KBR, Jakarta - Bekas Panglima ABRI Wiranto angkat suara soal tuduhan dirinya mendalangi penculikan aktivis di era 1998. Ketua Umum Hanura itu dikatakan memberi perintah kepada Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad.
Penulis: Yudi Rachman
Editor:

KBR, Jakarta - Bekas Panglima ABRI Wiranto angkat suara soal tuduhan dirinya mendalangi penculikan aktivis di era 1998. Ketua Umum Hanura itu dikatakan memberi perintah kepada Prabowo Subianto saat menjabat sebagai Pangkostrad.
Wiranto bercerita soal tuduhan itu dalam jumpa pers di Posko Forum Komunikasi Pembela Kebenaran (Forum KPK) Jalan HOS Cokroaminoto Jakarta, Kamis (19/6).
Ada 10 jawaban dari 10 pertanyaan yang ditanyai Wiranto. Jawaban itu sudah dicatat dalam lembaran kertas, dan dibaca. Kemudian diberikan wartawan.
Berikut Pernyataan lengkap Wiranto:
Akhir—akhir ini telah muncul kembali pemberitaan tentang keputusan DKP terhadap para Prajurit yang terlibat dalam aksi penculikan di tahun 1998, yang ternyata telah menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat dengan adanya pernyataan-pernyataan dari banyak pihak yang berbeda satu dengan yang lainnnya.
Dengan banyaknya pertanyaan dari masyarakat dan wartawan, maka sesuai dengan yang telah saya janjikan, maka pada hari ini saya kana menyampaikan penjelasan tentang hal tersebut dengan catatan:
Pertama, dalam menjawab pertanyaan ini posisi saya bukan dalam kapasitas sebagai ketua umum partai politik yang sedang mendukung salah satu kontestan, namun lebih tepat sebagai mantan Menhankam Panglima ABRI saat peristiwa itu terjadi.
Kedua, sebagai seorang muslim yang baik, maka wajib hukumnya untuk melakukan pelurusan terhadap sesuatu yang tidka benar dengan tangannya, mulutnya atau doanya.
Ketiga, sebagai mantan prajurit yang masih berjiwa saptamarga, pelru mengamalkan mata ketiga, “Kami Ksatria Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta membela kejujuran, kebenaran dan keadilan”.
Dengan pedoman tersebut maka apa yang akan saya sampaikan benar-benar hanya ingin meluruskan sesuatu yang tidak benar, bukan untuk kepentingan kampanye, menyalahkan orang lain atau maksud-maksud buruk lainnya.
Apa yang akan saya sampaikan ini semoga dapat menjawab keinginan publik yang memang membutuhkan informasi yang akurat karena menyangkut kredibilitas calon pemimpin nasional.
Berikut ini rangkuman pertanyaan dari para wartawan beserta jawaban penjelasan dari saya:
Bagaimana tanggapan bapak tentang masalah rekomendasi DKP (Dewan Kehormatan Perwira) terhadap kasus penculikan tahun 1998 yang saat ini telah beredar di masyarakat dengan melibatkan salah satu kandidat presiden? Apakah bapak setuju hal itu merupakan pembocoran rahasia TNI?
Syaa tidak setuju bahwa tersebarnya produk DKP merupakan pembocoran rahasia TNI, mengapa? Pertama, karena kasus tersebut yang menjadi korban adalah masyarakat sipil. Maka pihak TNI tidka bisa lagi mengklaim bahwa itu rahasia internal TNI yang tidak bisa dipublikasikan.
Kedua, di tahun 1998, tatkala kasus tersebut mencuat, saya selaku Menhankam/Pangab secara bertahap telah menjelaskan kepada masyarakat atas keterlibatan satuan TNI-AD dalam aksi penculikan, disertai permohonan maaf atas kejadian tersbeut, dan menjamin akan melakukan pengusutan dan penindakan terhadap oknum yang terlibat (lihat pemberitaan koran Kompas tanggal 4 Agustus 1998).
Ketiga, dalam pelaksanaannya, semua kegiatan mulai dari pembentukan DKP dan mahkamah militer, kinerja DKP beserta saran DKP kepada panglima, dan kemudian keputusan saya untuk setuju dan meneruskan kepada presiden sampai dengan keputusan pemberhentian dari dinas keprajuritan terhadap Letnan Jenderal Prabowo Subianto.
Sudah secara terus menerus dipublikaiskan kepada umum lewat media, dan bukan sesuatu yang dirahasiakan (lihat pemberitaan koran Kompas tanggal 5 s/d 29 agustus 1998). Dengan demikian kasus tersbeut sudah terbuka, sudha menjadi milik publik. Kalau sekarang dianggap sebagai pembocoran rahasia Negara, maka pendapat tersebut sungguh aneh, emngada-ada, dan tidak sesuai kenyataan.
Ada tuduhan bahwa beberapa mantan jenderal merupakan pihak yang membocorkan keputusan DKP yang katanya rahasia itu. Bagaimana respon bapak dalam hal ini?
Seperti yang sudah saya sampaikan di atas bahwa kasus itu sebenarnya bukan rahasia lagi. Karena di tahun 1998 secara subtantif telah dipublikasikan kepada umum. Dengan demikian sebenarnya pertanyaan Ini sudah tidak lagi relevan.
Seperti kita ketahui semua produk administratif institusi ABRI diarsipkan di sekertariatan umum Mabes ABRI. Selaku pribadi dan panglima selama saya menjabat, tidak pernah menyimpan dokumen surat-menyurat yang jumlahnya bisa ribuan. Tidak ada staf khusus yang meng-copi serta menyimpan sura-surat panglima.
Menurut saya yang penting bukan tuduh menuduh siapa yang membocorkan, namun justru harus diarahkan untuk menguji materi dari dokumen tersebut. Perlu diklarifikasi apakah dokumen itu otentik. Perlu diuji keaslian tanda tangan para pejabat DKP yang saat ini masih sebagian besar hidup. Dan hanya satu yang telah wafat yaitu Letjen (Alm) Arie Kumaat.
Dapat ditanyakan kembali apakah kandungan materi dalam surat keputusan DKP tersebut sesuai seperti yang telah diputuskan DKP waktu itu. Hasil klarifikasi tersebut menurut hemat saya sangat penting karena menyangkut kredibilitas salah satu kandidat presiden yang bakal memikul kepercayaan rakyat dalam 5 tahun mendatang, serta memenuhi prinsip akuntabilitas pimpinan nasional.
Ada tuduhan bahwa pembocoran rekomendasi DKP serta penjelasan beberapa tokoh militer yang ditunjuk sebagai bagian dari DKP merupakan langkah yang sangat disesalkan, disebabkan rasa dengki, dendam dan iri hati karena kalah bersaing dan sebagainya. Bagaimana pendapat Bapak?
Kalah bersaing dalam organisasi militer sudah biasa terjadi dan tidak ada masalah apalagi sampai dendam dan sakit hati. Misalnya pada saat saya diangkat menjadi Panglima ABRI. Saat itu mendahului sampai 7 angkatan (saya angkatan ‘68 menggantikan angkatan ’61). Apa pada dendam, benci dan iri hati pada saya? Rasanya tidak.
Contoh lain, Pak SBY adalah angkatan ‘74, saya angkatan ‘68, ternyata dalam persaingan, beliaulah yang terpilih menjadi Presiden. Apakah saya dendam dan iri hati? Tidak.
Saya yakin apa yang dilakukan para purnawirawan Jenderal itu didasari rasa tanggungjawab yang besar bagi masa depan bangsa dan negara, sehingga perlu menyampaikan kebenaran yang belum diketahui masyarakat luas. Mereka punya hak untuk menyampaikan kebenaran, memaparkan fakta sejarah apa adanya, tanpa polesan.
Sebagai purnawirawan, mereka itu masih memliki jiwa Saptamarga antara lain yang ke-3 “Kami Ksatria Indonesia yang bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa serta membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan”. Kalau kemudian yang disampaikan itu ternyata sesuatu yang tidak benar, tidak ada faktanya, dibawa saja ke ranah hukum, dan bukan penghujatan lewat media.
Barangkali Bapak sebagai pelaku sejarah dapat memberikan penjelasan. Apakah Pak Prabowo Subianto, mengundurkan diri dari dinas militer dengan hormat seperti yang sering disampaikan oleh tim sukses beliau, atau diberhentikan dengan hormat, atau dipecat tidak dengan hormat?
Saya tak ingin terjebak pada untuk membahas istilah-istilah seperti di atas, karena perbedaan istilah tersebut sarat dengan kepentingan-kepentingan politik yang beragam. Secara normatif, seorang prajurit diberhentikan dari dinas keprajuritan pasti ada sebabnya ada alasannya.
Dari sebab itulah muncul pemahaman berhenti “dengan hormat” apabila yang bersangkutan habis masa dinasnya, meninggal dunia, sakit parah sehingga tak dapat melaksanakan tugas, cacat akibat operasi tempur atau kecelakaan, atau permintaan sendiri. Sedangkan diberhentikan “tidak dengan hormat”, karena perbuatannya yang melanggar Saptamarga dan Sumpah Prajurit atau melanggar hukum.
Sehingga tidak pantas lagi sebagai prajurit TNI yang mengedepankan serta membela kejujuran, kebenaran dan keadilan. Dalam kasus tersebut pemberhentian Pak Prabowo sebagai Pangkostrad disebabkan adanya keterlibatan kasus penculikan pada saat menjabat Danjen Kopassus.
Perbuatan tersebut telah dianggap melanggar Samptamarga, Sumpah Prajurit, etika keprajuritan serta beberapa pasal dalam KUHP. Dengan adanya fakta tersebut, istilah diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat sudah tak perlu lagi untuk diperdebatkan, sejatinya masyarakat sudah dapat melakukan penilaian.
Apa pertimbangan Bapak sebagai Panglima TNI waktu itu membentuk Dewan Kehormatan Perwira untuk kasus penculikan?
Ada prosedur yang berlaku dalam tubuh TNI bahwa untuk Perwira Menengah atau Tinggi apabila terlibat satu kasus yang cukup berat, maka tidak serta merta Panglima membuat keputusan yang sangat boleh jadi akan dipengaruhi kepentingan pribadi. Seperti halnya pada tahun 1952 Menteri Pertahanan saat itu Sri Sultan HB-IX Dewan Kehormatan bagi kasus Kolonel Bambang Supeno, Dewan Kehormatan dibentuk lagi untuk menyelesaikan pergolakan PRRI/Permesta.
Selanjutnya pada kasus penembakan rakyat sipil di kuburan Santa Cruz, Timor Timur (saat itu masih Propinsi ke-27), maka Kasad Edy Sudrajad membentuk Dewan Kehormatan untuk memeriksa Pangdam Udayana atas kemungkinan keterlibatannya. Pada kasus Penculikan aktivis 1998.
Saya pun sebagai Panglima ABRI membentuk Dewan Kehormatan Perwira untuk memastikan seberapa jauh keterlibatan Pangkostrad dalam kasus tersebut. Pada kenyataannya DKP melalui sidang yang jujur telah memastikan keterliatan Pangkostrad yang saat kasus penculikan tersebut berlangsung masih menjabat sebagai Danjen Kopassus.
Selanjutnya DKP secara bulat merekomendasikan pemberhentian Letjen Prabowo Subianto dari dinas keprajuritan. Sedangkan, Tim Mawar sebagai pelaku operasional lapangan dilanjutkan pada proses Pengadilan Mahkamah Militer.
Editor: Pebriansyah Ariefana