NASIONAL

Beratnya Upaya Mencari Keadilan bagi Korban Gagal Ginjal Akut

"Jangan lupa ada 204 anak di bawah umur yang meninggal. Kalau untuk mengutip bahasa sekarang itu bukan meninggal ya, tapi dibunuh oleh sistem."

AUTHOR / Heru Haetami

Beratnya Upaya Mencari Keadilan bagi Korban Gagal Ginjal Akut
Tiga terdakwa kasus gagal ginjal akut menghadiri sidang putusan di PN Kota Kediri, Jawa Timur, Rabu (1/11/2023). (Foto: ANTARA/Prasetia Fauzani)

KBR, Jakarta - Sudah setahun Safitri berjuang mencari keadilan untuk anaknya yang menjadi korban gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA). Safitri hanya ingin kasus anaknya menemui titik terang.

"Ini kan ibaratnya kejahatan besar ya. Memang tidak mudah kalau lawan kita adalah yang betul-betul kuat. Kesalahan fatal itu pun kita masih sulit untuk menerima atau mendapatkan keadilannya. Jadi saya harap prosesnya ini berjalan lancar dengan bantuan dari masyarakat yang tetap mau melihat kami, tetap update," kata Safitri dalam konferensi pers Perkembangan Kasus Gagal Ginjal Pada Anak, Rabu (20/12/2023).

Safitri adalah ibu salah satu dari ratusan anak yang meninggal akibat kandungan etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang berlebihan dalam sirop yang mengakibatkan gagal ginjal akut.

"Jangan lupa ada 204 anak di bawah umur yang meninggal. Kalau untuk mengutip bahasa sekarang itu bukan meninggal ya, tapi dibunuh oleh sistem. Died dan killed itu beda artinya. Di titik ini saya mau mengambil istilah dibunuh oleh sistem yang ada, dibunuh oleh kelalaian, kelambanan pihak-pihak. Jadi saya mohon untuk tetap memberikan atensi agar kasus kami ini menemui titik terang," kata Safitri.

Anak Safitri meninggal pada tahun 2022. Dalam perjalanannya menggugat kasus GGPA, berbagai kendala ia hadapi bersama keluarga korban lain. Safitri menyayangkan kelit aparat penegak hukum mencari pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kematian anaknya.

"Padahal sudah jelas, kesalahannya jelas, gamblang, tidak perlu harus orang dengan keilmuan tinggi melihat bagaimana melihat kasus ini. Sebagai awam pun tahu pihak-pihak mana yang harus bertanggung jawab, pihak-pihak mana yang harusnya masih tetap bertanggung jawab karena memang masih ada korban-korban, penyintas yang memang tidak bisa dikatakan normal kembali, sebagian besar," ucap Safitri.

Kasus gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA) ditemukan pada Januari 2022. Korban GGAPA tersebar di 27 provinsi dengan kasus tertinggi berada di DKI Jakarta, disusul Jawa Barat dan Aceh. Sebanyak 204 orang meninggal dan 122 orang berhasil diselamatkan, namun harus menjalani pengobatan rutin.

Kementerian Kesehatan menyebut penyebab gagal ginjal akut itu karena konsumsi obat sirop yang mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) dari zat pelarut.

Baca juga:

https://kbr.id/nasional/11-202...

https://kbr.id/nasional/11-202...

Bareskrim Polri menyebut kasus gagal ginjal akut telah naik ke tahap penyidikan. Peningkatan status dilakukan usai penyidik menemukan unsur pidana dalam kasus melibatkan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Kuasa hukum keluarga korban, Awan Puryadi menyebut perkembangan proses pidana itu seperti memberikan angin segar bagi para korban.

"Ada angin segar kemarin, pada waktu Brigjen Nunung selaku Dirpiter menyampaikan bahwa sudah ada tahap penyidikan terduga pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh pihak BPOM. Artinya kalau seorang direktur, dengan jabatan yang jelas direktur tipiter, seorang brigjen menyampaikan itu, tentunya ini terkonfirmasi di tahapan penyidik bahwa memang benar sudah dalam tahapan penyidikan," kata Awan dalam Konferensi Pers Perkembangan Kasus Gagal Ginjal Pada Anak, Rabu (20/12/2023).

Awan mendorong Polri membuktikan proses hukum itu berjalan hingga ditetapkan pihak yang terlibat.

"Artinya sudah turun sprindik ke kejaksaan dan sudah jelas siapa-siapa yang melakukan pelanggaran pidana ini. Silakan proses itu dilanjutkan karena itu dalam proses track yang benar ketika seorang penyidik polisi menyampaikan bahwa ada dugaan pidana dilakukan oleh oknum di dalam lembaga pemerintah," kata Awan.

Sementara itu, Tim Advokasi untuk Kemanusiaan juga tetap memperkuat gugatan melalui jalur perdata. Meski Awan Puryadi menyebut dalam perjalanan menggugat lewat jalur perdata itu timnya kerap mendapat intervensi.

"Dalam proses gugatan class action itu sampai sekarang semakin kuat dan itu saya sangat bersyukur sekali. Padahal dalam prosesnya itu banyak sekali upaya untuk mendelegitimasilah istilahnya untuk membuat bahwa gugatan ini tidak sah," katanya.

Editor: Agus Luqman

Komentar

KBR percaya pembaca situs ini adalah orang-orang yang cerdas dan terpelajar. Karena itu mari kita gunakan kata-kata yang santun di dalam kolom komentar ini. Kalimat yang sopan, menjauhi prasangka SARA (suku, agama, ras dan antargolongan), pasti akan lebih didengar. Yuk, kita praktikkan!