NASIONAL
YLBHI-LBH: 78 Tahun Polri, Kini Jadi Ancaman Demokrasi dan Alat Penguasa
YLBHI-LBH menilai Polri gagal menjalankan agenda reformasi, tidak berhasil menjadi lembaga yang menghormati HAM dan demokrasi. Mereka menuntut 6 hal pada pemerintah.
AUTHOR / Resky Novianto
-
EDITOR / Agus Luqman
KBR, Jakarta - Institusi Polri mendapat kritik keras dari kalangan masyarakat sipil di usianya ke-78, pada Senin 1 Juli 2024.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBHI) dan LBH se-Indonesia menilai institusi Polri gagal dalam menjalankan agenda reformasi. Kegagalan utama adalah tidak berhasil menjadi lembaga yang menghormati hak asasi manusia dan demokrasi.
"Polri sebagai alat negara yang diharapkan menjamin perlindungan HAM dan mengayomi warga kini justru menjadi “alat kekuasaan” yang represif, brutal, arogan dan menjadi pelanggar hukum dan HAM demi melancarkan akumulasi modal maupun politik," tulis YLBHI dalam rilis yang diterima KBR, Senin (1/7/2024).
YLBHI juga menyoroti tema HUT Bhayangkara 2024 yaitu “Polri Presisi Mendukung Percepatan Transformasi Ekonomi Yang Inklusif dan Berkelanjutan Menuju Indonesia Emas.”
Menurut YLBHI, tema itu menunjukkan visi kepolisian yang semakin menjauh dari cita kepolisian sebagai penegak hukum dan pengayom warga yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menunjukan keberpihakannya kepada kekuasaan dan modal.
"Dukungan terhadap percepatan transformasi ekonomi yang inklusif tersebut ternyata dimaksudkan untuk lebih ramah kepada para investor/pemodal di satu sisi, sekaligus brutal terhadap rakyat yang mempertahankan sumberdaya kehidupannya," tulis YLBHI.
Berdasarkan data YLBHI-LBH, sepanjang tahun 2019 – Mei 2024 setidaknya terdapat 95 kasus kriminalisasi yang menjerat ratusan korban dari latar belakang petani, buruh, akademisi, jurnalis, hingga mahasiswa.
Di tahun 2022-23, YLBHI-LBH mencatat terdapat 46 kasus penyiksaan dengan jumlah korban sebanyak 294 orang. Sedangkan selama tahun 2020 – 2023, terdapat 24 korban pembunuhan di luar proses hukum (extrajudicial killing) di dalam tahanan kepolisian yang ditangani oleh LBH-LBH Kantor.
"Pembunuhan di luar proses hukum tersebut semuanya terjadi dengan cara penyiksaan yang sebagian besar dilakukan oleh anggota kepolisian atau dikomandoi oleh aparat kepolisian. Tak pelak, Kepolisian menjadi lembaga dominan yang paling banyak dilaporkan sebagai pelanggar HAM di Komnas HAM dan pelaku maladministrasi di Ombudsman RI dalam satu dekade terakhir," tulis YLBHI.
Baca juga:
- Polri jadi Lembaga Terbanyak Diadukan ke Komnas HAM
- HUT Bhayangkara, Komnas HAM: Waktunya Polri Berbenah
Polri dan Bisnis
YLBHI juga mengkritik institusi Polri yang dinilai semakin dalam melibatkan diri pada praktek-praktek bisnis dan politik. Di sektor bisnis, aparat kepolisian kerap kali terlibat dalam “bisnis keamanan” untuk melindungi kepentingan privat seperti perkebunan kelapa sawit maupun tambang–baik legal maupun ilegal.
"Keterlibatannya mulai dari aktif sebagai pengaman wilayah hingga pemodal. Keterlibatan bisnis polisi juga meluas ke sektor narkoba seperti halnya ditunjukkan dalam kasus Teddy Minahasa. Sedangkan di sektor politik, aparat kepolisian terlibat dalam politik praktis Pemilu seperti halnya dengan mengkampanyekan secara aktif salah satu calon Presiden tertentu dalam Pemilu 2024 lalu. Bahkan mencalonkan diri sebagai kepala daerah kendati masih aktif menduduki jabatan kepolisian," tambah YLBHI.
Di sisi lain, menurut YLBHI, Polri sulit diharapkan dapat menjadi tempat pengaduan masyarakat yang membutuhkan perlindungan. Seperti praktik kekerasan, kasus penyiksaan, pembubaran serikat (union busting), maupun pelaporan kekerasan seksual yang dihadapi korban sulit mendapatkan keadilan.
Menurut YLBHI, Polri sulit menerapkan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual karena aparatnya minim memahami keadilan gender. YLBHI menyebut banyak aparat kepolisian yang justru masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sebagai rujukan hukum penanganan kasus kekerasan seksual.
"Kondisi tersebut menghasilkan mangkraknya pelaporan kasus dan hilangnya akses korban mendapatkan keadilan. Parahnya, kita terus mendengar aparat kepolisian menjadi pelaku kejahatan namun kerapkali mendapatkan keistimewaan hukum bahkan kebal hukum. Tidak berjalannya pengawasan di internal maupun eksternal kepolisian membuat Kepolisian mendapatkan impunitas," tambah YLBHI.
Baca juga:
- Kontras Kecam Penghargaan Bintang Bhayangkara untuk Prabowo Subianto
- Terbanyak Dilaporkan Publik, Irwasum: Maju Mundur Kena
Paradoks
Pada pertengahan 2024 ini, YLBHI menilai ancaman Polri untuk mengontrol ruang kebebasan sipil untuk kepentingan kekuasaan dan modal semakin berbahaya. Saat ini ada upaya revisi kilat Undang-Undang Polri yang dirancang secara tertutup dan tergesa-gesa melalui pengajuan inisiatif DPR.
Di dalam draft revisi tersebut, sebut YLBHI, Polri akan diberikan kewenangan ekstra untuk menjadi lembaga superbody dengan pemberian hak hukum untuk melakukan pengamanan, pembinaan dan pengawasan terhadap ruang siber (Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q)).
Menurut YLBHI, Pasal 16 Ayat 1 Huruf q memberikan kewenangan untuk mematikan jaringan internet kepada Polri.
Selain itu, lanjut YLBHI, RUU Polri juga memperluas kewenangan intelkam yang dimiliki Polri sampai melebihi lembaga lain yang mengurus soal intelijen (Pasal 16A). Polri juga diberi wewenang lebih untuk melakukan penyadapan (Pasal 14 ayat (1)) tanpa adanya dasar hukum undang-undang penyadapan.
"Yang mengkhawatirkan, tidak ada mekanisme pengawasan yang diatur untuk memastikan kewenangan-kewenangan tersebut dijalankan sesuai dengan hukum dan hak asasi manusia. Sebelumnya, di Undang-Undang Aparatus Sipil Negara yang baru saja direvisi dan disahkan, anggota Polri aktif dapat mengisi jabatan sipil di 11 kementerian dan lembaga instansi pusat," tambah YLBHI.
Baca juga:
- HUT Bhayangkara, Koalisi Sipil Tolak RUU Polri Disahkan
- Polisi Kepung dan Tangkap Petani Pakel, Kriminalisasi?
6 Tuntutan
Merujuk pada situasi di atas, pada ulang tahun ke-78 Polri hari ini LBH-YLBHI mendesak kepada Pemerintah dan DPR untuk:
1. Melakukan evaluasi atau audit menyeluruh terhadap kelembagaan, kewenangan maupun pengelolaan anggaran yang justru menghasilkan kegagalan substantif reformasi institusi kepolisian yang justru menjadikan Polisi lembaga negara superbody yang mengancam demokrasi, negara hukum dan hak asasi manusia;
2. Memperkuat mekanisme pengawasan kepolisian RI baik internal dan eksternal untuk mendorong profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas kepolisian;
3. Membatasi kewenangan dan pendanaan polisi yang begitu besar tapi minim pengawasan maupun transparansi dan akuntabilitas agar kepolisian tidak justru menjadi lembaga yang koruptif dan aktif melakukan abuse of power;
4. Segera menghentikan pembahasan revisi Undang-Undang Polri yang akan menjadikan Polisi menjadi lembaga superbody tanpa pengawasan yang mengancam demokrasi dan hak asasi manusia serta mengembalikan praktek Dwifungsi ABRI yang berpotensi membuka ruang anggota Polri berpolitik praktis;
5. Segera melakukan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas serta memperkuat check and balances sistem penegakan hukum Pidana;
6. Menyerukan kepada seluruh warga negara indonesia untuk terus bersuara lantang menuntut upaya serius negara mengembalikan fungsi kepolisian sebagai lembaga penegak hukum yang memperkuat demokrasi, negara hukum dan hak asasi manusia, bukan justru sebaliknya.
Desakan itu disampaikan YLBHI dan LBH se-Indonesia, yaitu LBH Papua, LBH Banda Aceh, LBH Pekanbaru, LBH Medan, LBH Palembang, LBH Padang, LBH Lampung, LBH Jakarta, LBH Bandung, LBH Semarang, LBH Yogyakarta, LBH Surabaya, LBH Bali, LBH Samarinda, LBH Palangkaraya, LBH Kalimantan Barat, LBH Manado dan LBH Makassar.
Komentar
KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!