NASIONAL

Kejar Tayang Pengesahan RKUHP

Koalisi masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP mendesak pemerintah dan DPR menunda pengesahan RKUHP hingga tidak ada lagi pasal-pasal bermasalah yang diakomodir di dalamnya.

AUTHOR / Heru Haetami

RKUHP
Demonstrasi menolak RKUHP, Selasa (23/8/2022). (Foto: ANTARA/Rivan Awal)

KBR, Jakarta - Komisi bidang Hukum DPR menyetujui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam pembahasan tingkat I, dan akan dibawa ke rapat paripurna terdekat untuk disahkan.

Keputusan itu diambil dalam rapat pembahasan lanjutan RKUHP antara pemerintah dan DPR, yang dipimpin Wakil Ketua Komisi III Adies Kadir, Kamis (24/11/2022).

"Kami meminta persetujuan kepada anggota Komisi III dan pemerintah, apakah naskah RUU tentang KUHP dapat dilanjutkan pada pembahasan tingkat kedua yaitu pengambilan keputusan atas RUU tentang KUHP yang akan dijadwalkan pada rapat paripurna DPR RI terdekat. Apakah dapat disetujui?" kata Adies.

"Setuju!"

Pada pembahasan terakhir di tingkat I, pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden masih tercantum dalam draf RKUHP.

Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward O.S. Hiariej mengklaim telah melakukan penyempurnaan pasal dalam RKUHP.

Ia mengatakan penghinaan terhadap pemerintah dalam Pasal 240 tetap dipertahankan dengan ancaman pidana penjara paling lama 1,5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.

Edward Hiariej mengatakan draf RKUHP juga mencantumkan setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah dan menimbulkan kerusuhan maka pidananya akan makin berat, yakni 3 tahun.

"Kita tambahkan penjelasan Pasal 240 yang dimaksud dengan "pemerintah" adalah presiden RI yang memegang kekuasaan Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam UUD. Yang dimaksud "kerusuhan" adalah suatu kondisi dimana timbul kekerasan terhadap orang/barang yang dilakukan sekelompok paling sedikit tiga orang," ujar Edward Hiariej.

Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward O.S. Hiariej menambahkan, tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah hanya dapat dituntut berdasarkan aduan dari pihak yang dihina. Aduan dapat diajukan secara tertulis oleh pimpinan lembaga negara.

Pasal penghinaan terhadap Polri dan Kejaksaan dihapus dari draf RKUHP pada 24 November.

Meski begitu, pasal 347 masih memuat soal aturan pidana bagi penghinaan, terhadap lembaga negara seperti DPR hingga Mahkamah Agung.

"Penjelasan pasal 347 ketentuan ini dimaksudkan agar lembaga negara dihormati oleh karena itu perbuatan menghina terhadap lembaga negara dipidana berdasarkan ketentuan ini yang dimaksudkan dengan lembaga negara adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung (MA), dan Mahkamah Konstitusi (MK)," ujar Edward.

Baca juga:

Ancam demokrasi

Draf RKUHP masih menuai penolakan. Kelompok masyarakat sipil menilai RKUHP masih mengakomodir pasal-pasal yang dapat mengancam demokrasi.

Pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat Maruf Bajammal menilai pembahasan RKUHP masih belum mengakomodasi masukan dari masyarakat sipil.

“Banyak upaya-upaya untuk membahas secara bersama, tapi itu tidak mencerminkan bahwa masukan kita itu diadopsi. Malah sebaliknya, yang saya lihat itu justru ada arogansi daripada kekuasan itu tersendiri. Pertama, itu tercermin dari draf yang kita terima pada tanggal 19 November. Itu tidak memiliki kemajuan signifikan terkait dengan pembahasan atau perubahan yang sudah terjadi yang dilakukan oleh masyarakat sipil. Masukkan-masukan tersebut tidak diadopsi. Tapi ini sudah sempat di singgung dinamika terkait dengan temen-temen masukan sudah diterima tuh tapi tidak adopsi,” kata Maruf dalam Konferensi Pers Aliansi Masyarakat Sipil Desak Penghapusan Pasal Bermasalah dalam RKUHP, Minggu (20/11/2022).

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 18 LBH Kantor mendesak pasal-pasal yang antidemokrasi di dalam RKUHP dihapus.

Ketua Umum YLBHI Muhammad Isnur mengatakan muatan-muatan pasal antidemokrasi masih dipaksakan masuk dalam RKUHP, merujuk pada kesimpulan rapat sebelumnya.

"Persoalan serius yang menjadi sorotan utama adalah RKUHP dapat menjadi instrumen yang mengancam demokrasi dan kebebasan sipil," kata Isnur dalam keterangan tertulis, Kamis (24/11/2022).

Isnur menilai RKUHP saat ini masih disusun berdasarkan paradigma hukum yang menindas serta diskriminatif.

Adapun pasal-pasal yang dinilai dapat digunakan untuk menggerus suara-suara kritis rakyat terhadap penyelenggaraan negara di antaranya:

  • Pasal 218 sampai Pasal 220 mengenai ancaman pidana terhadap penghinaan Presiden dan Wakil Presiden, 
  • pasal 349 sampai Pasal 351 penghinaan terhadap pemerintahan yang sah, pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara, pasal mengenai pencemaran nama baik, hingga pasal ancaman pidana kepada penyelenggaraan aksi demonstrasi yang tidak didahului dengan pemberitahuan.

Atas dasar itu, koalisi masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Nasional Reformasi KUHP mendesak pemerintah dan DPR menunda pengesahan RKUHP hingga tidak ada lagi pasal-pasal bermasalah yang diakomodir di dalamnya.

Baca juga:

Editor: Agus Luqman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!