NASIONAL

KontraS: Level Kekecewaan Publik ke Polri sudah Sangat Maksimal

Kekecewaan publik itu menyangkut kinerja polri yang buruk.

AUTHOR / Agus Lukman

EDITOR / R. Fadli

Polri
Ilustrasi - Aparat kepolisian mengamankan jalannya aksi unjuk rasa. (Foto: ANTARA/Kornelis Kaha)

KBR, Jakarta - LSM pegiat hak asasi manusia Kontras menyebut tingkat kekecewaan publik terhadap Polri sudah sampai di level sangat maksimal.

Wakil Koordinator Kontras Andi Muhammad Rezaldy mengatakan kekecewaan publik itu menyangkut kinerja polri yang buruk, baik dalam memproses pengaduan masyarakat maupun adanya praktik kekerasan oleh anggota polri. Menurut Rezaldy, berbagai lembaga masyarakat sipil sudah memberikan masukan dan kritik ke pemerintah, namun hingga kini tidak ada perbaikan.

"Penderitaan, ketidakadilan yang dialami masyarakat akibat penggunaan kekuatan berlebih, tindak kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian, itu menunjukkan level kekecewaan sangat maksimal. Misalnya, tagar percuma lapor polisi, itu menunjukkan mereka melapor tapi tidak ditindak lanjuti sebagaimana mestinya," kata Rezaldy dalam diskusi 'RUU Polri Melenggang, Impunitas Melanggeng' dipantau dari Kanal Youtube PSHK Indonesia, Rabu (3/7/2024).

Wakil Koordinator Kontras Andi Muhammad Rezaldy mengatakan bahkan LSM seperti Kontras atau LBH ketika mengadukan ke polri kerap ditolak atau tidak ditindak lanjuti.

Data Kontras menunjukkan sepanjang Juli 2023-Juni 2024 terdapat 645 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri. Polres menjadi institusi terbanyak dengan 424 peristiwa. Polsek dengan 125 peristiwa dan Polda dengan 96 peristiwa. Satuan paling banyak terlibat dalam peristiwa kekerasan adalah Satreskrim dengan 342 peristiwa.

Peristiwa kekerasan yang dilakukan anggota Polri sejauh ini menyebabkan 759 orang luka dan 38 orang tewas.

Jenis tindak kekerasan yang melibatkan anggota kepolisian, kata Rezaldy, mayoritas berhubungan dengan penembakan, penganiayaan, penangkapan sewenang-wenang, pembubaran paksa dan intimidasi.

Rezaldy juga menyinggung soal ekspresi publik melalui poster yang bertuliskan "siapa berani kritik polisi" dengan gambar tangan diborgol.

"Gambar ini juga menunjukkan bahwa publik ketika melakukan kritik terhadap institusi kepolisian, kritik terhadap pemerintah yang dinilai kebijakannya itu tidak sejalan dengan janjinya atau tidak sejalan dengan prinsip prinsip demokrasi ataupun hak asasi manusia, justru berujung pada pemidanaan ataupun kriminalisasi," kata Rezaldy.

Menurut Rezaldy, tahun lalu juga muncul tagar "viral dulu baru diproses" yang menunjukkan kekecewaan publik terhadap lambatnya Polri menindaklanjuti keluhan masyarakat.

"Kita semua sama-sama tahu, dalam berbagai kasus yang melibatkan anggota kepolisian. Ketika dilaporkan, tidak ditindaklanjuti sebelum viral di media sosial. Ketika sudah viral, baru institusi kepolisian kalang kabut. Lalu menindaklanjuti laporan yang diajukan pengaduan laporan yang diajukan oleh masyarakat sipil," tambah Rezaldy.

Baca juga:

HUT Bhayangkara, Koalisi Sipil Tolak RUU Polri Disahkan

YLBHI-LBH: 78 Tahun Polri, Kini Jadi Ancaman Demokrasi dan Alat Penguasa

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!