NASIONAL

RKUHP Final, Hina Presiden Dipenjara 1,5 Tahun

"Kita tambahkan penjelasan Pasal 240 yang dimaksud dengan "pemerintah" adalah presiden RI yang memegang kekuasaan Republik Indonesia"

AUTHOR / Resky Novianto

RKUHP
RKUHP, Wamenkumham Edward O.S. Hiariej rapat Komisi III DPR, Kamis (24/11/22). (DPR)

KBR, Jakarta –  Pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam Draf rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) kembali disempurnakan oleh pemerintah. Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward O.S. Hiariej mengatakan, penghinaan terhadap pemerintah dalam Pasal 240 tetap terancam pidana penjara paling lama 1,5 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II.

Bahkan, kata dia, setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina pemerintah dan menimbulkan kerusuhan maka pidananya akan makin berat, yakni 3 tahun.

"Kita tambahkan penjelasan Pasal 240 yang dimaksud dengan "pemerintah" adalah presiden RI yang memegang kekuasaan Republik Indonesia yang dibantu oleh wakil presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam UUD. Yang dimaksud "kerusuhan" adalah suatu kondisi dimana timbul kekerasan terhadap orang/barang yang dilakukan sekelompok paling sedikit tiga orang," ujar Edward dalam Raker di Komisi III DPR RI, Kamis (24/11).

Wamenkumham  Edward O.S. Hiariej menambahkan, tindak pidana penghinaan terhadap pemerintah hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina. Ia menyebut, aduan dapat diajukan secara tertulis oleh pimpinan lembaga negara.

Baca juga:

- RKUHP, Pasal Bermasalah dan Pengabaian Publik

- RKUHP, ICJR Desak Istilah Living Law Diganti Hukum Adat

Sebelumnya, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) dan 18 LBH Kantor mendesak pasal-pasal yang antidemokrasi di dalam rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP).

Ketua Umum YLBHI, M. Isnur mengatakan muatan-muatan pasal antidemokrasi masih dipaksakan merujuk pada kesimpulan rapat sebelumnya.

"Persoalan serius yang menjadi sorotan utama adalah RKUHP dapat menjadi instrumen yang mengancam demokrasi dan kebebasan sipil," kata Isnur dalam keterangan tertulis, Kamis (24/11/2022).


Siaran Langsung Persidangan

Draf terbaru Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) 24 November 2022 Pasal 280 masih mengatur terkait gangguan dan penyesatan proses peradilan. Dalam Pasal 280 ayat (1) huruf c, masih diatur soal publikasi siaran langsung persidangan tanpa izin akan tetap mendapat pidana denda kategori II. Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward O.S. Hiariej menegaskan, aturan ini tidak akan mereduksi kebebasan insan pers dalam meliput persidangan.

"Yang dimaksudkan dengan mempublikasikan proses persidangan secara langsung yaitu live streaming, tidak mengurangi kebebasan jurnalis atau wartawan untuk menulis berita dan mempublikasikannya setelah sidang pengadilan," ujar Edward dalam Rapat Kerja di Komisi III DPR RI, Kamis (24/11) siang.

Denda kategori II, sebagaimana diatur dalam Pasal 79 RUU KUHP, adalah denda dengan nominal maksimal Rp 10 juta. Denda juga berlaku bagi pihak yang tidak mematuhi perintah pengadilan saat proses peradilan, yakni tidak hormat terhadap hakim padahal sudah diperintahkan atau menyerang integritas hakim di sidang.

Sebelumnya, dalam draf 9 November 2022, belum dijelaskan mengenai aturan kegiatan peliputan live streaming maupun audio visual secara spesifik bagi insan pers.

Editor: Rony Sitanggang

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!