Sahroni menduga uang suap tersebut tidak berhenti di tingkat majelis hakim saja.
Penulis: Aura Antari, Shafira Aurelia
Editor: Muthia Kusuma

KBR, Jakarta- Sebagian kalangan parlemen mengecam keras praktik mafia peradilan yang dinilai telah merusak sistem hukum di Indonesia.
Pernyataan ini disampaikan Wakil Ketua Komisi III yang membidangi hukum DPR RI, Ahmad Sahroni, setelah Kejaksaan Agung menetapkan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, sebagai tersangka kasus suap senilai Rp60 miliar terkait putusan lepas tiga terdakwa korporasi dalam kasus ekspor minyak sawit mentah (CPO).
“Keberadaan mafia peradilan ini sudah sangat merusak dan sudah saatnya lembaga kehakiman direformasi secara keseluruhan. Saya minta kejaksaan untuk jerat semua yang terlibat, pidanakan, dan jangan ragu untuk ungkap semua. Kami di komisi III akan backup penuh,” kata Sahroni, kepada wartawan, Jakarta, Senin (14/4/2025).
Sahroni mendesak Kejaksaan Agung untuk mengusut tuntas seluruh pihak yang terlibat, tanpa pandang bulu. Ia memastikan dukungan penuh dari Komisi III DPR dalam pengungkapan kasus ini.
“Saya minta kejaksaan untuk jerat semua yang terlibat, pidanakan, dan jangan ragu untuk ungkap semua. Kami di Komisi III akan backup penuh,” katanya.
Penyebab
Sahroni menilai pengawasan internal di Mahkamah Agung masih lemah, sehingga praktik mafia peradilan masih berulang. Itu sebab dia mendorong perlu adanya sistem yang mampu memantau pergerakan dana mencurigakan di lingkungan peradilan agar kasus seperti ini tidak berulang.
“Saya juga minta jajaran di Mahkamah Agung tingkatkan pengawasan internal untuk menindak hakim-hakim nakal. Buat mekanisme untuk memastikan tidak ada aliran-aliran dana mencurigakan, apalagi antarhakim,” ucap Sahroni.
Politikus Nasdem itu menduga uang suap tersebut tidak berhenti di tingkat majelis hakim saja.
“Karena tidak menutup kemungkinan uang haram dari suap ini juga mengalir ke pejabat yang lebih tinggi, seperti kasus Zarof Ricar kemarin. Jadi ada komplotannya,” tambahnya.
Baca juga:
Di lain pihak, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeiP), Muhammad Tanziel Aziezi juga menilai pengawasan lembaga, baik oleh Badan Pengawas MA maupun Komisi Yudisial masih lemah. Kondisi itu, menurut dia, semakin membuka celah terjadinya korupsi di sektor peradilan.
"Faktornya itu bisa juga masalah kesejahteraan gitu ya, walaupun menurut saya sekarang kesejahteraan Hakim sudah cukup baik. Bisa juga ada masalah konsistensi keputusan gitu ya. Bagaimana kemudian ketika keputusan itu tidak konsisten diterapkan oleh pengadilan maka hakim-hakim tertentu itu selalu punya cara untuk memilih keputusan mana yang paling menguntungkan nah itu yang kemudian juga harus disikapi. Lebih dari itu ya pasti adalah integritas dari hakim itu sendiri gitu ya, serta lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh MA dan KY," ucap Aziezi kepada KBR, Senin (14/4/2025).
Sementara itu, Peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal Oemar mengusulkan tiga tahapan untuk memutus praktik mafia peradilan.
Pertama, memastikan pembagian tanggung jawab pengawasan hakim antara Bawas MA dan KY. Kedua, restrukturisasi gaji hakim dengan mempertimbangkan masa kerja dan profesionalitas. Ketiga, mendorong DPR mempercepat pembahasan RUU Jabatan Hakim.
Kronologi kasus
Tiga hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta kini resmi ditahan setelah diduga menerima suap senilai Rp60 miliar untuk memutus lepas tiga korporasi besar dalam kasus korupsi ekspor crude palm oil (CPO). Ketiganya adalah Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom, yang mengadili perkara PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas.
Total ada tujuh tersangka yang ditetapkan Kejaksaan Agung dalam kasus ini, termasuk Ketua PN Jaksel Muhammad Arif Nuryanta, panitera Wahyu Gunawan, dua pengacara, dan tiga hakim: Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, serta Ali Muhtarom.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, mengungkap skema suap itu bermula dari pengacara terdakwa korporasi, Ariyanto Bakri. Ia menghubungi panitera muda Wahyu Gunawan untuk mengatur agar kliennya diputus lepas atau ontslag.
Wahyu kemudian menyampaikan permintaan itu kepada M. Arif Nuryanta, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Muhammad Arif Nuryanta menyetujui permintaan tersebut untuk diputus onslag, namun dengan meminta uang Rp20 miliar tersebut dikalikan 3 sehingga totalnya Rp60 miliar," ujar Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Senin (14/4/2025).

Menurut Qohar, Uang itu disebut diperuntukkan bagi tiga hakim anggota majelis.
Tim penyidik Kejagung telah menggeledah sejumlah lokasi terkait, antara lain di Jepara, Sukabumi, dan Jakarta. Hasilnya, disita sejumlah barang bukti, termasuk uang dalam pecahan dolar Singapura dan Amerika, tiga mobil mewah, 21 sepeda motor, serta tujuh unit sepeda. Seluruh aset diduga berasal dari aliran dana suap yang bertujuan memengaruhi putusan hukum.
Baca juga:
- MA Janji Tak Lindungi Hakim Agung yang Diduga Terseret Kasus Suap Ronald Tannur
- SHI: Penangkapan Tiga Hakim Momentum Reformasi Lembaga Peradilan
Kasus ini sendiri merupakan lanjutan dari penyidikan Kejaksaan Agung terkait dugaan korupsi dalam pemberian izin ekspor CPO dan produk turunannya selama Januari 2021 hingga Maret 2022. Ketiga korporasi tersebut sempat dituntut membayar uang pengganti kerugian negara dengan total mencapai Rp17,7 triliun—PT Wilmar Group Rp11,8 triliun, PT Permata Hijau Group Rp937,5 miliar, dan PT Musim Mas Rp4,8 triliun.
Namun dalam sidang di Tipikor Jakarta, ketiganya justru diputus lepas dari segala tuntutan hukum. Keputusan tersebut memicu sorotan publik dan akhirnya membuka tabir dugaan suap terhadap para hakim.
Sebelum membongkar kasus ini, Kejaksaan sebelumnya telah mengungkap praktik jual-beli perkara dalam kasus suap vonis bebas Ronald Tannur oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dalam kasus tewasnya Dini Sera Afrianti.
Komitmen pembenahan
Juru Bicara (Jubir) MA Yanto mengatakan pihaknya sangat prihatin atas peristiwa yang terus mendera dunia peradilan. Yanto menyebut, kasus itu terungkap saat lembaganya tengah berbenah untuk mewujudkan peradilan yang bersih dan profesional.
"(Hormati proses hukum) sepanjang itu tertangkap tangan, karena Hakim dapat dilakukan tindakan penangkapan dan penahanan atas perintah Jaksa Agung dengan persetujuan Ketua Mahkamah Agung," ujarnya dalam konferensi pers, Senin (14/4/2025).
Juru Bicara (Jubir) MA Yanto menambahkan, lembaganya akan menggunakan aplikasi Smart Majelis untuk menetapkan susunan majelis hakim secara robotik, buntut kasus ini
Yanto juga mengajak seluruh pihak untuk menerapkan asas praduga tidak bersalah terhadap jajarannya, selama belum ada hasil putusan hukum yang tetap.