“Pendidikan dan kesehatan adalah kewajiban negara."
Penulis: Khalisa Putri, Dita Alyaaulia
Editor: Sindu

KBR, Jakarta– Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu atau Poe Ibu Rp1.000 per hari dinilai menambah beban baru masyarakat atas tanggung jawab yang seharusnya menjadi mandat pemerintah khususnya dalam penyediaan layanan dasar. Semisal soal akses pendidikan dan kesehatan.
Penilaian itu disampaikan Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Herman N. Suparman menanggapi gerakan urunan yang belum lama ini dikeluarkan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi.
Menurut Herman, jika tujuannya memperkuat solidaritas, Pemprov Jabar perlu memastikan program tersebut tidak menggeser kewajiban negara dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial.
“Dengan kebijakan ini, pemerintah seolah melepaskan tanggung jawabnya kepada masyarakat. Padahal, pajak yang kita bayar sudah seharusnya digunakan untuk menjamin layanan publik,” tegasnya.
Ia tidak ingin kebijakan sosial seperti ini menjadi preseden buruk di daerah lain. Karena Gubernur Dedi Mulyadi dikenal publik luas, potensi duplikasi kebijakan oleh kepala daerah lain sangat mungkin terjadi.
“Potensi diduplikasi itu tinggi. Karena itu perlu kepastian kebijakan dari pemerintah pusat agar tidak menimbulkan beban bagi masyarakat,” katanya.
Antara Inovasi Sosial dan Kewajiban Fiskal
KPPOD menegaskan, pemerintah daerah seharusnya memperkuat perencanaan dan penganggaran APBD untuk sektor pendidikan dan kesehatan sebelum meminta partisipasi finansial masyarakat. Sebab, dua sektor itu termasuk standar pelayanan minimal (SPM).
“Pendidikan dan kesehatan adalah kewajiban negara. Pemerintah daerah perlu memperbaiki perencanaan dan penganggaran agar tak perlu meminta urunan masyarakat,” tutup Herman.
Pada akhirnya, Gerakan Poe Ibu bisa menjadi model kolaborasi sosial yang konstruktif asal dijalankan dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan kesepakatan publik yang sejati, bukan sekadar imbauan administratif dari atas ke bawah.
Direktur Eksekutif KPPOD, Herman N. Suparman menilai, gerakan ini lahir dari semangat solidaritas sosial, sejalan dengan gagasan “warga bantu warga” yang kerap digaungkan Dedi Mulyadi. Namun, ia mengingatkan agar pemerintah tidak mengabaikan aspek hukum dan tata kelola.
“Kalau lihat motivasinya, ini sebetulnya untuk memperkuat solidaritas sosial saja. Tetapi, mesti diperhatikan juga dari sisi tata kelolanya,” ujarnya kepada KBR, Senin, (06/10/2025).
Menurut Herman, secara peraturan, pengumpulan dana dari masyarakat oleh pemerintah tidak diatur secara eksplisit. Berdasarkan Peraturan Menteri Sosial Nomor 8 Tahun 2021, kegiatan pengumpulan dana sosial semestinya dilakukan organisasi masyarakat sipil, bukan pemerintah daerah.
Karena itu, KPPOD menilai Pemprov Jabar perlu meninjau kembali legalitas mekanisme pengumpulan dana dalam program Gerakan Rereongan.
Ia juga menyoroti potensi beban yang bisa timbul di masyarakat, terlebih ketika donasi seribu rupiah itu menjadi kewajiban moral, bahkan administratif bagi ASN.
“Meskipun seribu per hari, itu tetap menimbulkan beban bagi masyarakat. Kita sudah membayar pajak, jadi untuk apa lagi pungutan dengan baju donasi?” katanya.
Herman menyebut kebijakan seperti ini berpotensi menimbulkan praktik “double taxation”, masyarakat harus menanggung dua beban keuangan sekaligus: pajak resmi dan donasi semi-wajib.

Risiko Tata Kelola dan Transparansi
KPPOD menyoroti pengumpulan dana Poe Ibu dikelola di tingkat lokal tanpa mekanisme audit resmi. Menurut Herman, hal ini berisiko membuka celah penyimpangan.
“Dalam surat edaran itu tidak diatur siapa yang mengelola dana, bagaimana proses pengumpulan, pengawasan, dan auditnya. Ini titik krusialnya,” ujarnya.
Ia menegaskan, untuk dana yang potensinya bisa mencapai Rp12,5 miliar per hari, harus ada dasar hukum kuat, minimal Peraturan Daerah yang dibahas bersama DPRD. Tanpa itu, sulit memastikan transparansi dan akuntabilitas publik.
Paradoks
Dalam catatan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Gerakan Rereongan mengandung paradoks antara semangat gotong royong masyarakat dan tanggung jawab negara dalam memenuhi layanan dasar.
Sekretaris Nasional FITRA, Badiul Hadi menjelaskan, di satu sisi, gerakan ini merefleksikan nilai solidaritas sosial yang patut diapresiasi. Namun di sisi lain, memperlihatkan lemahnya peran pemerintah mengelola dana publik yang bersumber dari pajak rakyat.
“Artinya apa secara konseptual ini menggambarkan ada ketidakoptimalan pemerintah sebagai pengelola pajak rakyat yang selama ini memang menjadi tumpuan di dalam proses pembiayaan. Pembiayaan baik itu sektoral terutama layanan dasar,” ujar Badiul kepada KBR, Senin, (06/10/2025).
Menurutnya, mengajak masyarakat menumbuhkan semangat gotong royong memang baik, tetapi jangan sampai justru menegaskan ketidakmampuan pemerintah daerah menata dan memanfaatkan anggaran yang sudah ada, terutama APBD yang menjadi instrumen pembiayaan utama layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.
“Mengajak masyarakat menumbuhkan gotong royong dan solidaritas itu menjadi sangat penting. Tetapi, jangan sampai ini justru menegaskan ketidakmampuan pemerintah dalam posisi ini, misalnya pemerintah Provinsi Jawa Barat, dalam menata-kelola anggaran yang sudah ada,” lanjutnya.
Transparansi Jadi Keniscayaan
FITRA menekankan, karena rereongan mengumpulkan dana dari publik, maka transparansi dan akuntabilitas menjadi mutlak. Pemerintah, harus membuka seluruh proses pengumpulan, pengelolaan, dan penggunaan dana secara detail kepada publik.
“Mekanismenya akan seperti apa? Karena ini bicara soal bagaimana tata kelolanya,” tegasnya.
Badiul mengingatkan, dana publik tersebut tidak boleh bercampur dengan belanja pegawai atau honorarium tambahan yang justru berpotensi menimbulkan penyalahgunaan.
“Itu akan jadi problem lagi. Akan ada double rekening yang diterima pihak-pihak tertentu,” ujarnya.
Ia menambahkan, mekanisme transparansi yang ideal seharusnya sudah dirancang sejak tahap awal kebijakan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporan.
“Mulai dari proses perencanaan, kebijakan ini mestinya harus sudah melibatkan masyarakat. Kemudian nanti pelaksanaannya seperti apa? Siapa saja yang akan terlibat dalam konteks pengelolaannya. Siapa yang akan mengawasinya. Itu semuanya harus dibuka ke masyarakat. Karena itu prinsip transparansi yang struktural,” jelasnya.
Menurut Badiul, keterbukaan ini penting untuk menepis kekhawatiran publik terhadap potensi penyimpangan dana.
“Karena kecenderungan kita tahu pola administratif yang dikembangkan oleh pemerintah selama ini paket umum saja. Ketika diminta detail mereka pasti juga akan keberatan. Nah, itu misalnya yang perlu jadi catatan menurut saya,” katanya.

Dasar Hukum Lemah dan Potensi Moral Hazard
FITRA juga menyoroti aspek hukum Gerakan Rereongan yang hanya diatur melalui surat edaran gubernur. Dasar hukum tersebut terlalu lemah dan berisiko menimbulkan persoalan administratif maupun hukum.
“Artinya ini harus diatur lebih konkret lagi. Seperti apa, misalnya apakah lewat perda atau apa. Karena kalau cuma lewat SE ini kan sebenarnya sangat-sangat lemah dan ini berpotensi menimbulkan persoalan hukum,” tuturnya.
Menurutnya, meski gerakan donasi bisa memperkuat tanggung jawab sosial, pemerintah harus berhati-hati agar langkah ini tidak menggantikan fungsi APBD yang seharusnya menjadi instrumen utama pembiayaan publik.
“Tetapi, sisi negatifnya risiko duplikasi fungsi. Fungsi APBD dan potensi moral hazard. Jika dana publik ini kemudian dipakai untuk menutup kekurangan anggaran layanan dasar yang seharusnya menjadi kewajiban negara,” kata Badiul.
Ia menegaskan, apabila tidak dikelola hati-hati, masyarakat bisa menilai pemerintah sedang memanfaatkan kebaikan hati publik untuk menutupi kelemahan anggarannya.
“Jangan juga pemerintah kemudian memanfaatkan kebaikan masyarakat itu dengan kemudian mengeksplorasi. Kebaikan masyarakat itu untuk mengeksplorasi kebaikan itu untuk mengkapitalisasi pendanaan-pendanaan yang seharusnya itu menjadi tanggung jawab negara,” tegasnya.
Tak Sepenuhnya Sukarela
Meskipun pemprov mengklaim rereongan bersifat sukarela, FITRA menilai, perlu dikaji ulang. Sebab, ketika kebijakan dikomunikasikan melalui surat edaran gubernur, maka ada unsur intervensi yang membuatnya tidak sepenuhnya sukarela.
“Kalau sukarela, ya, gubernur tinggal bilang saja tidak perlu pakai intervensi surat edaran, cukup ngomong saja di publik ‘ayo, kita bareng-bareng ngumpulin duit untuk membiayai beberapa kegiatan yang dibutuhkan’. Enggak bisa kemudian ini dikatakan sukarela (jika ada SE). Apa pemaknaan sukarela di situ?” ujarnya.
FITRA juga mengingatkan, masyarakat tidak seharusnya dibebani iuran tambahan di tengah situasi ekonomi sulit, apalagi ketika mereka sudah berkontribusi lewat pajak.
“Masyarakat jangan dibebani dengan iuran-iuran atau tarikan-tarikan di luar yang sudah ada. Masyarakat kita sudah dalam situasi yang pelik secara ekonomi,” katanya.

Konsolidasi APBD yang Lemah
Menurut FITRA, munculnya Gerakan Rereongan menunjukkan kurangnya konsolidasi pengelolaan APBD di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Padahal, Jawa Barat memiliki sumber daya keuangan cukup besar untuk memenuhi kebutuhan layanan dasar tanpa harus bergantung pada donasi publik.
“Gerakan ini tidak perlu kalau pemerintah memiliki komitmen yang baik dalam mengelola sumber daya yang ada. Terutama APBD. Nah, kemudian juga kan ada APBD di level kabupaten. Pemprov tinggal mengonsolidasikan saja. Mengonsolidasikan bagaimana kemudian APBD di level kabupaten dan provinsi betul-betul solid di dalam memenuhi layanan dasar,” kata Badiul Hadi.
Ia menegaskan, masalah utamanya bukan pada keterbatasan dana, melainkan lemahnya tata kelola dan kurangnya komitmen politik dalam memprioritaskan anggaran untuk masyarakat.
“Sementara APBD itu bersumber dari masyarakat juga. Pajak, retribusi, dan yang lain-lain. Nah, itu akan berimplikasi negatif ketika kemudian pemerintah dalam posisi ini misalnya pemprov tidak bisa menyampaikan kebijakan ini secara baik,” ujar Badiul.
Peran DPRD dan Publik dalam Pengawasan
FITRA meminta, DPRD Jawa Barat tidak diam menyikapi Gerakan Rereongan. Fungsi pengawasan, legislasi, dan budgeting DPRD harus dijalankan untuk memastikan tidak ada penyimpangan dan tumpang tindih antara rereongan dan program APBD.
“Apakah misalnya SE ini perlu dievaluasi DPRD sebelum betul-betul dijalankan. Apakah ini berdampak positif atau negatif di masyarakat itu kan perlu dilihat. Itu yang saya kira menjadi sangat penting,” jelasnya.
Selain DPRD, masyarakat juga perlu dilibatkan secara aktif dalam memantau jalannya program.
“Masyarakat penting juga untuk meminta pemprov menjelaskan apa sebenarnya program ini. Tujuannya untuk apa? Tetapi, detail semangatnya seperti apa sih misalnya. Komitmennya seperti apa. Mekanisme pengawasan itu yang saya kira memang harus dijalankan DPRD dan masyarakat. Kolaborasi itu sebagai upaya untuk meminimalisasi persoalan-persoalan yang muncul akibat kebijakan pemprov ini,” tutur Badiul.

Gotong Royong Tak Perlu Diintervensi
Badiul menegaskan, semangat gotong royong masyarakat seharusnya tumbuh alami tanpa intervensi pemerintah melalui surat edaran. Ia menilai, masyarakat Indonesia sudah lama memiliki budaya tolong-menolong yang kuat dalam kehidupan sosial.
“Masyarakat misalnya ketika ada tetangganya yang tidak mampu sekolah, tidak mampu berobat. Pasti, kan, ada kearifan di masing-masing daerah lokal. Fungsi masyarakat, sosial masyarakat itu biar berjalan secara alamiah. Tidak perlu diintervensi dengan surat daerah dan yang lain-lain,” ujarnya.
Menurutnya, peran pemerintah justru memastikan, anggaran daerah benar-benar menjawab kebutuhan masyarakat, bukan menambah beban dengan kebijakan donasi.
“Semangat gotong royong masyarakat itu harus disambut dengan perencanaan yang lebih partisipatif. Agar APBD itu betul-betul menjawab kebutuhan masyarakat. Bukan kepentingan-kepentingan misalnya janji politik semata,” pungkas Badiul Hadi.
Jangan Dipaksakan
Menanggapi beragam reaksi publik, Anggota DPRD Jawa Barat, Zaini Shofari meminta Gerakan Rereongan tak dipaksakan atas nama kesetiakawanan. Menurutnya, bagi siswa dan masyarakat, gerakan ini akan menimbulkan polemik. Sebab, meski dinilai kecil, jika dalam kurun waktu lama, bisa memberatkan sebagian orang.
Selain itu, Gerakan Poe Ibu berpotensi bertentangan dengan aturan pemerintah yang melarang pungutan di dunia pendidikan.
"Itu tidak boleh (pungutan di sekolah). Tetapi, sekarang gubernur malah mengajarkan bahkan diinstitusionalisasikan, dilegalkan," kata anggota Komisi V DPRD Jawa Barat ini, Minggu, 5 Oktober 2025, seperti dikutip AyoBandung.com.
Menurutnya, Gerakan Poe Ibu itu menunjukkan kinerja tidak baik khususnya dalam hal pengelolaan keuangan daerah. Seharusnya, Pemprov Jabar bisa mengandalkan kekuatan sendiri tanpa minta bantuan ke seluruh masyarakat.
Kata dia, gerakan saling bantu antar-masyarakat sudah dilakukan di lapisan bawah, baik saat darurat, tetangga sakit, atau kondisi mendesak lain.
"Menunjukkan ketidakmampuan negara, ketidakmampuan pemerintah provinsi dalam mengelola tata keuangan, sehingga masyarakat terus dilibatkan, padahal pajak apa pun masyarakat sudah bayarkan," katanya.

Rereongan Sapoe Sarebu Diluncurkan
Sebelumnya, Pemerintah Provinsi JJawa Barat tengah menjadi sorotan publik setelah meluncurkan Gerakan Poe Ibu, sebuah imbauan donasi Rp1.000 per hari kepada ASN dan masyarakat untuk membantu sesama.
Gerakan ini dituangkan dalam Surat Edaran Nomor 149/PMD.03.04/KESRA tentang Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) yang ditandatangani Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi atau akrab dipanggil Kang Dedi Mulyadi (KDM), Rabu, 1 Oktober 2025.
Dalam edaran tersebut, setiap individu baik aparatur sipil negara (ASN), pelajar, maupun warga umum didorong menyisihkan uang harian sukarela untuk membantu kebutuhan darurat masyarakat di bidang pendidikan dan kesehatan.
Dana yang terkumpul dikelola di tingkat lokal, seperti RT, RW, atau sekolah, dan dilaporkan secara terbuka melalui media sosial atau forum komunitas. Pemerintah daerah menegaskan, uang tersebut tidak akan masuk ke kas provinsi, melainkan langsung digunakan untuk kebutuhan warga setempat.
Gerakan ini berlandaskan semangat gotong royong sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial.
Pemerintah beralasan, mekanisme ini dapat mempercepat penanganan persoalan kecil tetapi mendesak mulai dari biaya tunggu pasien di rumah sakit hingga pembelian seragam sekolah bagi anak dari keluarga kurang mampu.
Reaksi Warga
Raihan Faiq (21), mahasiswa yang juga seorang warga Bandung, Jawa Barat menilai, Gerakan Poe Ibu berpotensi menambah beban ekonomi bagi warga berpenghasilan rendah.
“Seribu per hari mungkin ringan bagi masyarakat menengah ke atas, tetapi bagi warga miskin itu berat. Kalau sebulan jadi tiga puluh ribu, dan kalau tidak dikelola dengan baik, justru bisa merugikan masyarakat,” ujar Raihan, Kepada KBR, Selasa, (07/10/2025).
Ia juga menyoroti kewajiban bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk ikut berdonasi, sementara masyarakat umum hanya diimbau secara sukarela. Menurutnya, kebijakan tersebut masih tergolong adil karena ASN merupakan bagian dari pemerintahan.
“ASN kan bagian dari pemerintahan, jadi wajar kalau diwajibkan. Sedangkan warga biasa sudah membayar pajak, jadi sebaiknya tidak dipaksa,” katanya.
Meski demikian, Raihan mengaku masih meragukan transparansi dalam pengelolaan dana.
“Tidak semua daerah bisa mengelola dana dengan transparan. Banyak contoh kasus penyalahgunaan anggaran, jadi saya kurang yakin uang itu akan benar-benar sampai ke warga yang membutuhkan,” tambahnya.
Berbeda dengan Raihan, Siti Zubaedah (48), warga Depok, Jawa Barat, justru melihat gerakan Poe Ibu dari sisi positif. Menurutnya, inisiatif ini bentuk nyata dari semangat gotong royong masyarakat Jawa Barat.
“Menurut saya seribu rupiah itu bukan jumlah besar, apalagi kalau niatnya untuk saling bantu. Kalau semua orang mau ikut, hasilnya bisa besar dan bisa membantu banyak orang,” ujar Siti, Kepada KBR, Selasa, (07/10/2025).
Ia menganggap gerakan ini sejalan dengan budaya tolong-menolong yang sudah lama menjadi bagian dari masyarakat Indonesia.
“Dari dulu masyarakat Indonesia dikenal suka tolong-menolong. Jadi, kalau sekarang ada cara baru seperti ini, asal jelas tujuannya dan dikelola dengan jujur, saya dukung,” katanya.
Meski mendukung, Siti tetap berharap pemerintah bisa menjamin transparansi agar kepercayaan publik meningkat.
“Yang penting laporannya terbuka. Kalau masyarakat tahu uangnya dipakai untuk bantu yang benar-benar butuh, saya yakin makin banyak yang mau ikut berdonasi,” tambahnya.
Siti juga menilai kewajiban bagi ASN dan ajakan sukarela bagi masyarakat umum sudah tepat, karena tidak semua warga memiliki kemampuan ekonomi yang sama.
“ASN kan memang bagian dari pemerintah, jadi wajar kalau diwajibkan. Kita masyarakat biasa cukup ikut sesuai kemampuan aja,” ujarnya.

APBD Tertekan, PAD Masih Kuat
Peluncuran Gerakan Poe Ibu muncul di tengah kondisi keuangan daerah yang cukup menantang. Berdasarkan data Pemerintah Provinsi Jawa Barat, APBD wilayah itu pada tahun ini tercatat sekitar Rp31 triliun. Angka ini menurun dibandingkan alokasi tahun sebelumnya yang mencapai Rp36,79 triliun.
Penurunan disebabkan sebagian besar anggaran daerah sudah terserap untuk menutup kewajiban masa lalu, termasuk utang proyek, operasional layanan publik, dan kewajiban ke BPJS. https://bappeda.jabarprov.go.i... Dedi Mulyadi mengakui, sekitar sepertiga dari total APBD Jabar 2025 “terkunci” untuk membayar beban warisan, termasuk operasional Bandara Kertajati dan Masjid Al-Jabbar.
Kondisi itu mempersempit ruang fiskal pemerintah untuk membiayai program baru di bidang pendidikan dan Kesehatan, dua sektor yang menjadi prioritas layanan dasar bagi masyarakat. (Pernyataan ini dikutip dari siaran pers Pemprov Jabar dan laporan Bisnis.com, 4 Oktober 2025.)
Meski demikian, Jawa Barat tetap menjadi provinsi dengan kapasitas fiskal terbesar di luar DKI Jakarta. Pada 2024, pendapatan daerahnya mencapai Rp36,68 triliun, sekitar Rp25,31 triliun berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), melampaui target.
Sumber PAD terbesar berasal dari pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan, pajak rokok, dan pajak air permukaan. Namun, tingginya PAD tersebut belum mampu menutup seluruh beban belanja daerah yang terus meningkat. Keterbatasan fiskal inilah yang diklaim menjadi salah satu alasan munculnya gagasan Poe Ibu.
Baca juga: