NASIONAL

PBHI: Tak Ada Urgensi Perpanjangan Masa Dinas Panglima TNI

Enggak ada urgensinya, momentumnya politik, dampaknya bisa jadi alat politik praktis bagi penguasa.

AUTHOR / Hoirunnisa

PBHI: Tak Ada Urgensi Perpanjangan Masa Dinas Panglima TNI
Panglima TNI Yudo Margono di sela rapat kerja dengan Komisi I DPR dan Kementerian Pertahanan di kompleks Parlemen, Rabu (13/9/2023). ANTARA FOTO/Aditya Pradana

KBR, Jakarta - Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) menilai perpanjangan masa dinas Panglima TNI Yudo Margono tidak mendesak. Wacana itu mencuat seiring masa pensiun Yudo pada Desember tahun ini.

Ketua PBHI Julius Ibrani menilai, perpanjangan masa dinas rawan dijadikan alat politik menjelang Pemilu 2024.

"Dampaknya kalau kita bicara teori yang tadi soal fisik dan organik, enggak ada esensinya, enggak ada urgensinya, momentumnya politik, dampaknya bisa jadi alat politik praktis bagi penguasa. Ini yang berbahaya," ujar Julius kepada KBR, Kamis (4/10/2023).

"Yang kedua, dampaknya yang perlu kita telisik lebih jauh adalah, Panglima Yudo ini kan bukan tanpa celah. Banyak hal-hal prinsipil yang perlu dikoreksi. Misalnya apa? Soal kasus korupsi dan kasus-kasus lainnya. Termasuk pengerahan pasukan di ruang sipil," sambungnya.

Baca juga:

Julius menyebut pertimbangan masa jabatan Panglima TNI harus sesuai dengan fungsi pertahanan yakni fisik dan organik. Dia menilai, yang paling penting saat ini adalah peremajaan di tubuh TNI.

Selain itu kata Julius, perpanjangan masa dinas merupakan langkah yang bertentangan dengan hukum. Pasal 53 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menyatakan, usia pensiun bagi perwira TNI adalah 58 tahun.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo pernah merespons opsi perpanjangan masa jabatan Panglima TNI Yudo Margono.

"Masih dalam proses," ujar Jokowi di Pasar Jatinegara, Jakarta Timur, Selasa (19/9/2023).

Editor: Wahyu S.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!