indeks
Memahami Keterlibatan WNI di Konflik Suriah dengan Perspektif Gender, Mengapa Penting?

“Buku ini ingin memberikan perspektif berbeda dari narasi tunggal yang sering kita dengar tentang Suriah, yang selalu dikaitkan dengan terorisme,”

Penulis: Muthia Kusuma

Editor: Rony Sitanggang

Google News
Suriah
Peluncuran Buku

KBR, Jakarta- Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail berbagi pengalaman mengenai keterlibatannya dalam proses evakuasi warga negara Indonesia (WNI) dari Suriah. Dalam wawancaranya dengan KBR, Noor Huda mengungkapkan latar belakang penulisannya terkait buku "Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah".

Buku ini berfokus pada kisah anak-anak dan keluarga Indonesia yang terjebak dalam konflik di Suriah, di mana sebagian besar dari mereka sering dilabeli sebagai foreign terrorist fighters (FTF), yang identik dengan kelompok teroris.

Menurut Noor Huda Ismail, pada Agustus 2017, ia terlibat dalam proses evakuasi 18 WNI di Suriah bersama Kementerian Luar Negeri Indonesia. Ia mencatat, selain film yang telah diluncurkan sebelumnya berjudul "Road to Resilience", ada juga buku yang menceritakan narasi lebih dalam mengenai kondisi anak-anak dan keluarga Indonesia yang terperangkap di tengah konflik tersebut.

"Orang yang pergi ke Suriah sudah pasti teroris. Nah ini dengan narasi tunggal seperti ini berbahaya. Tidak hanya kita menutup kemungkinan ada alasan lain ke Suriah selain berjihad, kita juga melupakan ada loh perempuan dan anak-anak itu yang justru jadi korban dari ideologi, dan itu mereka hari ini masih di sana. Itu mau kita apain mereka?" jelas Noor Huda kepada KBR, Kamis (6/3/2025).

Lebih lanjut, Noor Huda mengungkapkan, dalam buku tersebut ia berupaya memberikan ruang bagi mereka yang terlibat, bukan hanya untuk membicarakan jihad, tetapi juga untuk menggambarkan bagaimana individu yang sebelumnya terjebak dalam ideologi ekstrem dapat kembali menemukan harapan.

Tagline gerakan yang ia bawa, Beyond Second Chance, menggambarkan semangat untuk memberikan kesempatan kedua bagi mereka yang terlibat dalam konflik tersebut.

"Tagline gerakan kita di saya itu kan namanya Beyond Second Chance itu, ya lu nggak hanya kita kasih kesempatan kedua, tetapi kita itu juga ingin orang yang mendapatkan kesempatan kedua ini menjadi bagian dari perubahan itu sendiri," jelasnya.

Penanganan Kembalinya WNI dari Suriah

Selain itu, Noor Huda menyampaikan adanya kekhawatiran mengenai kurangnya kesiapan masyarakat dan pemerintah dalam menangani kembalinya WNI yang terlibat dalam konflik Suriah.

"Nah kan kalau misalnya keputusan repatriasi mereka bawa pulang atau enggak itu kan keputusan politik, bukan keputusan seorang scholar seperti saya atau aktivis seperti saya kan bukan ya. Saya fokus pada kemampuan saya which is itu story telling. Nah sebagai bagian dari masyarakat dan kita tahu negara aja nggak bisa, itu harus ada kerja sama antara negara dan civil society, masyarakat luas, terutama peran keluarga," ucap Noor Huda.

Noor Huda juga menyoroti peran penting masyarakat sipil dalam membantu proses reintegrasi para WNI yang pulang dari Suriah. Ia mengingatkan, negara harus bekerja sama dengan masyarakat untuk memastikan mereka bisa berintegrasi kembali dengan baik tanpa stigma negatif yang membekas.

Menurutnya, meskipun sebagian dari mereka terpapar ideologi ekstrem, reintegrasi yang tepat dapat memberikan peluang bagi mereka untuk berubah dan berkontribusi pada masyarakat.

Melalui buku dan film yang ia buat, Noor Huda berharap dapat memperluas pemahaman masyarakat mengenai kompleksitas masalah ini. Ia juga mengajak kampus dan masyarakat untuk lebih peduli terhadap isu-isu seperti ini, karena hal ini seringkali terkait dengan orang-orang terdekat kita.

"Tidak hanya mengandalkan pusat aja, karena ada gap yang besar antara pengetahuan teman-teman di BNPT, Densus 88, yang tentang isu ini, dan pemerintah yang ada di daerah. Mereka itu punya wewenang tapi knowledge itu kan kurang ya. Semoga dengan buku ini gitu saya ngajak kampus untuk bisa minimal aware ada loh kasus kayak seperti ini dan itu seringkali bahkan terkait dengan diri kita gitu, saudara, teman," jelasnya.

Tantangan Penulisan Buku

Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail juga membahas tantangan terbesar yang dihadapi saat menulis buku "Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah". Menurutnya, tantangan utama yang dihadapi adalah memastikan etika dalam proses wawancara dengan Warga Negara Indonesia (WNI) yang terlibat dalam konflik di Suriah.

"Sebagai seorang akademisi, saya memiliki sumpah etika yang sangat penting, yakni tidak menyebabkan masalah lebih lanjut bagi orang yang saya wawancarai. Oleh karena itu, setelah wawancara, saya mengirim transkrip kepada mereka untuk dikoreksi,” ujarnya.

Noor Huda juga menambahkan, selain memastikan etika, tantangan lainnya adalah disiplin diri untuk menghindari sensasi dan berfokus pada pemahaman yang lebih dalam mengenai setiap cerita.

"Saya berusaha semaksimal mungkin untuk cover bothside, kesulitan terbesar ya kepercayaan itu, kedua (kesulitannya) soal disiplin diri. Ini true story, saya wawancara, lumayan hampir satu tahun menyita waktu," tambahnya.

Baca juga:

Noor Huda membagi pengalaman terkait wawancara dengan empat kategori orang yang pergi ke Suriah. Pertama, mereka yang terdorong oleh ideologi ekstrem, yang sering disebut Foreign Terrorist Fighters (FTF).

Kedua, mereka yang terpengaruh oleh media sosial. Ketiga, para buruh migran yang awalnya tidak berniat untuk berperang, dan terakhir, perempuan yang terjebak dalam kondisi mengikuti suami mereka.

Noor Huda menekankan pentingnya melihat kasus-kasus ini dengan perspektif yang lebih manusiawi dan memahami kondisi mereka, terutama anak-anak yang sering menjadi korban dalam situasi ini.

Ia menambahkan, banyak anak yang terjebak dalam konflik ini, dan melalui buku serta film yang ia buat, ia berharap bisa memperluas perspektif masyarakat mengenai kompleksitas masalah tersebut.

Perspektif Gender

Noor Huda juga menyoroti pentingnya perspektif gender dalam memahami radikalisasi. Menurutnya, radikalisasi bukan masalah yang netral gender.

"Radikalisasi itu bukan wilayah-wilayah yang lepas dari kacamata gender gitu, karena man and women proses teradikalisasinya itu beda. Konten-konten seperti apa yang membuat lelaki itu tergerak, dan perempuan itu kemudian terbakar emosinya, beda. Laki-laki itu karena maskulinitasnya. Perempuan yang saya temui juga alasannya sesimple jomblo ingin punya suami keren bawa AK47. Proses tertariknya itu berbeda, dan proses kembalinya juga beda," imbuhnya.

Menurutnya, penting untuk menyadari bahwa perbedaan ini mempengaruhi proses reintegrasi mereka setelah kembali ke tanah air.

Melalui karya-karyanya, baik buku maupun film, Noor Huda berharap bisa memberikan pemahaman yang lebih luas tentang konflik di Suriah dan cara-cara yang lebih baik dalam menghadapi mereka yang kembali ke Indonesia.

"Melalui storytelling, kita bisa mengajak masyarakat untuk merefleksikan kembali, dan selalu saya tekankan the dangerous of single story, the danger of single narrative bahayanya kita punya narasi tunggal. Bayangkan aja kalau punya narasi tunggal, 'Oh yang ke sana jadi teroris' gitu, itu repot dan itu kalau kita sudah melakukan itu bukan berarti kita nggak pernah kena loh diskriminasi itu," pungkasnya.

Noor Huda Ismail
Suriah
Anak Negeri di Pusaran Konflik Suriah
WNI
terorisme

Berita Terkait


Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!

Loading...