NASIONAL

KPA: Belum Ada Bakal Kandidat Capres yang Sentuh Masalah Struktural Agraria

Capres-cawapres ini harus yang punya rekam jejak yang bersih dan bukan bagian dari oligarki yang terlibat dalam proses-proses penerbitan yang antireforma agraria.

AUTHOR / Hoirunnisa, Astri Yuanasari

KPA: Belum Ada Bakal Kandidat Capres yang Sentuh Masalah Struktural Agraria
Demo petani Komite Nasional Pembaharuan Agraria (KNPA) di depan Gedung DPRD Jabar, Bandung, Jawa Barat, Senin (29/9/2014). (Antara/Agus Bebeng)

KBR, Jakarta - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyebut belum ada kandidat calon presiden atau wakil presiden yang menyentuh masalah agraria secara struktural. Menurut Sekjen KPA Dewi Kartika, bakal calon belum menyentuh masalah ketimpangan penguasaan tanah yang tidak adil.

"Sampai dengan sekarang kalau dari KPA, belum melihat bacapres ataupun bakal calon wakil presiden itu yang mampu menyentuh problem agraria yang bersifat struktural. Jadi masih yang melihat masalah konflik agraria, masalah tanah dan berkaitan reforma agraria, masih sangat parsial. Dan masih berkaitan dengan sertifikasi tanah," ujar Dewi kepada KBR di Gedung Serbaguna Senayan, Jakarta, Selasa (17/10/2023).

Dewi menyebut, banyak penguasaan lahan dan tanah di Indonesia untuk kepentingan bisnis.

Kata dia, masalah tersebut harusnya dipikirkan oleh para pemimpin masa depan.

"Capres-cawapres ini harus yang punya rekam jejak yang bersih dan bukan bagian dari oligarki yang terlibat dalam proses-proses penerbitan yang antireforma agraria," ujarnya.

"Dia juga tidak terlibat korupsi agraria sumber daya alam. Karena kalau rekam jejaknya enggak bersih, bagaimana dia mau menjalankan reforma agraria sejati," imbuhnya.

Tak Ada Political Will

Antropolog Universitas Indonesia Suraya Afiff mengatakan, berbagai konflik agraria yang masih terjadi di Indonesia disebabkan persoalan struktural yang belum bisa diselesaikan.

Menurutnya, harus ada political will dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik-konflik agraria di Indonesia.

"Salah satu yang sebenarnya banyak diusulkan itu pertama satu peta. Karena kalau kita tahu setiap sektor ini punya peta yang tidak di-share dengan yang lain ya. Nah persoalannya kemudian ketika yang satu mungkin memberikan konsesi itu, sebenarnya bisa bertabrakan dengan sektor lainnya. Nah sebenarnya kebijakan satu peta ini sudah dimulai, tetapi secara politis itu tidak benar-benar membuat semuanya satu peta," kata Suraya dalam diskusi AJI Indonesia, Kamis (28/9/2023).

Selain itu, kata Suraya, pemimpin Indonesia ke depan harus membuat "Conflict Resolution", yang tidak hanya dikerjakan masing-masing sektor. Namun harus ada di tingkat pusat untuk menentukan keinginan politik pemerintah.

Baca juga:

"Kalau sekarang kan ATR BPN sendiri, KLHK sendiri gitu kan, nah ini yang menyebabkan enggak selesai. Karena ada beberapa hal sebenarnya tingkatannya kebijakan yang lebih politis ya. Misalnya kalau di situ sudah ada konsesi sementara di situ ada rakyat, apakah kemudian konsensinya harus direorganisasi atau bagaimana itu kan nggak bisa sektor, biasanya enggak berani begitu," kata dia.

"Tapi kalau satu keputusan politik ya dan itu diproses, dievaluasi dan segala macam itu pelan-pelan itu akan lebih jelas," kata dia.

Editor: Wahyu S.

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!