara negara yang melakukan pelanggaran juga menurun, sehingga ketika sekarang ini bermunculan kasus-kasus intoleransi kembali, itu menjadi sebuah pertanyaan besar untuk kita,” ujar Alissa usai konpers GNB.

Alissa mewanti-wanti jangan sampai kondisi toleransi malah memburuk. Penegakan hukum berbasis konstitusi menjadi salah satu kuncinya.

Direktur Jaringan Gusdurian ini mengkritik pemerintah dan aparat hukum yang cenderung memakai pendekatan kerukunan dalam mengelola keberagaman di masyarakat.

“Jadi, bahaya justru kalau pakai pendekatan kerukunan, itu perspektifnya mayoritarianisme. Yang paling penting sebetulnya penegakan hukum, atas hak konstitusi warga negara,” tutur dia.

red
Tokoh-tokoh Gerakan Nurani Bangsa saat konferensi pers di Galeri Nasional, Jakarta, Kamis, (14/8/2025). (Dari kiri ke kanan) Karlina Supelli, Pdt. Jack Manuputty, Ignatius Kardinal Suharyo, Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, Quraish Shihab, Omi Komariah Nurcholis Madjid, Franz Magnis Suseno, Alissa Wahid, dan Lukman Hakim Saifuddin. (Foto: Heru/KBR).


Kondisi Hak Asasi Manusia

Lalu, bagaimana dengan kondisi pemenuhan dan penegakan HAM di tanah air, yang juga tak disebut presiden dalam pidatonya.

Amnesty International Indonesia (AII) mencatat, sepanjang Januari–Juni 2025 terdapat 54 kasus dengan 104 pembela HAM menjadi korban. 

Dari jumlah itu, polisi menjadi pelaku utama dengan keterlibatan pada 20 kasus, disusul perusahaan swasta (7 kasus), pegawai pemerintah (3), Satpol PP (2), dan TNI (1).

Bentuk serangan bervariasi, mulai kriminalisasi dan penangkapan hingga intimidasi, kekerasan fisik, dan teror terhadap lembaga.

Salah satu kasus menonjol terjadi pada 16 Mei 2025, ketika 11 warga adat Maba Sangaji di Halmahera Timur dikriminalisasi karena menolak aktivitas tambang di tanah ulayat.

Kasus lain menimpa jurnalis saat meliput demonstrasi Hari Buruh di Semarang, serta teror terhadap kantor KontraS dan redaksi Tempo pada Maret 2025.

Komitmen HAM Dipertanyakan

Direktur Eksekutif AII, Usman Hamid menyebut, pengabaian isu HAM dalam pidato kenegaraan menunjukkan bagaimana hal fundamental itu kian dijauhkan dari agenda utama kebangsaan.

“Negara merdeka ini justru memakai hukum untuk membatasi hak rakyat atas kemerdekaan berekspresi ketika menyuarakan kritik, mempertahankan hak-hak mereka, bahkan dianggap sebagai ‘mengancam’ pemerintah,” kata Usman dalam pers rilisnya yang diterima KBR.

red
Kekerasan polisi dan pelanggaran HAM lain saat aksi damai Hari Buruh Internasional 2025. Foto: LBH Semarang/AII


Perlindungan Hukum Lemah

Bukan hanya Amnesty, Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra turut menyoroti maraknya serangan terhadap pembela HAM. Menurutnya, ini tak lepas dari lemahnya perlindungan hukum dari negara.

“Berbagai kasus serangan, kriminalisasi, dan kekerasan terhadap pembela HAM selama ini terjadi akibat regulasi yang sifatnya karet. Negara seharusnya memberikan jaminan perlindungan normatif melalui revisi KUHAP, Undang-Undang HAM, dan aturan lainnya,” ujar Ardi.

Ardi juga mengkritisi, rendahnya pemahaman aparat pemerintah mengenai HAM. Situasi itu turut memperparah kondisi. Ia mencontohkan kasus seorang peneliti perempuan di Bandung yang menjadi korban doxing pemerintah daerah.

“Ini menunjukkan gagalnya pemahaman aparat tentang sistem demokrasi. Kritik dan masukan masyarakat seharusnya diterima, bukan dibalas dengan serangan,” katanya.

Absennya isu HAM dalam pidato Presiden Prabowo di Sidang Tahunan MPR 2025 memperlihatkan lemahnya komitmen pemerintah.

“Presiden gagal melihat problem penegakan hukum, termasuk praktik kekerasan oleh kepolisian. Isu ini semestinya menjadi concern utama, bukan diabaikan,” ujar Ardi.

Ia mendesak pemerintah memperketat pengawasan terhadap kepolisian dan kejaksaan melalui mekanisme eksternal serta memastikan penegakan hukum berjalan transparan.

“Reformasi institusi penegak hukum harus dilakukan. Jika tidak, ada risiko presiden menggunakan aparat sebagai alat politik, menentukan siapa yang boleh ditangkap atau dibebaskan berdasarkan kepentingan kekuasaan,” tegasnya.

red
Aksi Kamisan. Toto Santiko Budi via Shutterstock/AII


Faktor Personal Presiden

Ardi Manto Adiputra menduga, pengalaman dan latar belakang personal presiden berpotensi membuatnya terjebak dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran HAM.

Pengalaman dan latar belakang yang dimaksud ialah keterlibatan Prabowo dalam penculikan dan penghilangan paksa aktivis pada 1997-1998.

Pada 2013, dalam sejumlah surat kabar, bekas Komandan Kopassus Prabowo Subianto itu mengakui telah menculik sejumlah aktivis 1997-1998.

Prabowo mengaku terpaksa mengikuti instruksi atasan, karena kondisi politik saat itu sedang kacau. Ia hanya mengakui menculik sembilan aktivis dan melepaskannya dengan selamat. Sementara, 13 aktivis lainnya masih hilang jejaknya.

“Salah satunya penyebab dari lemahnya Prabowo merespons isu-isu hak asasi manusia adalah karena faktor pribadinya sendiri. Faktor pribadinya yang memang bermasalah terkait isu hak asasi manusia. Jadi, itu ada faktor personal yang ikut membuat dia terjebak pada isu ini,” ujar Ardi.

Menurutnya, ketiadaan perhatian Presiden Prabowo terhadap isu HAM dan toleransi berpotensi menimbulkan risiko serius jangka panjang.

“Kalau pelanggaran HAM terus dibiarkan, praktik impunitas akan makin kuat. Pelaku tidak hanya tidak dihukum, tetapi kadang malah diberi penghargaan jabatan. Ini membuka peluang besar agar kejahatan serupa berulang di masa depan,” ujar Ardi.

Kondisi ini tidak hanya merugikan korban, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dan legitimasi pemerintah dalam menjamin hak asasi warganya.

Selain itu, hingga kini belasan kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia masih belum tuntas, sejak puluhan tahun silam. 

Antara lain peristiwa Semanggi I dan II; tragedi Wasior, Wamena, hingga Paniai-Papua; juga insiden “Simpang KKA” dan “Rumah Geudong”-Aceh. 

Keluarga korban pesimistis kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut bisa dituntaskan.

Baca juga:

HAM
Hak Asasi Manusia
Prabowo Subianto
Sidang Tahunan MPR
Intoleransi
Toleransi

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...