NASIONAL

Herry Wirawan Divonis Mati, ICJR: Bukan Solusi Bagi Korban Kekerasan Seksual

ICJR menilai penerapan pidana mati hanyalah gimmick atau hiburan yang diberikan, setelah negara gagal hadir melindungi korban.

AUTHOR / Dwi Reinjani

kekerasan seksual
Terdakwa kasus perkosaan 13 santriwati, Herry Wirawan. (Foto: ANTARA/HO-Kejati Jawa Barat)

KBR, Jakarta - Lembaga pegiat reformasi hukum pidana, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyayangkan vonis hukuman mati yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi Bandung Jawa Barat terhadap Herry Wirawan.

Herry Wirawan merupakan terdakwa kasus perkosaan terhadap 13 santri remaja hingga ada yang hamil dan melahirkan. Di pengadilan tingkat pertama, hakim menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup. Namun jaksa mengajukan banding, dan dikabulkan hakim pengadilan tinggi dengan menjatuhkan hukuman mati.

Juru bicara Pengadilan Tinggi Bandung Jesayas Tarigan, putusan itu diambil hakim demi memberi keadilan atas pemerkosaan 13 santriwati yang ia lakukan.

"Hukuman mati, jadi sesuai dengan tuntutannya jaksa penuntut umum. Majelis hakim di pengadilan tinggi berpendapat yang cukup adil terhadap perbuatan terdakwa adalah hukuman mati," ujar Jesayas kepada wartawan, Senin (4/4/2022).

Baca juga:


Selain memperberat hukuman, Pengadilan Tinggi juga mengubah tanggung jawab kewajiban pembayaran restitusi (ganti rugi) bagi korban. Di Pengadilan Negeri, kewajiban pembayaran restitusi dibebankan kepada negara atau pemerintah. Namun, pengadilan tingkat banding mengalihkan kewajiban itu kepada pelaku perkosaan.

Meski begitu, Jesayas menambahkan, hukuman mati di tingkat banding tersebut belum final. Herry bisa saja mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Namun sejauh ini memang belum ada kepastian soal langkah selanjutnya dari Herry Wirawan.

Keputusan gimmick

ICJR mengapresiasi putusan mengenai restitusi yang dialihkan ke pada pelaku. Namun, ICJR meyayangkan vonis hukuman mati.

"Putusan ini akan menjadi preseden buruk bagi proses pencarian keadilan korban kekerasan seksual, karena fokus Negara justru diberikan kepada pembalasan kepada pelaku, alih-alih korban yang seharusnya dibantu pemulihannya," begitu sikap ICJR dalam rilis di situs resmi ICJR, Senin (4/4/2022).

ICJR menganggap hukuman mati terhadap pelaku kekerasan seksual justru akan menggeser fokus negara kepada hal yang tidak lebih penting dari korban.

ICJR mengutip pendapat dari Komisioner Tinggi PBB bidang HAM Michelle Bachelet, yang menyampaikan meskipun pelaku perkosaan dan kekerasan seksual lain harus dimintai tanggung jawab, namun hukuman mati dan penyiksaan bukanlah solusinya.

"Tidak ada satupun bukti ilmiah yang menyebutkan bahwa pidana mati dapat menyebabkan efek jera, termasuk di dalam kasus perkosaan. Masalah dari kasus-kasus perkosaan yang terjadi di seluruh belahan dunia, menurut Bachelet, disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap keadilan korban, dan menerapkan pidana mati kepada pelaku, tidak akan menyelesaikan masalah ini," tulis ICJR.

ICJR menilai penerapan pidana mati hanyalah gimmick atau hiburan yang diberikan, setelah negara gagal hadir melindungi korban.

"Sebagai konsekuensi dari hal ini, negara kemudian mencoba 'membuktikan diri' untuk terlihat berpihak kepada korban, dengan menjatuhkan pidana-pidana yang 'draconian' seperti pidana mati. Hal ini, tentu saja bukan yang diharapkan terjadi di Indonesia. Negara, harusnya dapat hadir setiap waktu, bukan hanya pada waktu-waktu tertentu hanya untuk 'mengambil hati' korban dan warga negaranya," tulis ICJR.

Baca juga:


ICJR juga mengkritik putusan hakim mengenai kewajiban membayar restitusi pada pelaku. Kritik itu pada pernyataan hakim bahwa restitusi dijatuhkan sebagai upaya memberikan efek jera bagi pelaku, serta dijatuhkannya hukuman pengganti jika restitusi tidak dapat dibayarkan oleh pelaku.

"Padahal, restitusi seharusnya diposisikan di dalam diskursus hak korban, bukan penghukuman terhadap pelaku. Jika mengikuti logika berfikir ini, maka Hakim akan menghadapi pembatasan di dalam Pasal 67 KUHP, yang melarang penjatuhan pidana tambahan lain kepada Terdakwa yang dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup. Inilah yang di dalam putusan lalu menjadi masalah bagi Hakim di tingkat pertama, bahwa ketika hukuman yang maksimal sudah diberikan kepada pelaku, maka hukuman lain tidak dapat dijatuhkan," tulis ICJR.

Untuk mengantisipasi problem kekacauan itu, ICJR memandang tidak seharusnya hukuman maksimal yaitu hukuman mati dijatuhkan di kasus apapun, agar bisa dijatuhkan hukuman tambahan lain.

"Khususnya kekerasan seksual dimana korban membutuhkan restitusi untuk mendukung proses pemulihannya," sebut ICJR.

ICJR juga menilai pengadilan yang saat ini sudah memiliki pedoman mengadili perkara perempuan, harus mulai berpikir progresif dengan memikirkan kebutuhan korban dan tidak hanya terjebak pada kemarahan pribadi yang tidak akan menolong korban sama sekali.

Editor: Agus Luqman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!