Sekjen KPI mencontohkan keterlibatan militer masih kuat bahkan dalam aktivitas masyarakat sipil, termasuk kelompok perempuan di daerah rentan seperti Papua.
Penulis: Naomi Lyandra, Heru Haetami
Editor: Resky Novianto

KBR, Jakarta- Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) menilai peran TNI kini semakin meluas ke ranah sipil terutama setelah revisi Undang-Undang TNI disahkan beberapa waktu lalu.
Selain itu, praktik militeristik yang dilakukan TNI saat ini masih mengabaikan prinsip kesetaraan gender dan inklusi sosial.
“Gender equality dan juga sosial inklusi. Kami sama sekali tidak pernah melihat ada prinsip-prinsip itu dalam perdekatan militer sampai saat ini,” ujar Sekjen KPI Mike Verawati Tangka dalam siaran Ruang Publik KBR bertema 'Apakah Janji Reformasi TNI Ditepati?' Senin (6/10/2025).
Mike mencontohkan keterlibatan militer masih kuat bahkan dalam aktivitas masyarakat sipil, termasuk kelompok perempuan di daerah rentan seperti Papua.
“Karena misalnya seperti Mama-Mama di Papua, ini contoh-contoh, bagaimana mereka berkumpul, itu selalu ditemani oleh militer. Ada yang mereka berpatroli. Saya juga kurang jelas sebenarnya kepentingan ini apa. Kenapa harus dijaga oleh militer?,” ujarnya heran.
Ia juga menyampaikan bahwa pentingnya keterlibatan masyarakat untuk terus mengawasi agar militer tidak kembali menjadi kekuatan dominan dalam kehidupan sipil.
“Membahas soal militer ini juga perlu digalang sangat kuat gitu ya. Rakyat juga sudah mulai harus, warga ya maksudnya, juga sudah mulai harus menyadari bahwa ini juga harus terus-menerus disuarakan,” jelas Mike.
“Karena kalau tidak, bingar-bingar ulang tahun kemarin bisa menutupi kenyataan bahwa ruang sipil makin sempit,” tambahnya.

Dominasi Figur Militer di Ranah Sipil
Kalangan militer kini dianggap makin luas merambah diluar tupoksi mereka sebagai penjaga pertahanan dan keamanan negara di hari jadi yang Ke-80 tahun.
“Koalisi Perempuan sebenarnya berangkat dari revisi Undang-Undang TNI kemarin yang sebenarnya memperberat catatan-catatan yang sudah ada. Bahwa sebenarnya dengan atau tidak direvisi, sebenarnya TNI sudah mengambil jalur-jalur yang itu tidak disepakati pada kebijakan tentang dihilangkannya Dwifungsi ABRI,” tutur Mike.
Ia juga menyayangkan proses revisi undang-undang yang dilakukan tanpa partisipasi publik dan justru meluas ke ranah kewenangan militer dalam usia delapan dekade TNI.
“Justru dengan revisi Undang-Undang TNI yang sudah ada, itu justru melanggengkan atau mempertegas betapa rana sipil itu juga sekarang sudah di apa. Maksudnya menjadi bagian yang juga dikelola atau dicampur tangani oleh TNI,” tegas Mike.
Mike turut menyoroti dominasi figur militer di berbagai sektor strategis, termasuk proyek tambang dan pangan nasional.
“Kita tahu betul siapa jenderal-jenderal di balik proyek-proyek food estate yang menghancurkan sumber penghidupan perempuan,” kata Mike.

Prabowo Minta TNI Selalu Instrospeksi Diri
Presiden Prabowo Subianto meminta TNI selalu mengintrospeksi diri di tengah perkembangan zaman. Perintah itu disampaikan kepala negara saat memberi arahan dalam peringatan HUT ke-80 TNI di Lapangan Silang Monas, Jakarta, Minggu (5/10/2025).
Prabowo mengatakan TNI harus mengutamakan kepentingan bangsa, negara, dan rakyat di atas segala kepentingan yang lain. TNI juga diminta membantu program-program pemerintah.
“TNI harus introspeksi diri dengan semua unsur organisasi yang kita miliki. TNI harus tanggap, TNI harus bantu penegak hukum, TNI harus bantu pemerintah daerah, pemerintah pusat, untuk menjaga kekayaan kita, sumber daya alam kita,” kata Prabowo dikutip dari Youtube Sekretariat Presiden.
Koalisi masyarakat sipil mencatat ada beberapa aspek yang mendesak diperbaiki. Mulai dari keterlibatan militer ke ranah sipil, praktik kekerasan yang melibatkan TNI, hingga impunitas di tubuh militer.
Reformasi TNI yang seharusnya menuju profesionalisme, justru menunjukkan kemunduran, baik dari sisi hukum, praktik, maupun keterlibatan di sektor pertahanan.
Sementara itu, Panglima TNI Agus Subiyanto mengatakan operasi militer selain perang menjadi sarana utama TNI mendukung agenda nasional. Mulai dari program strategis nasional, menjaga stabilitas keamanan dalam negeri, membantu tugas pemerintah di daerah, termasuk pembangunan dan ketahanan pangan serta penanggulangan bencana alam.
“Dengan kebijakan ini TNI tidak hanya siap di medan tempur, tetapi juga menjadi kekuatan yang bermanfaat, adaptif, dan selalu bersinergi dengan seluruh komponen bangsa,” kata Agus, dikutip dari ANTARA, Minggu (5/10/2025).

Reformasi TNI Masih Jauh?
Peneliti SETARA Institute sekaligus Dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Indo Global Mandiri, Ikhsan Yosarie, menilai bahwa reformasi TNI masih jauh dari cita-cita demokratis.
“Pertama tentu kami ingin mengucapkan selamat ulang tahun untuk TNI. Besar harapan dan betul banyak harapan untuk TNI terus menjadi militer yang profesional,” ujar Ikhsan dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (6/10/2025).
Menurutnya, dalam sistem demokrasi, militer seharusnya fokus pada pertahanan saja, tidak perlu turut campur dalam urusan sipil.
“Keterlibatan militer dalam aspek-aspek di dalam pertahanan, itu mesti kita berikan perhatian. Karena keterlibatan itu secara langsung atau tidak langsung berpotensi memicu, berkurangnya profesionalitas, dan terganggunya sendi-sendi demokrasi,” tegasnya.
Ikhsan juga mengkritik hilangnya peran DPR dalam pelaksanaan operasi militer selain perang atau OMSP setelah revisi UU TNI.
“Pada undang-undang yang lama, OMSP itu dilaksanakan atas dasar kebijakan dan ketidaksempurna negara yang di dalamnya ada peran atau konsultasi antara Presiden dan DPR untuk perlaksanaannya. Nah tapi dalam undang-undang yang baru, peran DPR itu hilang,” ujar Ikhsan.
Ia menilai perubahan itu berpotensi melemahkan mekanisme pengawasan sipil terhadap militer.
Ikhsan Yosarie, peneliti SETARA Institute juga menegaskan pentingnya reformasi regulasi untuk memastikan prinsip kesetaraan di depan hukum bagi anggota militer.
“Revisi Undang-Undang Peradilan Militer menjadi hal yang urgen untuk memastikan perlakuan yang sama di depan hukum bagi setiap warga negara,” jelasnya.
Ia juga mendorong agar pembahasan reformasi TNI tidak menjadi hal tabu.
“Ketika kita ingin menguatkan demokrasi dan HAM, maka TNI juga harus menerima kritik. Itu penting sebagai vitamin bagi demokrasi kita,” ujarnya.

Terlibat Banyak Program, Masuk ke Sipil
Menurut Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), TNI memang harus segera berbenah. YLBHI menilai mandat Reformasi justru dikhianati, karena TNI makin masuk ke dalam ranah sipil dan bisnis.
“Kini, keterlibatan TNI semakin meluas dan terang-terangan. Fenomena ini terjadi sejak Prabowo Subianto menjadi presiden. Langkah untuk melakukan revisi kilat UU TNI dengan memperluas kewenangan TNI dalam wilayah-wilayah yang diatur dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), misalnya, telah memungkinkan para anggota TNI untuk masuk ke dalam wilayah-wilayah sipil secara lebih mendalam,” tulis YLBHI dalam keterangan resminya, Minggu (5/10/2025).
YLBHI mencatat keterlibatan TNI dalam sejumlah program prioritas Presiden Prabowo. Antara lain Makan Bergizi Gratis (MBG), food estate, dan Koperasi Desa Merah Putih
Di program MBG, YLBHI mencatat ada 133 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang dioperasikan TNI. Bahkan, akan ada 339 SPPG lain milik TNI yang sedang dipersiapkan.
Di program food estate, TNI menjadi leading sector untuk mengamankan ketahanan pangan nasional. Ini dilakukan melalui pengerahan prajurit TNI dalam pembukaan lahan.
“Selain itu, TNI juga terlibat langsung dalam salah satu unit bisnis Koperasi Merah Putih. TNI akan menjadi penyuplai obat untuk apotek-apotek dan klinik-klinik desa yang akan dibentuk sebagai unit usaha koperasi,” tulis YLBHI.

Koalisi Ungkap Masalah yang Harus Diperbaiki
Menurut YLBHI, pelibatan TNI secara besar-besaran dalam implementasi program Prabowo telah menyeret militer jauh ke ranah politik, pemerintahan, dan bisnis.
Upaya itu justru semakin menegaskan TNI yang multifungsi, seperti pernyataan yang pernah disampaikan Panglima TNI Agus Subiyanto.
“Ini menjadi pintu masuk TNI ke ranah-ranah sipil dan membuka pintu bisnis untuk para anggota TNI,” tulis YLBHI.
“Harus dikoreksi bahwa keterlibatan TNI dalam soal-soal pertanian dan peran TNI dalam program-program seperti food estate, Brigade Pangan, pembelian gabah dan beras dari petani, serta melakukan pengawasan-pengawasan terhadap distribusi sarana produksi pertanian serta produksi pertanian, telah melenceng jauh dari fungsi pertahanan yang seharusnya diemban TNI.
Prabowo diminta menghentikan keterlibatan TNI dalam program-program pemerintah yang berurusan dengan pangan, bisnis, dan sipil.
“Semua keterlibatan TNI ini, yang tidak ada dalam wilayah keahliannya, hanya akan merusak lembaga-lembaga sipil tersebut. Terlebih lagi akan merusak profesionalisme para prajurit dan perwira TNI,” desak YLBHI.

Pelaku Kekerasan, Mayoritas Usai Revisi UU TNI
Dalam satu tahun terakhir, Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat sedikitnya 85 peristiwa kekerasan yang dilakukan prajurit TNI.
“Memakan 182 orang korban dengan rincian 64 orang korban luka, 31 orang meninggal, dan 87 orang sisanya mendapatkan perlakuan yang seharusnya tidak terjadi dalam konteks negara hukum, seperti intimidasi dan juga teror,” kata Koordinator KontraS Dimas Bagus Arya Saputra dalam siaran pers di Jakarta, Jumat (3/10/2025).
Dimas merinci, tindakan penganiayaan menjadi bentuk kekerasan paling besar yakni 35 peristiwa. Disusul intimidasi 19 tindakan, kemudian 13 penyiksaan, 11 penembakan, serta 7 kejahatan seksual.
“Ini yang terjadi hanya dalam satu tahun periode pemantauan. Jadi kita bisa lihat bahwa ada situasi atau konteks peristiwa kekerasan yang itu juga semakin tinggi,” katanya.
KontraS menemukan kecenderungan tindakan kekerasan terjadi usai diundangkannya revisi UU TNI, Maret 2025.
“Proporsinya sebanyak 62,3 persen dari total 85 peristiwa. Ini semacam penguat atau bukti yang konkret atau bukti yang sahih bahwa tindakan kekerasan yang terjadi, tindakan eksesif berlebihan yang dilakukan oleh prajurit TNI terjadi justru setelah undang-undang TNI yang lama digantikan dengan undang-undang TNI yang baru, yang dari awal diprotes keras,” katanya.

Dimas mengatakan temuan ini membuktikan kekerasan yang mengakar dalam institusi TNI akan sangat berbahaya lantaran terus dilanggengkan dengan alasan kultur militer.
Sementara itu, menurut YLBHI, permasalahan ketidakadilan dan diskriminasi penegakan hukum di lingkungan militer selama ini menjadi ruang impunitas bagi prajurit TNI yang melanggar hukum. Jika terus dibiarkan, kejahatan oleh militer akan sulit dituntut pertanggungjawaban.
Presiden dan DPR didesak untuk memastikan penegakan hukum terhadap prajurit TNI dilakukan secara adil dan imparsial. “Presiden dan DPR harus melakukan revisi terhadap UU Peradilan Milier,” tulis YLBHI.
Pendekatan Militeristik di Papua
KontraS juga mencatat pengiriman prajurit TNI ke Papua semakin banyak dalam setahun terakhir. Dimas bilang, Papua menjadi wilayah episentrum dari tindakan kekerasan yang mencapai 23 peristiwa. Korbanya mencapai 67 orang.
“Kami melihat ada sejumlah kekerasan yang terus berulang dan bahkan angkanya cenderung naik kekerasan tersebut. Karena memang ada banyak sekali upaya-upaya penerjunan TNI baik itu TNI yang anggota TNI organik maupun yang non-organik,” kata Dimas.
Dimas mendesak pemerintah meninjau dan mengevaluasi kembali pendekatan keamanan serta pendekatan militeristik di Papua.
Menurut Dimas, pengerahan pasukan ke Papua dengan alasan "pembangunan" melalui Batalyon Teritorial Pembangunan sangat tidak relevan. Selain bertentangan dengan prinsip profesionalisme militer, juga akan menggerus kesempatan lapangan pekerjaan serta ruang gerak warga sipil.
“Karena lagi-lagi korbannya dari warga sipil itu cukup masif. Kami temukan juga korban dari aparat itu juga banyak. Dari TNI itu ada lima orang yang menjadi korban kekerasan dalam periode setahun terakhir sementara dari kepolisian itu ada 13.
“Jadi pendekatan keamanan ini tidak hanya kemudian mengancam kebebasan dan juga mengancam keselamatan dari warga sipil atau orang asli Papua, tetapi juga kebijakan keamanan dan juga kebijakan militeristik ini juga kemudian yang menjadi sasaran adalah prajurit-prajurit rendahan atau pangkat rendah itu baik di TNI maupun di Polri,” ucapnya.

TNI Sudah Profesional, Tetapi . .
Sementara itu, Prof. Muradi, Guru Besar Politik dan Keamanan dari Universitas Padjadjaran sekaligus Senior Advisor LAB 45 Jakarta, menyebut bahwa TNI secara hukum memang memenuhi ketentuan profesionalisme, tetapi dalam praktiknya banyak celah diakali.
“Secara legal konsep itu mereka penuhi di Undang-Undang 3 Tahun 2024, tapi secara praktik mereka kemudian mengakali dengan berbagai jabatan yang sebenarnya bukan menjadi rananya mereka dan itu mereka tidak dalam posisi berhenti cuti dan atau misalnya pensiun dini,” ujarnya dalam siaran Ruang Publik KBR, Senin (6/10/2025).
Muradi juga menyoroti keterlibatan oknum militer dalam kasus kekerasan yang menunjukkan lemahnya akuntabilitas
“Secara legal mereka penuhi, tapi secara praktik dan prosesnya diakali”, ujarnya.
Lebih lanjut, Muradi menilai bahwa fenomena ini berkaitan erat dengan dinamika politik pasca kemenangan Prabowo Subianto.
“Kita sudah baca ketika 2024 kemarin Pak Prabowo menang, kita bergeser dari konservatif kiri ke kanan, dan membutuhkan backup yang berbeda dari Pak Jokowi. Kalau Pak Jokowi ditopang polisi, maka di era Prabowo ini mereka mengandalkan teman-teman di TNI,” paparnya.
Menurutnya, kondisi itu diperparah oleh menurunnya daya kritis akademisi dan masyarakat sipil.
“Hari ini akademisi agak sungkan mengkritik kebijakan yang ada. Masyarakat sipil dan NGO juga banyak yang sudah bergeser. Jadi suaranya tidak terlalu terdengar,” katanya.

Pakar Soal Gerakan TNI Kembali ke Barak
Muradi menilai langkah mengembalikan prajurit sepenuhnya ke barak hanya akan berhasil jika ada kemauan politik dari Presiden.
“Mengembalikan prajurit ke barak sepenuhnya bergantung pada will Presiden. Tapi kalau kondisi hari ini, saya agak sanksi. Momentum ada di tangan mereka,” tegasnya.
Ia mendorong adanya konektivitas peradilan agar pelanggaran oleh anggota aktif bisa diproses secara transparan.
“Saya bilang tadi, minimal ada peradilan konektivitas lah kalau nanti mereka misalnya anggota aktif kriminal gitu ya, diadili di peradilan konektivitas minimal seperti ini sampai pada level, nanti mereka sudah nyaman diadili di peradilan umum,” pungkasnya.
Obrolan lengkap episode ini bisa diakses di Youtube Ruang Publik KBR Media
Baca juga:
- Peraturan Kapolri 4/2025 Dinilai Cacat Prosedural, Tidak Urgen, dan Melampaui Kewenangan
- Mau Dibawa ke Mana Ekonomi Indonesia, Pak Purbaya?